NASIONAL

Ancaman Penggusuran dan Kriminalisasi di Lahan IKN

Konflik lahan antara warga Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara dengan PT ITCI Kartika Utama muncul sejak 2017, saat ada wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan.

AUTHOR / Agus Luqman

EDITOR / Resky Novianto

Google News
Ancaman Penggusuran dan Kriminalisasi di Lahan IKN
Aksi karnaval tolak perusakan lingkungan di Teluk Balikpapan, Sabtu (17/8/2024). (Foto: KBR/Nanda Naufal)

Dina Datu berjalan tertatih-tatih memasuki ruangan kantor di sebuah kompleks ruko di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

“Sudah jarang berkebun. Sudah nggak kuat, sakit-sakitan, lutut ini kadang nggak bisa jalan,” kata Dina kepada KBR, pertengahan Agustus 2024.

Tempat yang dituju perempuan berusia 50 tahun itu adalah tempat aktivitas Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi). Lembaga ini mendampingi Dina, yang hari itu diperiksa selama berjam-jam di Polda Kalimantan Timur.

Dina, warga Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara itu diperiksa terkait kasus dugaan penyerobotan tanah yang diklaim milik PT International Timber Corporation Indonesia (PT ITCI) Kartika Utama.

Dina harus menempuh perjalanan hampir setengah hari pulang pergi menggunakan perahu, dari desanya ke Kota Balikpapan.

“Saya ditanyain, ibu tahu lahan ITCI? Saya tidak tahu sama sekali bahwa ini lahan ITCI. Kenapa saya mau bikin rumah kalau tahu lahan ITCI? Saya beli dari penduduk asli, ini tanah nenek moyang dia,” katanya.

Menurut Dina, ia membeli lahan untuk dibangun rumah dan kebun pada 2012. Namun, polisi menyebut ia ceroboh membangun rumah di atas lahan PT ITCI Kartika Utama.

red

Konferensi pers PBH PERADI terkait kasus konflik lahan warga Desa Telemow dengan PT ITCI Kartika Utama, di Balikpapan, Jumat (16/7/2024). (Foto: KBR/Nanda Naufal)


Hari itu, Dina ditemani warga Telemow lainnya, Tati Masyani. Tati juga ikut dipanggil dan diperiksa polisi dalam kasus penyerobotan lahan. Kepada media, Tati mengatakan PT ITCI mulai memasang plang tanda pemilikan lahan di lahan-lahan warga pada 2017.

“Mereka datang ngancam, waktu kita mau bersihin lahan. Lahan kan masih kosong. Mereka datang ngancam, kita disuruh berhenti jangan dilanjutkan. Karena ini masuk area PT ITCI, dia ngomong begitu. Ya kita tetap melawan. Jadi mereka tahu kita sepakat semua, bertahan. Jangan sampai ada yang mundur gitu, tetap maju,” kata Tati.

Menurut Tati, petugas dari PT ITCI Kartika Utama juga mendatangi rumah-rumah warga lainnya memberi peringatan yang sama.

“Kita disomasi, disuruh lepas, jangan ada yang beraktivitas di situ. Karena itu pemiliknya orang PT ITCI. Tapi kami tetap enggak mau. Dipaksa gitu, enggak mau,” kata Tati.

PT ITCI Kartika Utama merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kayu, milik Hasjim Djojohadikusumo, adik presiden terpilih Prabowo Subianto.

Bukan hanya Diana dan Tati yang diperiksa atas tuduhan penyerobotan lahan PT ITCI Kartika Utama. Pengacara publik dari PBH Peradi, Ardiansyah menyebut sudah ada 40-an warga diperiksa sebagai saksi.

“ Pendampingan yang kami lakukan itu sudah sejak tahun 2017. Sejak tahun 2012 warga mendiami tanah yang disengketakan oleh PT ITCI itu. Warga baru mengetahui kalau rupanya itu masuk area HGU, kita juga tidak bisa buktikan apakah benar atau tidak. Tapi menurut klaim PT ITCI itu masuk area HGU mereka. Itu ketahuan sejak tahun 2017. Ada pemasangan plang-plang di situ. Sampai hari ini mempertahankan haknya. Tahun 2017, PT ITCI datang membawa semacam formulir, disodorkan kepada warga. Warga disilakan menempati tanah itu, tetapi warga harus mengakui bahwa itu tanahnya PT ITCI. Tetapi warga melakukan perlawanan,” kata Ardiansyah kepada KBR, di Balikpapan, Agustus 2024.

Menurut Ardiansyah, sengketa lahan itu bukan termasuk tindak pidana, seperti yang dilakukan PT ITCI dengan melaporkan warga ke polisi. Melainkan masalah perdata. Sayangnya, warga terus mendapat intimidasi dan upaya pengusiran selama bertahun-tahun.

