KBR, Jakarta - Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah Jabodetabek pada Rabu (1/1/2019) tak hanya disebabkan faktor iklim, tapi juga karena minimnya daerah resapan air.
Hal itu disinggung Miming Saepudin, Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Menurut Miming, ada empat faktor terkait iklim yang mempengaruhi tingginya curah hujan di Jabodetabek.
"Pertama karena aktifnya Monsun Asia," kata Miming kepada Antara, Kamis (2/1/2020).
Miming menjelaskan, Monsun Asia adalah angin yang berhembus secara periodik dari Benua Asia menuju Benua Australia yang melewati Indonesia.
Siklus Monsun Asia berlangsung setiap Desember hingga Februari. Angin periodik ini mengindikasikan musim hujan di Indonesia sedang berlangsung.
Tiga faktor alam lainnya adalah perlambatan kecepatan angin, hangatnya suhu permukaan laut, serta gelombang atmosfer yang meningkatkan potensi udara basah.
Menurut Miming, berbagai fenomena alam itu sedang terjadi bersamaan hingga menimbulkan curah hujan tinggi, terutama di kawasan Jabodetabek.
"Sementara daerah resapan air di kawasan ibu kota tergolong sempit," katanya lagi.
Daerah Resapan Air Jakarta Jauh dari Ideal
Sejalan dengan BMKG, masalah daerah resapan air itu juga disoroti oleh Nirwono Joga, arsitek lansekap dari Universitas Trisakti.
Nirwono menyebut, hingga saat ini luas Ruang Terbuka Hijau di Jakarta, yang harusnya berfungsi sebagai daerah resapan air, masih jauh dari ideal.
"(Daerah resapan air) ada taman, hutan kota, jalur hijau, itu tuh bagian dari Ruang Terbuka Hijau. Secara keseluruhan ini yang menyusut. (Ruang Terbuka Hijau) Jakarta hanya 9,8 persen, padahal idealnya 30 persen," terang Nirwono kepada KBR, Rabu (1/1/2019).
Editor: Agus Luqman