Article Image

NASIONAL

Cadar Garis Lucu, Upaya Muslimah Bercadar Kikis Stigma

"Cadar Garis Lucu dibentuk pada Februari 2021, oleh beberapa muslimah bercadar di Makassar. Mereka juga membuka diri, berdialog dengan umat agama lain. "

Pendiri Cadar Garis Lucu, Ainun Jamilah saat Aksi Bersatu mengutuk bom Makassar, (4/4/21). FOTO: IG Ainun Jamilah

Pengantar:

Cadar kerap diidentikkan dengan teroris, sifat intoleran dan antikeberagaman. Keterlibatan perempuan bercadar dalam beberapa teror bom makin mempertebal stigma tersebut. Padahal di realita, fenomena cadar tidak tunggal. Di Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, ada sekelompok muslimah bercadar yang menolak pasrah distigma dan didiskriminasi. Jurnalis KBR, Muthia Kusuma Wardani mengulik perjuangan mereka memperkenalkan wajah cadar yang lebih ramah.

KBR, Makassar - Ada pemandangan tak biasa pada aksi mengecam tragedi bom Makassar, Sulawesi Selatan, 4 April 2021 lalu. Aksi solidaritas lintas iman digelar di Gereja Katedral dan Monumen Mandala Makassar. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin seorang perempuan bercadar merah jambu. Namanya Ainun Jamilah.

"Setiap terjadi bom teror, pasti saya sangat khawatir. Saya selalu berdoa jangan sampai pelakunya lagi-lagi orang bercadar. Tapi lagi-lagi itu terjadi, terjadi terus," kata Ainun.

Keterlibatan perempuan bercadar dalam teror bom Makassar mempertebal stigma teroris, yang selama ini coba dikikis Ainun. Ia pun kerap menerima getahnya.

“Tatapan dicurigai ketika masuk ke tempat-tempat keramaian. Apalagi banyak bom dan lain-lain, teror yang memakai simbol-simbol seperti ini (cadar). Jadi kenapa saya sedikit memendekkan jilbab saya dan memperlihatkan tangan saya. Karena saya selalu distigma menyembunyikan sesuatu di balik kerudung saya," ujar dia.

Ainun Jamilah saat Aksi Bersatu mengecam bom Makassar yang digelar berbagai kelompok masyarakat sipil di Gereja Katedral dan Monumen Mandala Makassar, 4 April 2021. (FOTO: dokumen KITA Bhinneka Tunggal Ika).

Termasuk kala Ainun kuliah di jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar.

"Di kampus beberapa dosen khawatir, curiga, berprasangka kepada saya, bahwa saya akan memanipulasi nilai, ikut ujian kemudian orang lain menggantikan. Saya membuktikan bahwa saya tidak seperti itu,” ungkap Ainun.

Ainun bercadar sejak 2015 lalu. Kala itu, penolakan muncul dari keluarganya. Mereka khawatir hidup Ainun bakal sulit karena cadar telanjur distigma masyarakat.

“Ibu saya adalah orang yang paling menentang, sekalipun beliau yang menjahitkan cadar pertama saya. Jadi cadar pertama saya itu tidak dibeli, tetapi dijahit oleh ibu saya sendiri. Tapi ibu saya bilang kamu pakai, pakai saja. Tapi tidak usah seterusnya. Itu maunya ibu saya,” kisahnya.

Ainun tak menampik pernah berada di lingkungan dengan pemahaman Islam yang tertutup. Namun, pikiran kritis dan terbuka membuatnya lebih toleran, termasuk dalam memaknai cadar. Alhasil, ia dijauhi teman-teman lamanya

"Sudah dikatakan saya ini sebenarnya bukan orang bercadar lagi karena sudah berwarna-warni, kelihatan alisnya dan lain-lain. Dari postingan-postingan saya di Instagram, mereka sudah antipati. Mereka sudah mengatakan, bahasa kasarnya mungkin saya sudah sesat" tutur Ainun.

Jika diminta, perempuan berusia 26 tahun ini tak ragu untuk melepas cadarnya demi kemaslahatan.

“Kalau memang itu instruksi pemerintah dan suasananya mungkin sangat darurat, saya tidak masalah. Karena saya belajar bahwa kita harus menghargai apa yang lebih baik untuk orang banyak. Kalau memang orang merasa terintimidasi, curiga, ada trauma dengan pakaian seperti ini,  saya bisa lepas untuk membuat dia nyaman dengan saya,” kata dia.