“Silakan lakukan jalur hukum perdata, karena di situ jauh sebelum merdeka, jauh sebelum ada PT ITCI Kartika Utama, mereka sudah sana itu. Kenapa bisa dia di sangka melakukan perbuatan atau tindakan tindakan pidana lainnya? Kami sangat sangat keberatan apabila warga itu ditekan. Ini kan ada kriminalisasi, ada intimidasi untuk menggusur warga. Ada intimidasi agar warga meninggalkan lokasi. Ada intimidasi untuk menyerahkan surat yang dimiliki keluarga, surat surat tanah, SKT warga,” kata Ardiansyah.

red

Warga melintas dekat plang tanda SHGU PT ITCI di Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Minggu (18/7/2024). (Foto: KBR/Nanda Naufal)


Sengketa lahan antara warga Desa Telemow dengan PT ITCI muncul pada 2017, tahun yang sama dengan adanya kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.

Pada 16 Agustus 2019, dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo minta izin ke DPR untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Pemerintah selanjutnya menyusun draf Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ibu Kota Negara dan menyerahkannya ke DPR pada akhir September 2021. Pembahasan RUU berlangsung cepat, kurang lebih 43 hari, sejak dibentuk Panitia Khusus hingga disahkan di paripurna DPR pada awal 2022. Kawasan di sekitar IKN, termasuk Desa Telemow, masuk dalam Kawasan Pengembangan IKN (KPIKN).

Pada 2020, PT ITCI melaporkan beberapa warga Telemow ke Polres Penajam Paser Utara (PPU) atas tuduhan tindak pidana kasus penyerobotan tanah. Namun, Polres PPU menghentikan penyelidikan karena menganggap kasus itu bukan pidana.

Pada Juni 2024, PT ITCI kembali melaporkan warga ke Polda Kalimantan Timur dengan tuduhan yang sama; warga dituduh melakukan tindak pidana penyerobotan.

“Konflik ini melibatkan enam desa. Lima desa sudah bisa mereka dapat pengakuan dari warga-warga bahwa itu adalah tanahnya ITCI. Khusus warga Telemow, mereka melakukan perlawanan, bertahan sampai hari ini. Luasnya kurang lebih 80 hektar yang ada dalam desa Telemow. Desa-desa sekitar Telemow, ITCI sudah berhasil mengambil alih,” kata Ardiansyah.

Baca juga:

***

red

Proyek pembangunan di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Minggu (18/7/2024). (Foto: KBR/Nanda Naufal)

Desa Telemow berjarak sekitar 107 kilometer dari Balikpapan, jika ditempuh menggunakan jalan darat. Butuh waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil untuk menyusuri jalan utama, mengitari Teluk Balikpapan. Sedangkan dari Telemow ke IKN, jaraknya sekitar 18 kilometer.

Desa ini masuk dalam Kawasan Pengembangan IKN, sesuai Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN.

Di sepanjang jalan raya provinsi di Kecamatan Sepaku yang menjadi akses utama menuju IKN, terlihat banyak proyek pembangunan gedung bertingkat. Alat berat beroperasi hingga tengah malam.

Desa Telemow memiliki luas sekitar 481,6 hektare. Sedangkan, 220 hektare ditempati warga yang berjumlah 93 keluarga. Lahan sisanya berada di wilayah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan (HPL).

Kepala Desa Telemow, Munip menceritakan, selama bertahun-tahun warga sudah membangun lahan di daerah itu tanpa ada masalah. Tidak ada juga larangan dari PT ITCI.

“Masalah muncul ketika tahun 2017, tiba-tiba PT ITCI menerima Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dari BPN,” kata Munip kepada media, pertengahan Agustus 2024.

Menurut data yang dimiliki Kantor Desa Telemow, PT ITCI masuk wilayah Telemow pada 1969. Saat itu, Desa Telemow masih menyatu dengan Desa Maridan, belum dimekarkan. Pada 1970, PT ITCI mengajukan izin Hak Guna Usaha (HGU) ke Kementerian Pertanian. Izin HGU terbit dengan masa berlaku 20 tahun hingga 1993. PT ITCI mengajukan lagi perpanjangan HGU sekaligus Hak Guna Bangunan (HGB), karena aturan baru pemerintah mengharuskan perusahaan pemilik HGU untuk mengurus HGB ketika hendak membangun kantor atau bangunan pendukung usaha. Dua izin itu pun terbit dengan masa berlaku 20 tahun hingga 2013.

“Pada saat 2013 izin habis itu, keluar SK Kementerian Kehutanan Nomor 718, yang menurut asumsi kami---dan kami masih cek---wilayah Telomow sudah masuk area penggunaan lain. Artinya, tidak ada lagi hutan produksi. Kalau tidak ada hutan produksi, maka berarti tidak ada HGU. Itu asumsi sementara kami,” kata Munip.

red

Kepala Desa Telemow, Munip. (Foto: KBR/Nanda Naufal)

Setelah izin HGU PT ITCI Kartika Utama habis pada 2013, sebagian masyarakat mulai mengajukan surat-surat pengajuan status tanah pada 2014. Pemerintah Desa menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau segel.

