INDONESIA

Jalan Panjang Korban Perang Sipil Nepal Mendapatkan Keadilan

Bulan lalu, seorang kolonel tentara Nepal disidang di Inggris dengan dua tuduhan penyiksaan selama perang sipil Nepal. Dan baru-baru ini, Jaksa Agung memerintahkan polisi menghentikan penyelidikan terhadap dugaan pembunuhan seorang jurnalis oleh pembero

AUTHOR / Rajan Parajuli

Jalan Panjang Korban Perang Sipil Nepal Mendapatkan Keadilan
Nepal, war crime, civil war

Baru-baru ini, Jaksa Agung memerintahkan polisi menghentikan penyelidikan terhadap dugaan pembunuhan seorang jurnalis oleh pemberontak Maoist. 

Dan bulan lalu, seorang kolonel tentara Nepal disidang di Inggris dengan dua tuduhan penyiksaan selama perang sipil Nepal. 

13 ribu orang tewas dalam perang saudara yang berlangsung selama 10 tahun, dan ribuan lainnya hilang. 

Tapi tidak satu pun dari kedua belah pihak dibawa ke pengadilan. 

Para korban menuntut keadilan. 

Dakendra Raj Thapa adalah jurnalis di radio milik pemerintah, Radio Nepal. 

Dia dituduh menjadi mata-mata dan pada 2004, ia diculik dan dibunuh pemberontak Maoist. 

Bulan lalu, polisi menangkap lima orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan itu. 

Salah satunya, Laxiram Gharti .

“Saat itu, saya menjadi anggota Dewan Desa untuk Maoist. Lalu pagi itu pukul 10, kami membawa dia ke halaman sekolah untuk menanyai dia. Kami ada sembilan orang. Kemudian semua prajurit pemberontak mulai memukuli dia dengan tangan kosong dan tongkat. Dia pingsan setelah kemaluannya ditendang. Lalu seluruh badannya mulai membengkak dan dia tidak sadarkan diri. Lalu kami mengubur dia di tanah teman kami di dekat situ.”

Penyelidikan polisi menemukan kalau Dakendra dikubur hidup-hidup. 

Tapi kemudian polisi menghentikan penyelidikan kasus itu setelah ada perintah dari Kantor Kejaksaan Agung. 

Dalam sebuah program TV, Jaksa Agung Mukti Pradhan menjelaskan alasannya. 

”Konstitusi dan Kesepakatan Damai dengan jelas menyebutkan semua kasus yang terjadi selama konflik akan diselidiki oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lembaga itu satu-satunya yang berhak mencari kebenaran, menyelidiki dan menginterogasi orang. Jika kita mulai menangani kasus-kasus secara individual, maka itu bertentangan dengan semangat kesepakan damai dan konstitusi.”

Tahun 2006, pemerintah dan pemberontak Maoist menandatangani Kesepakatan Damai dan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang akan bertindak sebagai lembaga peradilan transisi. 

Rancangan Undang-undang pembentukan komisi pun telah berada di Parlemen. Tapi mereka masih memperdebatkan usulan apakah akan memberikan pengampunan bagi pelanggaran yang dilakukan pemerintah dan pemberontak Maoist atau tidak. 

Di Mahkamah Agung, Govinda Bandi menentang usaha pemerintah untuk menghentikan penyelidikan. Dia adalah penasihat hukum di Komisi Juri Internasional. 

“Bahkan jika Anda punya mekanisme pengadilan transisi; tugas, fungsi dan mandat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah untuk mengungkapkan fakta dan menegakkan kebenaran tapi mereka tidak bisa menggantikan sistem peradilan pidana. Dalam hal ini kebenaran sudah terungkap. Bagaimana Dekendra diculik, bagaimana dia dibunuh, bagaimana ia dikubur hidup-hidup. Ini semua ada. Apa lagi yang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu lakukan?”