Pendiri komunitas Cadar Garis Lucu, Ainun Jamilah. Komunitas ini dibentuk bertujuan untuk mengikis stigma sekaligus memperkenalkan 'wajah' cadar yang lebih ramah. (Foto: KBR/Taufiq Hidayat).

Di Makassar, Ainun tak sendiri. Rekannya sesama muslimah bercadar, Ulfa Wulandari punya sikap serupa.

“Semisal di lingkungan tidak menerima, saya bakal melepas, dan tetap menjadi diri saya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena itu kan bukan masalah pakaian tetapi masalah pemikiran, letaknya di kepala. Radikalisme itu tidak ada busananya. Radikalisme itu adalah pemahaman ideologi," tutur Ulfa.

Ulfa juga mengalami beragam diskriminasi akibat stigma cadar.

“Saya pernah ditarik cadar di depan umum di depan masjid setelah salat Id. Bayangkan lagi banyak orang, tetapi saya tidak marah, karena saya menganggap wajar-wajar saja ketika kita memakai cadar di kalangan orang yang asing dengan cadar. Diledek teroris, diledek juga seperti kelelawar, karena saya waktu itu bercadar, berpakaian hitam-hitam," ujar Ulfa.

Sejak 2017, Ulfa mengubah cara bercadarnya.

"Berpakaian saya sudah berwarna-warni, karena adanya perubahan ideologi dan bacaan serta lingkungan juga kemudian pelajaran-pelajaran saya," lanjutnya.

Ulfa Wulandari, pendiri komunitas Cadar Garis Lucu. Ia kerap mendapat diskriminasi lantaran memakai cadar. (Foto: KBR/Taufiq Hidayat).

Baik Ainun maupun Ulfa menolak pasrah dikungkung stigma.

"Saya menyadari bahwa saya tidak bisa menyalahkan stigma. Yang bisa saya lakukan adalah bagaimana memudarkan stigma itu perlahan-lahan. Jadi tugas dan tanggung jawab saya pribadi untuk mengedukasi teman-teman bahwa tolong jangan selalu mengeneralisir orang-orang bercadar," kata Ainun.

"Siapa sih yang mau dituduh seperti itu. Kami bercadar atas dasar keinginan kami, bukan karena kami ada niat jahat terhadap orang lain. Jadi tolong hanya menghukum perbuatannya, jangan menghukum pakaiannya," lanjutnya.

Hari itu, Ainun Jamilah mengenakan cadar warna biru dan kerudung bermotif bunga. Ia tengah berbincang virtual dengan Natania dari Wanita Theravada Indonesia, melalui Instagram Live pada 28 Mei 2021, yang digelar komunitas Cadar Garis Lucu.

Cadar Garis Lucu dibentuk Ainun bersama beberapa rekannya sesama muslimah bercadar pada 3 Februari 2021. Mereka mengadakan berbagai dialog dengan beragam tema, mulai dari feminisme, pluralisme hingga toleransi.

"Saya punya inisiatif, bagaimana kita bikin satu wadah bersama untuk bagaimana mengkampanyekan pemikiran-pemikiran yang berbeda dari teman-teman bercadar lain," ujar Ainun.

Hasil tangkapan layar Instagram Live yang digelar Cadar Garis Lucu dengan Wanita Theravada Indonesia, 28 Mei 2021.

Nama Cadar Garis Lucu dipilih setelah melewati banyak pertimbangan, kata Ulfa Wulandari. Ulfa adalah salah satu pendiri Cadar Garis Lucu. Ibu satu anak ini merupakan adik angkatan Ainun di jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar.

"Nama grupnya itu pertama adalah feminis bercadar. Lalu timbullah ide baru dari Kak Ainun, bagaimana kalau kita ubah jadi cadar garis lucu saja, supaya terdengarnya tidak terlalu bagaimana ya. Soalnya feminis tuh kayak wow sekali. Kalau cadar garis lucu ya santai kedengarannya," kisah Ulfa.

Komunitas ini ingin mengikis stigma yang melekat pada perempuan bercadar.

“Cadar pada umumnya yang disangka eksklusif, fanatik, radikal. Dan kita buatlah cadar garis lucu. Orang dengan pakaian seperti ini, tertutup, bukan berarti pikirannya mesti tertutup,” lanjutnya.

Mereka juga hendak menunjukkan cadar tak selalu identik dengan intoleransi dan antikeberagaman.

