NASIONAL

Berbincang tentang Pajak Karbon dan Perdagangan Karbon

Pajak karbon bertujuan menekan emisi gas rumah kaca

AUTHOR / Valda Kustarini, Ninik Yuniati

Berbincang tentang Pajak Karbon dan Perdagangan Karbon
Albertus Siagian menyebut diterapkannya pajak karbon karena Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris sebagai mitigasi perubahan iklim. Foto: dok pribadi

KBR, Jakarta - Penerapan pajak karbon yang mestinya bergulir pada 2022, ditunda hingga 2025. Sedangkan, perdagangan karbon diluncurkan lebih dulu, meski baru di subsektor pembangkit listrik. Dua kebijakan ini bertujuan menekan emisi gas rumah kaca. Seperti apa gambaran penerapan pajak karbon dan bagaimana kaitannya dengan bursa karbon? Simak obrolan KBR dengan analis Climate Policy Initiative, Albertus Prabu Siagian.

T: Boleh dijelasin dulu, pajak karbon itu apa sih?

    J: Pajak karbon itu adalah ketika kita dipajaki, ketika kita mengkonsumsi barang dan jasa yang dianggap mengandung karbon. Atau ketika kita melakukan suatu aktivitas yang aktivitas itu dianggap mengeluarkan karbon. Karbon ini atau emisi ya, itu suatu gas rumah kaca, biasanya CO2 yang kemudian kita rilis ke atmosfer, yang kemudian membuat perubahan iklim. Nah karena dampaknya negatif bagi lingkungan, itulah kenapa barang dan jasa tadi atau aktivitas tadi itu dipajaki sama pemerintah.

    T: Kenapa harus ada pajak karbon?

    J: Kalau dari perspektif politik internasional, itu karena Indonesia itu sudah meratifikasi perjanjian Paris. Kita bilang ke dunia global kita mau membantu memitigasi perubahan iklim. Urgensi lainnya karena juga pemerintah melihat, atau setidaknya kita semua melihat dari struktur ekonomi ya, sektor ekstraktif ini selama ini menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Ini lama-lama akan sulit bertahan di masa depan, karena kan komoditas yang tak terbarukan itu kan pasti makin lama makin langka ya. Jadi pasti kita harus graduate ke sektor lain yang sifatnya non-ekstraktif. Jadi pemerintah berpikir kita sebagai ekonomi harus move on nih, enggak bisa terus bergantung sama lingkungan. Dari perspektif alam itu sendiri juga perubahan iklim itu, udah mulai mengganggu produksi agrikultur, menurunkan kualitas air dan udara, terus juga makin seringnya ada bencana hidrometeorologis, itu membuat kita juga makin aware sama perubahan iklim. Nah semua hal ini membuat kita jadinya berpikir ada urgensi untuk kemudian mempertimbangkan lingkungan atau perubahan iklim di ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan kemudian kita bikin pajak karbon.

    T: Indonesia apakah dibilang telat menerapkan pajak karbon?

    J: Menurut saya pribadi memang telat, tapi lebih baik telat daripada tidak pernah. Better late than never. Karena menurut saya ya kalau pajak karbon ini enggak kunjung dilakukan, itu akan makin pelik ke depannya, 'kan kita pajakin karbon itu supaya pemerintah punya pendapatan, yang pendapatannya dipakai untuk melakukan proyek-proyek hijau. Nah, makin ditunda, makin tidak dilakukan nih pajak karbon, kan kerusakan lingkungannya makin parah, yang artinya apa? proyek hijau yang mesti dilakukan untuk mengkompensasi itu kan berarti makin besar, berarti kan pendapatan pemerintah untuk melakukan itu juga harus semakin besar, berarti pajak karbonnya, tarifnya harus lebih tinggi, yang artinya lebih politically challenging kan?

    Baca juga:

    Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 1)

    Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 2)

    T: Apa aja sih yang diatur dalam pajak karbon ini?

