INDONESIA

Para Ibu di Nepal Perjuangkan Hak Kewarganegaraan yang Setara

Saat ini diperkirakan ada 4,3 juta warga Nepal yang hidup tanpa kewarganegaraan.

AUTHOR / Rajan Parajuli

Para Ibu di Nepal Perjuangkan Hak Kewarganegaraan yang Setara
Nepal, kewarganegaraan, hak perempuan, patriakal, Rajan Parajuli

Arjun Shah, yang berusia 25 tahun, tinggal di sebuah asrama di Kathmandu. Di kamar Arjun tergantung sebuah kaos putih dengan tulisan merah yang berbunyi ‘Mana Kewarganegaraan Kami’.

“Saya membuat lebih dari 500 kaos dan dibagikan ke teman-teman saya. Saya memakainya setiap kali berunjuk rasa,” kata Arjun.
 
Arjun sudah mendatangi kantor pemerintah selama sembilan tahun untuk mendapatkan kewarganegaraan Nepal.

“Mereka mau surat kewarganegaraan ayah saya. Tapi dia tidak punya karena dia berasal dari India. Tapi ibu saya punya. Tapi petugas di kantor itu tidak mau menerima surat punya ibu dan mengusir saya,” lanjutnya.
    
Tidak punya dokumen kewarganegaraan bisa membuat hidup Anda berat. Anda tidak bisa mendapatkan Surat Izin Mengemudi atau SIM, membuka rekening bank, mengajukan kredit atau membeli tanah. 

Tapi Arjun mengaku ini tidak menghentikannya untuk mencari pekerjaan.

“Saya rangking pertama dalam proses rekrutmen di sebuah bank. Dalam wawancara, pewawancara meminta saya menunjukan surat kewarganegaraan saya. Ketika saya bilang tidak punya, dia melemparkan sertifikat ke arah saya dan mengatakan Anda bukan orang Nepal. Anda pasti orang India. Saya merasa tidak bisa membantu orangtua dan merasa tidak berguna bagi negara saya. Rasanya lebih baik bunuh diri ketimbang hidup tanpa kewarganegaraan seperti ini,” kata Arjun.

Konstitusi Sementara Nepal 2007 secara jelas menyatakan bahwa ‘Siapa saja yang punya ayah dan ibu warga negara Nepal saat dia dilahirkan adalah warga negara Nepal.’

“Meskipun tampaknya setara, ada syarat untuk ibu Nepal. Dan itu diskriminatif,” jelas Sabin.

Pengacara Sabin Shrestha, adalah Direktur Eksekutif Forum Perempuan, Hukum dan Pembangunan, FWLD,

Dia mengatakan dalam masyarakat patriakal ini, perempuan masih menghadapi diskriminasi saat menurunkan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka.

“Proses itu sangat diskriminatif gender. Bahkan untuk mengajukan sertifikat kewarganegaraan anak, ayah Nepal perlu pergi ke kantor yang mengeluarkan surat dan mengidentifikasi kalau si anak adalah anaknya. Ayah Nepal kadang menghilang, menyangkal hubungan, sudah mati, atau kehilangan kontak. Perilaku yang tidak mendukung anggota keluarga adalah alasan utama mengapa perempuan dan anak-anak tidak punya sertifikat kewarganegaraan,” tambahnya.

Saat ini diperkirakan ada 4,3 juta warga Nepal yang hidup tanpa kewarganegaraan.

Deepti Gurung adalah orangtua tunggal dari dua anak perempuan. Pacarnya meninggalkan dia dalam kondisi hamil.

“Saat itu usia saya 18 tahun. Saya memutuskan kalau saya harus melahirkan anak ini meski apapun yang terjadi, ada atau tanpa ayah. Itu tidak masalah. Saya berjuang sepanjang hidup saya untuk membesarkan putri saya dengan rasa bangga. Saya tidak merasa menyesal. Saya bersukacita merayakan kelahiran putri saya,” kisah Deepti.

Kini putri sulung Deepti yang bernama Neha berusia 18 tahun. Cita-citanya adalah menjadi dokter. Tapi tanpa kewarganegaraan, cita-cita itu akan sulit terwujud. Neha mengatakan saat di sekolah ia merasa canggung karena tidak punya ayah.

“Saat saya mengisi formulir, saya harus menuliskan nama orangtua. Jadi mereka menyuruh saya mengisi nama ayah di formulir. Saya bertanya apakah boleh diganti dengan nama ibu saya? Mereka bilang orang seperti apa kamu yang tidak tahu siapa ayahmu?” tutur Neha.

“Orang-orang ini bilang jika kamu sudah melahirkan seorang anak, mengapa malu untuk mengungkap siapa ayahnya. Saya tidak malu. Saya jijik. Saya tidak mau berhubungan dengan pria yang tidak bertanggung jawab atas saya dan anak saya. Mengapa kami jadi warga negara kelas dua? Apa yang membuat kami pantas menerima ini? Ini adalah bumi pertiwi tempat seorang ibu diperlakukan dengan kejam,” ujar Deepti lagi.

Majelis Konstituante, badan yang menulis konstitusi baru Nepal, telah memperdebatkan isu kewarganegaraan ini. Saya bertanya pada Bekas Perdana Menteri dan Anggota Majelis Madhav Kumar Nepal, apakah ibu bisa punya hak yang sama seperti seorang ayah.
 
“Itu tidak mungkin karena kita tidak bisa memberikan kewarganegaraan Nepal kepada siapa saja yang datang ke Nepal. Apa jadinya Nepal dalam 50 tahun mendatang?” jelas Madhav.

Masalah identitas ini adalah masalah yang sensitif dan kontroversial di Nepal. Banyak politikus takut masuknya orang-orang dari India.

Tapi pengacara Sabin Shrestha mengatakan ini adalah masalah kontrol laki-laki terhadap kekuasaan.

“Sertifikat kewarganegaraan di Nepal adalah alat untuk mengakses kekuasaan. Para pemimpin utama masih laki-laki. Dan mereka pikir jika mereka memberi hak yang sama kepada perempuan dalam hal kewarganegaraan, maka norma inti patriarki akan hancur. Maka para pemimpin berusaha menjaga hak ini hanya untuk ahli waris laki-laki untuk mempertahankan patriarki,” kata Sabin.

Tinggal seminggu lagi waktu yang tersedia bagi Nepal untuk menyebarluaskan konstitusi baru itu. Ketentuan kewarganegaraan ini juga akan menentukan hak itu sama bagi semua jenis kelamin.


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!