indeks
Ketika Gay dan Lesbi Muncul di Film Indonesia (2)

Ben Murtagh menemukan sejumlah perbedaan soal karakter gay dalam film Indonesia periode sebelum dan sesudah 1998.

Penulis: Citra Dyah Prastuti

Editor:

Google News
Ketika Gay dan Lesbi Muncul di Film Indonesia (2)

KBR, Jakarta - Sejak jatuhnya Soeharto di tahun 1998, film Indonesia seperti lahir kembali, seperti ditulis Ben Murtagh dalam bukunya “Gender and Sexualities in Indonesian Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen” (Routledge, 2013). Ben adalah seorang akademisi dengan fokus soal Indonesia di School of Oriental and African Studies (SOAS) di University of London. 


Pada 2007, produksi film Indonesia per tahun mencapai 78 film, empat di antaranya meraup penonton sampai lebih dari satu juta. Pergerakan demokrasi juga telah mendorong sejumlah pembuat film mengangkat tema-tema yang sebelumnya tak bisa diangkat pada periode Orde Baru. 


Salah satu film yang banyak dibicarakan karena ada adagan pasangan gay di dalamnya adalah “Arisan!” (2003) karya sutradara Nia Dinata. BBC sampai menurunkan tulisan berjudul “Indonesia embraces first gay screen kiss” karena ada adegan ciuman antara Nino (Surya Saputra) dan Sakti (Tora Sudiro). Tapi menurut Ben,ciuman sebetulnya bukan elemen penting dalam film Indonesia, baik itu antara pasangan heteroseksual maupun homoseksual. “Jadi kenapa harus fokus pada soal ciuman jika yang ingin dilihat adalah upaya film itu mendobrak batasan-batasan lama? Karena itu bukan penandanya.”


Ben lantas membandingkan film “Arisan!” yang muncul pasca 1998 dan film “Remaja di Lampu Merah” yang muncul sebelum 1998. Di film pertama, Nico dan Sakti memang berciuman,”Tapi keduanya masih pakai baju,” kata Ben. 


Sementara di film “Remaja di Lampu Merah” ada adegan di mana tokoh yang diperankan Rano Karno dan El Manik ada di tempat tidur dan berada di balik selimut dan diduga tanpa busana. “Ada tingkat keintiman yang lebih besar, dan ini yang mengejutkan.”



Ben juga menyoroti film “Cokelat Stroberi” (2007). “Yang menarik dari film ini adalah karena ada scene yang cukup seksual antara karakter Fauzi Badila dan Mario Medita,” kata Ben. “Di sini hubungan gay digambarkan secara jelas dalam film.” 


Salah satu kesimpulan Ben lewat bukunya adalah bahwa film-film dari periode 70-80an itu lebih “sexually suggestive” ketimbang film di periode setelah 90an. 


Sensor


Di era Orde Baru, Badan Sensor Film punya taji yang kuat untuk memotong film-film yang beredar di tanah air. “Tapi sepertinya ada toleransi yang lebih besar untuk adegan seksual di era sebelum 90an, ketimbang sesudahnya,” jelas Ben. Tapi ketika ditanya kenapa itu terjadi, Ben mengatakan ini bukan pertanyaan yang mudah. 


“Saya tidak paham betul kenapa gambar-gambar yang lebih vulgar lolos di periode 70an dan 80an. Tapi saya menduga, pada periode itu Pemerintah Orde Baru lebih tertarik untuk menekan isu politik dan SARA, ketimbang adegan seks dalam film.”


Ben mengingatkan kalau ada sistem sensor film yang berbeda antara periode Orde Baru dan setelah 1998. “Film di era Orde Baru membawa karakter keseragaman dan karenanya di ujung cerita sejumlah film lebih kritis terhadap hubungan sesama jenis. Tapi penonton juga cukup cerdas untuk bisa menonton film ini tanpa merasa didikte oleh ideologi dalam film tersebut,” kata Ben. 


Ben menambahkan kalau setelah periode 1998, orang tampaknya lebih peduli dengan apa yang muncul di televisi, ketimbang apa yang dihadirkan di layar lebar. “Publik menonton TV, bukan bioskop,” kata Ben. Karena itu ada lebih banyak ruang longgar yang ada di layar lebar ketimbang di televisi. 


Ben Murtagh
film
gay
lesbian
Toleransi
petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...