    J: Yang harus diatur, ada beberapa, satu, tax base. Jadi apa sih yang harus dipajakin? Apakah individu saja kah atau perusahaan sajakah atau keduanya? Terus misalkan barangnya apa yang mau dipajakin? Apakah BBM kah? Apakah misalkan batu bara kah? Atau mungkin bukan barang, tapi jasanya. Ya, mungkin kegiatan apa sih yang harus dipajakin? Misalkan pembangkit listrik batubara, oh mungkin pembangkit listriknya yang harus dipajakin. Jadi tax base itu bicara tentang apa yang harus dipajaki. Apakah ketika kita beli batu bara ya batu baranya itu yang dipajakin atau ketika kita beli batubara, batubaranya enggak dipajakin, tapi ketika kita memakai itu untuk memproduksi listrik. Nah, kegiatan memproduksi listrik yang berdasarkan batubara itulah yang kemudian dipajakin. Itu tax base. Yang kedua, tax rate-nya, pajaknya mau setinggi apa nih per kilogramnya atau per ton CO2, itu juga harus dipikirkan. Nah ini enggak gampang karena apa? Di satu sisi kalau kita terlalu rendah bikin tarifnya, dampak ke lingkungannya enggak nendang, karena pajaknya rendah, jadi orang enggak merasa kayak dipajakin. Dampak ke pendapatan negaranya juga rendah, ya karena pajaknya rendah aja. Jadi environmental goal-nya enggak dapat, fiscal revenue goal-nya juga nggak dapat. Jadi sayang gitu, nanggung. Tapi kalau pajaknya itu ketinggian, takutnya bikin inflasi dan itu juga bukan hal yang kita mau. Jadi serba salah gitu, rendah salah, tinggi salah. Yang ketiga ya cara menyelenggarakannya. Misalkan, gimana cara ngitung karbon? gimana cara kita tahu sih PT ini itu udah ngeluarin sekian ton karbon, itu tahunya dari mana, hitungnya, terus nanti kemudian dia harus bayar pajaknya berapa? Itu kan sesuatu yang ribet, karena karbon itu kan bukan sesuatu yang kasat mata, jadi pastilah monitoring and evaluation-nya akan ribet tuh di situ dan itu bukan sesuatu yang mudah bagi suatu negara yang pernah melakukan itu sama sekali.

    T: Seperti apa skema pembayaran pajak antara individu dengan korporasi?

    J: Kalau individu sih, saya bayangannya, ketika dia harus bayar pajak karbon, mungkin pemerintah sudah menaruh pajak karbonnya terkandung di barang yang, masyarakatnya beli. Jadi misalnya nih saya beli BBM, di dalam BBM itu sudah terkandung suatu nilai pajak karbon. Jadi ketika saya beli BBM itu, harga yang saya bayar di pom bensin itu udah termasuk, feeling saya seperti itu, karena itu yang paling mudah kan ya? Jadi yang dipajakin itu komoditasnya. Kalau perusahaan, bagaimana cara dipajakinnya? Ya satu, bisa sama tadi, jadi komoditasnya dipajakin atau yang kedua ya aktivitasnya, misalkan dia perusahaan di bidang perkebunan. Ya mungkin nanti dia harus lapor, misalkan berapa banyak hektar hutan yang dia tebang untuk bikin kebun dia, nanti dilaporkan ke pemerintah, nanti pemerintah hitung, oke sekian hektar hutan ditebang, itu artinya dia sudah merilis sekian ton karbon, terus nanti dihitung dengan tax rate sekian berarti dia harus bayar sekian.

    T: Pajak karbon kan ditetapkan 30 rupiah ya per kilogram karbondioksida ekuivalen. Banyak yang bilang itu terlalu rendah. Berarti ada potensi itu bakal kurang efektif?

    J: Bisa jadi, karbon tax rate nya terlalu rendah, orang mikir daripada aku capek-capek melakukan abatement action melakukan suatu aksi yang membuat emisiku berkurang. Mending udahlah, aku bayar pajak aja lebih mudah, lebih murah juga. Yaitu makanya jangan carbon tax rate terlalu rendah, dampak lingkungannya enggak dapat, fiscal revenue goal-nya juga nggak dapat ya. Tapi mungkin gini ya karena, masyarakat Indonesia ini kan kita berada di ekonomi berkembang. Saya juga ngerti, kenapa enggak boleh juga tuh yang namanya pajak itu langsung tinggi gitu ya harus gradual dulu, ya mungkin nanti ujung-ujungnya tinggi juga, siapa tahu kan? Mungkin strategi aja, di awal dipasang rendah, supaya orang mau, supaya orang mengenal dulu, tapi ntar lama-lama dinaikin ya, bisa jadi ya, kalau seperti itu sih enggak masalah.

    red
    Penghitugan pajak karbon bagi industri dilakukan berdasarkan karbon yang dihasilkan kemudian dikonversi ke rupiah. Foto: KBR/ Valda


    T: Peruntukan pajak karbon untuk apa aja sih?

