NASIONAL
Seluk Beluk Restorative Justice Kasus KDRT
Seluk Beluk Restorative Justice untuk kasus KDRT diobrolin mendalam di podcast Diskusi Psikologi (Disko)
AUTHOR / Tim Disko
KBR, Jakarta- Kehidupan seorang yang mengalami kekerasan pasti tidak akan sama lagi. Kekerasan sekecil apapun itu, berpotensi membekas dan menjadi bagian dari kehidupannya.
Melansir laman SehatQ dari Kementerian Kesehatan, berikut dampak kekerasan:
1. Reaksi Emosional
Baik kekerasan yang berlangsung bertahun-tahun maupun yang baru terjadi akan berdampak besar bagi sisi emosi seseorang. Di satu sisi, penyintas bisa merasa menyalahkan diri sendiri atau sebaliknya, begitu marah pada situasi.
2. Dampak psikologis
Tak hanya emosi, psikologis penyintas kekerasan juga akan terpengaruh. Pengaruh ini tidak hilang sekejap. Meskipun kekerasan yang dialaminya sudah lama berlalu, dampak seperti mimpi buruk yang berhubungan dengan kekerasan, flashback, sulit berkonsentrasi, depresi, hingga post-traumatic stress disorder masih bisa terjadi.
3. Reaksi fisik
Kondisi fisik seseorang yang mengalami kekerasan tidak bisa dibohongi. Baik itu kekerasan yang terjadi satu kali atau pun berkali-kali. Namun bekas kekerasan di tubuh seseorang itu bisa mereda selama beberapa waktu.
4. Kepercayaan diri
Masih berhubungan dengan sisi psikologis, penyintas kekerasan juga bisa mengalami masalah dengan kepercayaan diri. Kekerasan yang terjadi bisa menyebabkan sang penyintas merasa dirinya tidak berguna.
Ketika kepercayaan diri ini runtuh, maka ada kemungkinan, timbul cemas berlebih pada situasi tertentu. Misalnya menghindari tempat atau orang tertentu, terus menerus merasa sedih, bahkan bisa muncul suicidal thoughts atau keinginan untuk mengakhiri hidup.
Ketika anda melihat, mendengar atau mengalami tindak kekerasan atau Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) laporkan ke SAPA 129. Layanan SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129.
Baca juga:
Lawan Stigma pada HIV AIDS Lewat Media Sosial
Biar tak Mencinta Secara Obsesif
Cek Fakta: Video dan Narasi soal Pergeseran Tanah Saat Gempa di Cianjur?
Nah tapi bagaimana dengan jalur penyelesaian masalah Restorative Justice untuk kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan restorative justice?
Psikolog Klinis dan Dosen Prodi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya, Jane L. Pietra, S.Psi., M.Psi., menilai restorative justice pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan lebih merugikan korban. Sebab dalam kasus KDRT ada kerugian fisik dan psikologis pada korban. Di mana, Jane mengatakan, bagaimana kerugian psikis digantikan, masih menjadi pertanyaan.
"Kalo restorative justice gitu ya, dia merubah proses pemidanaan ini, yang tadinya kepolisian, kejaksaan dan lain sebagainya macamnya. Kemudian digantikan menjadi proses mediasi. Proses pidana tetap ada, tapi memang melalui mediasi. Tidak lagi melalui kayak misalnya pengadilan secara formal gitu ya. Nah tantangannya adalah, kalo dari restorative justice sebetulnya juga perlu mempertimbangkan, misalnya dalam tanda petik kayak pembayaran ganti rugi bagi si korban. Tadi kita sudah sempat bahas gitu ya. Ada kekerasan fisik, seksual, kemudian ekonomi dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang meninggalkan kerugian secara fisik maupun psikologis bagi korban. Nahkan pertanyaannya adalah bagaimana nih cara mengganti kerugian psikis?" ujar Jane.
Jane mengungkap, selain persoalan penggantian ganti rugi. Jalur restorative justice juga masih jadi persoalan, sebab ada unsur mediasi yang mengharuskan korban bertemu dengan pelaku KDRT. Jane menilai, seharusnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, korban tidak dipertemukan dengan pelaku kekerasan. Lantaran akan menyebabkan dampak yang berkali-kali lipat pada si korban.
Nah untuk mengetahui lebih lanjut dampak penggunaan jalur restorative justice pada kasus KDRT. Yuk kita simak podcast diskusi psikologi (Disko) bersama Jane L. Pietra, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku Psikolog Klinis dan Dosen Prodi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya di link berikut ini:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!