Article Image

NASIONAL

Judi Online Marak karena Literasi Keuangan Rendah, Yakin?

"Maraknya orang berjudi online sering dikaitkan dengan rendahnya literasi keuangan. Padahal teori dan perilaku soal keuangan adalah hal berbeda."

KBR, Jakarta - Maraknya judi online (judol) menjadi sorotan serius. Jumlah kerugiannya sangat besar, tak kurang dari Rp27 triliun menurut data pemerintah. Itu pun baru dari sisi materi, sedangkan dampak ikutannya belum dihitung. 

Fenomena judi online bikin resah karena aksesnya makin mudah berkat digitalisasi. Dulu, orang harus pergi ke tempat judi jika ingin bermain. Kini siapapun bisa asalkan punya akses internet. 

Menurut dosen keuangan dari Coventry University, Inggris, Rayenda Brahmana, judi online juga jadi masalah global. Bahkan, di negara-negara yang melegalkan perjudian.

“Ini (judi online) masalah worldwide. United Nations ada satu divisi khusus untuk bagaimana cara mengatasi kecanduan judi online,” terang lelaki yang biasa disapa Raye ini.

Permainan judi online juga makin variatif, sehingga makin menarik minat orang untuk bermain. Banyak situs judol yang tampilannya menyerupai gim, sehingga sulit dikenali orang awam. 

“Pas (saya) lagi di Malaysia, ada (orang) yang dikira istrinya tuh main game Mobile Legends. Padahal itu mainnya judi online,” ujarnya.

Menurut Raye, kecanduan judi bisa dijelaskan dari dua perspektif. Kalau dari sudut pandang keuangan tradisional, orang dengan literasi keuangan tinggi dan profil risikonya pun tinggi, bisa gemar berjudi. Ini biasanya untuk bersenang-senang saja. 

Nah, di lain pihak, kecanduan judi juga bisa dilihat dari perspektif keuangan perilaku (behavioral finance). Teorinya, orang dengan literasi keuangan tinggi dan profil risiko rendah, bakal menjauhi judi. Namun, realitanya berkata lain. Banyak orang dengan profil tersebut justru kecanduan judi. 

"Kenapa mereka tetap main judi? ya karena ada faktor psikologis yang membuat mereka dari rasional, menjadi tidak rasional," ungkap Raye. 

Baca juga: Cegah Loss, Kenali Bias-Bias dalam Investasi

Dosen keuangan dari Coventry University, Inggris, Rayenda Brahmana menyebut kecanduan judi online dipicu bias-bias psikologi yang membuat orang bertindak irasional. (Foto: Dok pribadi)

Bias-bias psikologi memengaruhi putusan manusia, sehingga mengambil tindakan yang semestinya tidak dipilih. 

“Di keuangan itu percaya setiap manusia adalah makhluk ekonomi, artinya dia bakal rasional. Tapi, dia bisa menjadi tidak rasional. Kenapa? Karena masalah bias psikologi,” jelas Raye.

Berkaca pada fenomena ini, tingkat literasi keuangan tidak serta-merta bisa dikaitkan dengan kecanduan judi. 

"Orang dengan literasi tinggi tetap kecanduan judi. Artinya, literasi keuangan bukan lagi solusi" katanya.

Melegalkan judi, seperti yang dilakukan di Inggris dan Australia, juga dinilainya bukan solusi. Meski diakuinya, kontrol pemerintah melalui regulasi bisa menekan bias psikologi yang memicu kecanduan judi. 

"Di Inggris, kalau (pemain) udah banyak menggunakan uang untuk judi, nanti operator (judi) tuh wajib menghentikan permainan. Bahkan pemerintahnya bisa bilang ke bank, 'bank, nanti kalau ada transfer uang terlalu banyak ke operator judi, tolong dihentikan ya!" jelas Raye.

Namun, menurut Raye, jumlah kerugian yang diderita masyarakat akibat kalah berjudi tetaplah lebih besar. 

"Di Australia, meski ada regulasi, orang-orang meskipun nggak kecanduan, ya tetap mengalami kekalahan yang banyak, merugikan banyak pihak," tutur dia. 

Saking kompleksnya, Raye berpandangan, judi mestinya dilarang total. Pemerintah harus serius menutup segala celah yang bisa menjadi ladang subur perjudian, terutama judi online, yang saat ini marak. 

“Caranya pemerintah menyaring dari awal supaya nggak ada judi online atau partner judi online yang masuk ke Indonesia. Yang kedua, ya masuk ke polisinya, saat ini law enforcement masih lemah kalau di Indonesia,” kata Raye.

Dengarkan Uang Bicara episode Judi Online Marak karena Literasi Keuangan Rendah, Yakin? bersama dosen keuangan di Coventry University, Inggris, Rayenda Brahmana di KBR Prime, Spotify, Apple Podcast, dan platform mendengarkan podcast lainnya.