    J: Wacananya masih terus bergulir ya. Tapi kurang lebih ada beberapa opsi ya. Satu, ya pendapatannya dipakai untuk pemerintah bisa melakukan proyek-proyek hijau. Dua, pendapatan tadi itu bisa pemerintah pakai untuk dia kasih sebagai subsidi, untuk proyek-proyek hijau yang dilakukan oleh swasta. Atau kalau ini sih mimpi saya sendiri ya, mungkin, pendapatan itu bisa dipakai pemerintah untuk dia mempensiunkan atau mengurangi beberapa pajak penghasilan dari orang. Jadi supaya orang tuh, di satu sisi pajak penghasilannya berkurang, tapi jadinya dia jadi punya insentif untuk melakukan kegiatan hijau. Tapi anyway itu pendapat saya pribadi, mungkin pemerintah enggak kepikiran ke situ. Yang ketiga, tetap, pemerintah menggunakan pendapatan pajak tadi, sebagai subsidi, namun bukan terhadap proyek hijau, tapi terhadap masyarakat kecil ke bawah, jadi sebagai bentuk proteksi terhadap mereka karena anggapannya, di suatu ekonomi yang konfigurasinya lebih hijau, akan lebih banyak barang yang sifatnya mahal.

    T: Ada lagi nih yang namanya perdagangan karbon atau pasar karbon. Ada kaitannya ga dengan pajak karbon?

    J: Kalau enggak salah, konsepnya mau dibuat seperti ini. Jadi anggaplah ada, 2 perusahaan gitu ya, A dan B, masing-masing sudah ditentukan nih, sejak awal kamu cuma bisa, mengemisi sekian ton. Nanti misalkan si A, dia mengemisi lebih sedikit dari yang dibolehkan, si B lebih banyak dari yang dibolehkan. Berarti kan si B ini kan "melanggar" gitu ya. Nah nggak apa-apa asalkan dia dapat izin memang, untuk mengemisi lebih dari yang ditentukan atau dibataskan. Izinnya ini dia beli dari mana? Ya dia bisa beli dari si A, karena si A ini dia punya beberapa izin mengemisi yang nggak dia pakai, karena kan tadi dia mengemisi lebih rendah. Jadi nanti si A jual ke B, jualnya di mana? ya di pasar karbon itu, itu namanya perdagangan karbon. Bagaimana jika? Nah, ini yang menarik. Bagaimana jika si B nih, misalkan tadi, dia karbonnya 10 ton lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi si A, dia meskipun lebih rendah dari yang ditentukan, tapi, kebetulan enggak minus 10 gitu, dia bukannya mengemisi 10 ton lebih rendah, misalkan dia hanya mengemisi cuma 5 ton lebih rendah. Berarti kan yang A bisa jual ke B, kan cuma 5 nih, berarti kan si B ini masih PR kan? Aku ngeluarin karbon 10 ton lebih banyak, 5 ton-nya izinnya bisa aku dapat dari si A, tapi 5 ton lainnya kan aku masih harus pikirkan dapat izinnya dari mana? Si A udah enggak bisa, sementara si A, anggap aja satu-satunya perusahaan di pasar. Nah, nanti untuk 5 ton sisanya itu nanti dipajakin sama pemerintah. Jadi istilahnya kalau biasanya orang bilang itu cut and trade, ini cut, and trade, and tax, jadi combo.

    T: Potensi pendapatan negara dari pajak karbon ini kira-kira berapa?

    J: Ini yang sebenarnya saya mau coba ungkit ya, orang itu selalu bicara ketika mereka lihat, oh ini ada pajak baru, estimasi pendapatan negaranya, potensinya sekian, itu kan ya, the good side of it-nya ya. Saya cuma pengin ungkit bahwa gini ketika sesuatu dipajakin itu pasti akan ada perubahan tax base-nya di masa depan, dan itu akan mempengaruhi estimasi pendapatan negara dari jangka panjangnya. Contoh gini, kalau aku ngerokok, terus aku dipajakin, pasti kan aku lama-lama bakal merasa, ah aku jadi nggak mau ngerokok ah, orang aku dipajakin, jadi malas ya kan? Jadi awalnya mungkin si yang majakin aku, dia dapat pendapatan tuh dari majakin aku. Tapi kan pasti makin ke sana, as time goes by, pendapatan dia dari majakin aku makin rendah karena akunya sendiri juga malas merokok, ya enggak? itu tuh yang sekarang, sampai sekarang belum begitu banyak dibahas di Indonesia. Di masa depan, in the long run kan pasti aktivitas-aktivitas yang mengeluarkan karbon kan akan berkurang kan? idealnya kan gitu, karena dipajakkin mereka jadi males ngeluarin karbon. Berarti kan tax base-nya jadi menyusut, berarti kan kalau tax rate-nya tetap sama, estimasi pendapatan negara yang mungkin tinggi itu di awal, itu nggak akan selamanya tinggi lama-lama akan kecil. Kalau pendapatan negaranya lama-lama kecil, berarti kan kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek hijau itu juga ada batasnya. Nah itu juga harus dipikirkan gitu.