Belakangan, kantor Kecamatan Sepaku meminta pemerintah Desa Telemow mencabut SKT lahan warga. Permintaan pencabutan muncul, setelah PT ITCI melaporkan warga ke polisi atas tuduhan penyerobotan tanah, dan polisi memeriksa camat Sepaku.

“Terkait pencabutan ini, sedang kami konsultasikan lebih dalam. Apakah ketika dicabut keterangan dari camat itu, apakah serta-merta menghapus SKT? Sementara ada dua versi. Ada yang mengatakan segal tetap sah, ada yang mengatakan tidak berlaku. Nah ini sedang kita dalami,” kata Munip.

Semenjak muncul konflik lahan dengan PT ITCI, warga dan pemerintah Desa Telemow terus melakukan upaya untuk memperjelas status lahan warga setempat. Mulai komunikasi dengan pihak Kecamatan Sepaku, Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara, DPRD Penajam Paser Utara, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Samarinda hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Kepada BPN kami sampaikan, kok bisa terbit HGB, sedangkan kondisi eksisting saat itu sudah banyak pemukiman penduduk, kemudian ada warga yang menguasai lahan tersebut. Ada juga kantor pemerintahan, fasilitas umum, puskesmas dan kemudian kantor  desa kita. Asumsi sementara yang disampaikan kepada kami oleh pejabat BPN yang menerima kami itu, seharusnya kalau ada kondisi eksisting seperti itu tidak boleh masuk (HGU). Harus dienklafkan (dikeluarkan). Jadi ada proses (penerbitan HGU) yang menurut kami kurang pas,” kata Munip.

Munip menjelaskan, semestinya ketika ada pengajuan HGU atau HGB, lebih dulu dilakukan sidang yang melibatkan berbagai pihak. Dari pemerintah mulai tingkat RT, desa, kecamatan, hingga tokoh masyarakat lebih dulu, membicarakan lokasi, kondisi eksisting, hingga batas-batas wilayah.

“Tapi itu tidak dilakukan. Jadi kami menganggap itu ada masalah,” kata Munip.

Munip termasuk salah satu warga Desa Telemow yang mendapat intimidasi ketika memperjuangkan hak lahan warga.

“Saya mendapat intimidasi karena saya berada di rumah milik perusahaan PT ITCI yang saya sewa. Nah kemudian diberi surat untuk mengosongkan beberapa bulan itu. Itu tahun 2023, waktu itu saya sekretaris desa,” kata Munip.

KBR sudah mencoba menghubungi Danis Sumadilaga, Ketua Satuan Tugas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN mengenai sengkarut status lahan yang dihuni warga Desa Telemow. Namun tidak mendapat jawaban berarti.

“Saya cek masalahnya, terima kasih,” kata Danis melalui pesan singkat kepada KBR.

Staf Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy Kurniawan mengkritik terus terjadinya kriminalisasi warga di era pemerintahan Joko Widodo. Termasuk warga yang mempertahankan hak mereka.

“Apa yang dilakukan oleh warga ini adalah sebuah upaya untuk mempertahankan hak mereka sebagai warga negara, hak atas tanah, hak untuk hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga kalau kita dudukan dalam konteks hak asasi manusia dan lingkungan, mereka ini bisa dikategorikan sebagai Pembela lingkungan, dan harusnya mendapat perlindungan hukum berdasarkan pasal 66 Undang-undang 32 tahun 2009,” kata Edy.

red

Surat panggilan pemeriksaan kepada salah satu warga di Desa Telemow. (Foto: KBR/Nanda Naufal).

Edy menyebut konflik yang melibatkan warga dengan PT ITCI Kartika Utama merupakan konflik krisis ruang, dimana warga mempertahankan ruang hidup mereka atas ekspansi perusahaan besar yang melakukan kegiatan ekstraktif.

“Sumber sumber agraria ini dikuasai dan dimonopoli korporasi. Warga yang harusnya mendapat limpahan besar dari kekayaan sumber daya alam, justru mengalami krisis ruang. Ruang mereka sebagai menyempit. Hak atas tanah, hak atas lingkungan dan udara bersih mereka semakin menyempit. Sehingga lagi-lagi jika kembali kepada pasal 33 Konstitusi, apa yang dilakukan oleh warga ini adalah upaya untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Ini harusnya menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, bukan malah menggunakan tangan aparat penegak hukum untuk memukul, menggebuk warga dengan pasal-pasal hukum yang kami rasa ini sangat aneh,” kata Edy.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!