NASIONAL

Koalisi Perempuan Indonesia Desak KPU Buka Akses Silon

"Agar Badan Pengawas Pemilu bisa melakukan pengawasan kesesuaian dokumen dan kelengkapan berkas pendaftaran bakal calon legislatif."

Ardhi Ridwansyah

Akses Silon
Ilustrasi. Gedung Sekretariat KPU RI di Menteng, Jakarta Pusat (5/8/2019). (Foto: ANTARA/Lalily Rahmawaty)

KBR, Jakarta – Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar menunjukkan sikap transparan dengan membuka akses sistem informasi pencalonan (Silon).

Kata Mike, hal itu dimaksudkan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa melakukan pengawasan kesesuaian dokumen dan kelengkapan berkas pendaftaran bakal calon legislatif baik tingkat nasional maupun daerah.

Termasuk juga memantau apakah keterwakilan 30 persen bacaleg perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil) sudah dipatuhi partai peserta Pemilu 2024.

Namun sayangnya, kata dia, KPU belum membuka akses Silon. Sehingga pengawasan belum berjalan optimal.

“Meskipun dalam rapat dengar pendapat (RDP) kemarin partai-partai mengatakan bahwa partai-partai yang mendaftar itu (keterwakilan bacaleg perempuan) sudah 30 persen persoalannya KPU tidak buka Silon ya bahkan Bawaslu sendiri tak bisa mengakses ya sehingga kita tidak tahu kebenaran apakah partai yang mendaftar telah memenuhi syarat 30 persen itu,” ucap Mike kepada KBR, Rabu (24/5/2023).

Dia pun menyinggung soal keputusan KPU yang bersepakat dengan masukan Komisi II DPR-RI untuk belum bisa merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 terutama di Pasal 8 ayat (2) terkait keterwakilan Bacaleg perempuan sebesar 30 persen.

Mike mengatakan, dalam hal itu KPU yang seharusnya independen seperti tunduk pada anggota DPR yang berasal dari ragam partai politik. Padahal sebelumnya KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berencana untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) terkait keterwakilan Bacaleg perempuan sebesar 30 persen.

“Sebenarnya KPU itu lembaga independen yang seharusnya mereka tak terpengaruh atau tak perlu mengikuti masukan yang tak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Problemnya sampai sekarang mereka tidak melakukan apa-apa,” ucap Mike.

Pihaknya pun melayangkan somasi kepada KPU beserta Bawaslu dan DKPP yang turut dianggap diam saja terkait sikap KPU tersebut.

“Kita juga menempuh jalur hukum ya judicial review ke Mahkamah Agung, ini kita upayakan untuk mengembalikan peraturan yang salah ini ya, minimal dikembalikan ke pasal yang diatur ke PKPU sebelumnya ya, sebenarnya itu saja harapan kami,” kata Mike.

Baca juga:

- Daftar Caleg Pemilu 2024, PDIP: 33 Persen Perempuan

- Pemilu 2024, PKS Partai Pertama Daftar Caleg DPR

Sebelumnya, Rabu (10/5/2023) KPU berencana merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terutama di Pasal 8 ayat (2) tentang syarat 30 persen keterwakilan perempuan dalam setiap daerah pemilihan (Dapil) pada pencalonan anggota legislatif.

Adapun pasal tersebut berbunyi, dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai, kurang dari 50 hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara itu kalau 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan ke atas.

KPU pun sudah menyampaikan apabila direvisi maka pasal itu menjadi dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas.

Namun, dalam rapat dengar pendapat yang digelar Rabu (17/5/2023) lalu, rencana revisi itu ditolak oleh mayoritas fraksi di Komisi II DPR lantaran dinilai dapat memicu konflik internal lantaran daftar Bacaleg sudah diserahkan ke KPU selain itu juga dianggap bisa ganggu tahapan pemilu yang tengah berjalan.

Editor: Fadli

  • KPU
  • Akses Silon

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!