“Apakah dia Kristen, apakah dia Hindu, saya tetap berteman dengan mereka. Jadi yang kita butuhkan itu adalah kemanusiaan, bukan lagi persoalan agama,” ujar Ulfa.

Suasana buka puasa bersama yang digelar Persaudaraan Lintas Iman Makassar, 23 Mei 2019. Kegiatan itu digelar di salah satu rumah pendeta yang dihadiri umat Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. (FOTO: IG Ainun Jamilah).

Ainun teringat momen yang mengubah cara pandangnya tentang penganut agama lain. Beberapa tahun lalu, ia berjumpa dengan seorang ibu di sebuah angkutan umum.

“Saya naik, saya yang insecure, karena pengalaman saya selalu ditatap sinis. Apalagi kondisinya saya masih ber-hitam-hitam. Saya tidak kelihatan alis, hanya mata dan dengan jilbab yang sangat besar, pakaian yang sangat besar. Saya kemudian ambil duduk paling ujung belakang, beliau di dekat pintu. Saya diam sambil saya berpikir mudah-mudahan ibu ini tidak merasa terganggu dengan kehadiran saya,” kisah Ainun.

Tanpa dinyana, ibu itu mengajak ngobrol Ainun.

"Bahwa beliau punya seorang anak perempuan yang masih SMA katanya punya watak keras, sedikit membangkang. Beliau curhat panjang lebar, saya hanya mendengarkan, saya hanya tersenyum kemudian bilang iya saja. Sampai terakhir saya turun duluan, saya permisi dengan ibunya. Kemudian ibu itu langsung menyeletuk tanpa saya tanya langsung beliau, 'De, saya ini Kristen lho,'" lanjutnya. 

Walau singkat, perjumpaan itu menjadi salah satu titik tolak perubahan dalam hidup Ainun.

"Saya refleksikan dengan pengalaman saya bercadar yang sangat amat berat. Bagaimana orang-orang yang tidak memercayai saya, tapi kenapa ibu itu percaya kepada saya. Dari sana saya mulai banyak meng-hijrahkan pemikiran saya. Karena saya memang tidak punya basic sama sekali tentang apa itu konsep toleransi dan lain-lain," tutur Ainun. 

"Kita hanya diajarkan dengan orang tua bahwa iya ada agama Kristen, tapi kamu jangan bergaul. Nanti kamu dikasih makan, ini dikasih makan itu. Prasangka itu yang saya bawa sampai besar hingga saya berteman dengan ibu tersebut,” imbuh dia.

Sepson Sambara, mahasiswa Kristen anggota Persaudaraan Lintas Iman (PLI) Makassar. (Foto: KBR/Taufiq Hidayat)

Komunitas Cadar Garis Lucu yang dibentuknya bergabung dalam Persaudaraan Lintas Iman (PLI) Makassar dan aktif terlibat upaya deradikalisasi. Hal itu sangat diapresiasi oleh anggota PLI, Sepson Sambara. Prasangkanya terhadap muslimah bercadar pun ikut terkoreksi.

“Kenapa bisa ada seorang yang bercadar mau hadir dalam komunitas yang kita suarakan dalam melawan radikalisme? Saya yang tadinya berpikir bahwa cadar itu identik dengan orang-orang radikalis, ternyata saya menemukan bahwa teman-teman saya yang gabung dalam komunitas lintas iman itu, justru sangat berpikiran terbuka,” kata Sepson.

Mahasiswa Kristen berusia 25 tahun ini mendukung Ainun dan kawan-kawan tetap bercadar.

"Jangan pernah lepaskan cadar kalian, tetap berjuang di garis itu. Jangan pernah meninggalkan identitas itu supaya ada kontra-narasi atau kontra-wacana terhadap orang-orang bercadar lain. Supaya cadar ini tidak dianggap sebagai identik dengan radikalisme," tutur dia.

Keberanian mereka untuk unjuk diri dinilai Sepson bisa mempertebal kultur toleransi dan perdamaian.

"Jadi kalian justru bisa menjadi suatu model untuk mengatakan bahwa kami bercadar tetapi kami tidak setuju dengan tindakan tindakan seperti itu. Dengan itu sebenarnya teman-teman ini bisa menjadi salah satu alat 'tools' untuk memerangi radikalisme,” pungkas Sepson.

Penulis: Muthia Kusma Wardani

Editor: Ninik Yuniati