Govinda berpendapat kasus-kasus yang berhubungan dengan warga sipil selama konflik harus dibedakan dengan kasus yang berkaitan dengan konflik, untuk menjamin keadilan. 

”Kejahatan politik terjadi bila ada konflik antara dua pihak Tapi dalam kasus ini, satu orang tidak bersenjata diculik kader Maois. Dia tidak terlibat dalam perang, tidak terlibat dalam permusuhan. Dekendra Thapa tidak dibunuh dalam perang. Ia  dibunuh oleh orang-orang Maoist dan keterlibatan Maoist tidak cukup untuk memenuhi syarat dianggap sebagai kejahatan politik.”

Mahkamah Agung lantas memerintahkan pemerintah untuk melanjutkan penyelidikan. Tapi di lapangan, semua petugas penyidik sudah dipindahkan ke daerah lain. 

Saya bersama Devi Sunar di depan kantor legislatif di Baneshor, Kathmandu. 

Putrinya Maina Sunar, 15 tahun, diculik tentara Nepal tahun 2004.

“Saya pergi ke rumah ibu saya hari itu dan saya mengantarkan putri saya sekalian. Dan dia bilang, 'Ibu! Segera pulang yah. Saya ada ujian di sekolah dan adik pasti tidak akan membiarkan saya belajar.' Dia pakai celana panjang hitam, kaos warna-warni dan jaket. Saya masih bisa membayangkan seperti apa dia.”

Komnas HAM Nepal menyatakan lebih dari 80 persen kasus yang terjadi selama perang sipil tidak berhubungan dengan konflik. Lebih dari 13 ribu orang tewas dan ribuan lainnya menghilang. PBB mencatat lebih dari sembilan ribu kasus melanggar hukum HAM internasional. 

Putri Devi, Maina, salah satunya – ia ditemukan terkubur di Barak Tentara setelah hampir tiga tahun. Dia disiksa, diperkosa dan akhirnya dibunuh.

“Ada sembilan tengkorak manusia ditemukan di hutan. Putri saya dikubur sedalam kurang satu meter. Saat dia diangkat, hanya tinggal tulang belulang. Saya kemudian melihat ada kalung. Itu adalah kalung kaca pemberian saya sebagai hadiah saat saya pergi ke Pokhara. Itu cara saya mengenali dia.”

Banyak yang sudah kehilangan harapan. Tapi penangkapan anggota militer Nepal di Inggris belum lama ini membawa optimisme baru. 

Kolonel Kumar Lama dituduh menyiksa tahanan saat ia bertugas di barak tentara selama pemberontakan Maoist yang berlangsung selama satu dekade. Ia menghadapi persidangan di pengadilan Inggris berdasarkan UU yang memungkinkan  penuntutan terduga penjahat perang.

Pengacara Govinda Bandi mengatakan para pembela HAM mulai berkoordinasi dengan organisasi HAM internasional untuk mengajukan kasus itu ke pengadilan internasional. 

“Ketika pemerintah Nepal tidak menunjukkan kemauannya mengadili kejahatan ini, kasus ini akan diadili di luar Nepal. Jika Anda gagal mengatasi situasi di sini, maka itu menjadi kewajiban internasional. Negara lain yang cukup kompeten bisa menyidangkan kejahatan semacam ini berdasarkan sistem hukum mereka. Banyak pejabat militer dan beberapa pemimpin Maoist, yang menjadi komandan Tentara Pembebasan Rakyat, bisa dituntut di mana saja.”

Devi hanya menginginkan pembunuh anak perempuannya diadili. 

“Cara Perdana Menteri dan pemerintah menanggapi kasus dari konflik ini mengakibatkan para pelaku dibebaskan. Mereka mencoba melindungi para penjahat. Mereka mengatakan ini akan mempengaruhi proses perdamaian. Saya tidak minta uang atau harta pada mereka, saya hanya ingin melihat pembunuh putri saya di penjara. Itu akan membuat saya tenang. Saya ingin melihat keadilan ditegakkan.” 


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!