indeks
Ketika Gay dan Lesbi Muncul di Film Indonesia (1)

Ben Murtagh meneliti soal karakter gay dan lesbian dalam film Indonesia selama rentang 30 tahun.

Penulis: Citra Dyah Prastuti

Editor:

Google News
Ketika Gay dan Lesbi Muncul di Film Indonesia (1)

KBR, Jakarta – Di antara begitu banyak buku yang mengulas tentang film Indonesia, rasanya belum pernah ada buku yang secara khusus membahas soal gay, lesbian serta waria di layar lebar.  Bahasan ini hadir lewat buku yang dibesut Ben Murtagh, dosen di School of Oriental and African Studies, Inggris berjudul “Gender and Sexualities in Indonesian Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen”. Buku ini diterbitkan Routledge pada Januari 2013. 


“Ini adalah upaya menulis sejarah representasi dari kelompok seksualitas yang tidak normatif di Indonesia,” kata Ben baru-baru ini di Jakarta.  

Film yang dibahas Ben dalam bukunya merentang dari tahun 1974 sampai 2014. “Ini menjadi semacam gambaran 30 tahun sinema Indonesia dan bagaimana memperoleh pemahaman yang lebih kompleks soal gender dan seksualitas,” jelasnya. 


Sebelum dan sesudah Orde Baru 


Menurut Ben, karakter gay atau lesbian dalam film Indonesia di periode sebelum 1998 biasanya berakhir di penjara atau hidup menderita. “Kebanyakan film menunjukkan karakter lesbian itu sebagai tokoh yang kasar, agresif.” 


Dari 40-an judul yang disinggung dalam bukunya, Ben secara khusus membahas belasan film. Di era sebelum Orde Baru, tokoh lesbian umumkan digambarkan “menjadi lesbian” karena kecewa akan hubungannya dengan laki-laki sementara tokoh gay digambarkan tak punya faktor “eksternal” seperti itu. “Seksualitas laki-laki itu sesuatu yang ada dalam dirinya, sementara bagi perempuan, itu ada di tangan laki-laki,” jelas Ben seraya menambahkan kalau itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia secara umum. 


Tema dan karakter gay sudah muncul sejak periode sebelum 1998. Salah satunya film “Istana Kecantikan” (1988) dengan sutradara Wahyu Sihombing dan Asrul Sani selaku penulis skenario. Film ini mendapat 6 nominasi dalam Festival Film Indonesia tahun 1998. Mathias Muchus memboyong pulang Piala Citra sebagai aktor terbaik untuk film ini. 



“Istana Kecantikan” dianggap sebagai salah satu film yang paling sering dirujuk ketika membahas soal penggambaran gay di sinema Indonesia. Ini juga menjadi film Indonesia pertama yang menyebut kata “gay” dalam dialognya. Film ini bercerita tentang Nico, seorang laki-laki gay yang menghadapi tekanan keluarga untuk menikah. Ia lantas menikah dengan Siska, tanpa memberitahu kalau ia seorang gay. Di tempat kerja Nico, mulai santer tersebar kabar kalau Nico adalah seorang gay. Akhirnya Nico mundur dari pekerjaannya dan membuka salon. Suatu hari Siska menemukan Nico seranjang dengan Toni, lalu beberapa tahun berikutnya gantian Nico yang menemukan Siska seranjang dengan Toni. Ketika Nico tengah mengejar Siska dengan pisau, secara tak sengaja Nico justru menikam Toni dan ujungnya Nico masuk penjara. 


Ada juga film lain berjudul “Remaja di Lampu Merah” produksi tahun 1979, dibintangi oleh Rano Karno dan El Manik. 



Andy (Rano Karno) adalah seorang pelajar SMA yang frustrasi lantaran tak mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Ia lantas lari dari rumah dan bertemu seorang pelukis yang seorang gay (El Manik). Keduanya lantas berhubungan dan ada sejumlah adegan yang menggambarkan kemesraan mereka, misalnya menyuapi makanan, bersentuhan, serta ketika keduanya berada di balik selimut tempat tidur tanpa kaos. Andy lantas digambarkan “sadar” dan kemudian “kembali ke jalan yang benar” dengan kembali bersama teman perempuannya. 


Apa saja perbedaan karakter gay dalam film yang diproduksi sebelum dan sesudah 1998?


gay
lesbian
ben murtagh
film
Toleransi
petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...