    T: Bagaimana dampaknya penerapan pajak karbon bagi masyarakat?

    J: Jadi memang pajak karbon, itu berpotensi menimbulkan inflasi, yang kemudian kalau di istilah sekarang itu, greenflation, bukan inflation, tapi greenflation. Sebuah inflation yang terjadi karena kita mau green, kayak gitu. Pastinya ada. Itulah kenapa proteksi masyarakat, khususnya untuk yang menengah ke bawah itu juga harus dipikirkan sama pemerintah, karena pasti ada dampak ke situnya. Terus enggak cuma itu tuh, kalau inflasi itu kan bank sentral, dia akan berusaha untuk meningkatkan suku bunga supaya inflasinya cepat reda.Tapi kalau suku bunga meningkat, artinya termasuk suku bunga pinjaman, itu akan meningkat, termasuk suku bunga pinjaman untuk proyek hijau dan itu akan mengganggu perkembangan proyek-proyek hijau di suatu negara. Jadi kayak serba salah gitu ya. Kita majakin karbon supaya pemerintah dapat duit untuk duitnya dipakai untuk proyek hijau. Tapi kemudian pajak karbon, buat inflasi. Inflasi membuat bank sentral meningkatkan suku bunga, suku bunga mengganggu investasi, termasuk investasi proyek hijau itu sendiri. Jadi ya repot memang.

    T: Negara mana sih yang bisa kita tiru soal pajak karbon?

    J: Kebanyakan negara yang menerapkan pajak karbon di planet bumi ini, mereka menerapkannya tuh enggak seserius yang seharusnya. Jadi kalau dibilang harus benchmark ke mana? Well, kebanyakan negara sebenarnya enggak cukup bagus untuk dicontoh, tapi yang paling bagus untuk dicontoh, biasanya itu negara-negara Skandinavia ya, negara-negara nordik di sana itu, pajak karbon nya tinggi sekali, bisa sampai $40 per ton apa kalau enggak salah. Asia kayaknya belum oke. Karena setahu saya tuh pajak karbon itu, inisiatifnya kadang kayak gitu-gitu datang biasanya dari Amerika utara sama Eropa sih ya. Asia tuh biasanya bukan trendsetter, dia cuma ngikutin aja, oh di Amerika utara sama Eropa kayak gitu, oke kita ikutin. Kayak Jepang, korsel mungkin dia ngikutin, tapi ngikutinnya bagus, serius.

    T: Terkait implementasi pajak karbon, apa nih yang perlu dipersiapkan masyarakat maupun dunia usaha?

    J: Menurut saya pajak karbon itu adalah suatu upaya pemerintah untuk menyadarkan orang bahwa kita ini sedang bertransisi, transisi hijau.Jadi in the long run sih untuk pengusaha, harapannya mereka mulai memikirkan suatu skema model bisnis baru ya, kalau memang selama ini model bisnis mereka berpotensi banyak dipajakin karbon. Berarti itu suatu sinyal nih bagi mereka, mereka harus bersiap-siap untuk mengubah model bisnisnya supaya di masa depan model bisnisnya sedemikian rupa, sehingga dia enggak perlu dipajakin karbon. Kalau untuk masyarakat, ya bahwa dia harus mempersiapkan saja sih, bahwa barang itu akan lebih mahal, mungkin, harus lebih banyak saving sekali ya, mengingat mungkin di masa depan keadaan akan lebih sulit. Tapi enggak akan sulit selamanya. Tapi kalau keadaannya barang-barang hijau kayak misalkan mobil listrik, itu udah sama murahnya dengan mobil konvensional kan semuanya kembali normal. Namanya bertransisi pasti gejolak, tapi pasti nanti akan balik ke new normal lah. Nah, melewati itu tuh butuh saving yang cukup. Itulah kenapa pemerintah juga berupaya untuk mungkin mereka, pemerintah juga harus memberikan bantuan subsidi ya untuk masyarakat kecil.

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!