INDONESIA

Anak-anak Yatim Piatu Para Jurnalis Filipina

Lebih dari seratus jurnalis dibunuh dalam 10 tahun terakhir.

AUTHOR / Madonna Virola

Anak-anak Yatim Piatu Para Jurnalis Filipina
Filipina, jurnalis, yatim piatu, kebebasan pers, Madonna Virola

Filipina merupakan salah satu tempat paling berbahaya di dunia bagi jurnalis.

Lebih dari seratus jurnalis dibunuh dalam 10 tahun terakhir.

Mereka meninggalkan pasangan yang harus berjuang seorang diri menyekolahkan anak-anak mereka.

Tiga tahun lalu, ibu Katrina Sumera ditembak dalam perjalanan menuju sebuah stasiun radio tempatnya bekerja.
 
“Saya tidak mengerti mengapa mereka harus membunuh ibu saya. Dia tidak melakukan hal yang salah. Apa yang mereka lakukan itu berlebihan.”
 
Tetangganya menyaksikan pembunuhan itu.
 
Sang ayah Juan Medel yakin istrinya dibunuh karena laporan yang dia buat soal sengketa lahan.

“Kasus ini tidak akan bisa selesai karena ada orang-orang berpengaruh di balik pembunuhan itu. Kami terpaksa pindah rumah untuk melindungi anak-anak saya.”
 
Mereka pindah rumah dan Juan berjuang agar Katrina yang berusia 17 tahun dan dua adiknya bisa sekolah.

“Ayah saya jadi orangtua tunggal. Pendidikan sangat penting bagi ibu saya dan dia selalu bilang itu akan membantu hidup kami.”
 
Persatuan Jurnalis Nasional Filipina atau PNUJ menjadi penyelamat dan membayarkan biaya sekolahnya.
 
Katrina adalah satu dari 120 anak yatim piatu jurnalis yang dibantu program beasiswa yang dimulai 10 tahun lalu.

Dabet Castaneda-Panelo dari PNUJ terlibat dalam program ini.

“Ketika mereka meninggal, bukan hanya pencari nafkah yang tidak ada, tapi anak-anak itu kehilangan ayah atau ibu. Ada cerita kalau anak-anak itu tidak mampu bersekolah. Para istri kesulitan mencari pekerjaan. Jadi lembaga kami disarankan membuat program beasiswa untuk membantu anak-anak dari rekan-rekan kami yang dibunuh. Itu sebabnya kami mendirikan Yayasan Anak Yatim Piatu Jurnalis tahun 2005.”

Program beasiswa itu dimulai tahun 2005 setelah pembunuhan jurnalis investigasi, Marlene Garcia-Esperat. Dia tewas ditembak saat sedang makan malam bersama anak-anaknya di rumah.
 
Dabet Castaneda-Panelo mengatakan ini menjadi praktik standar untuk membantu anak-anak yatim piatu para jurnalis.
 
“Jika ada pembunuhan, kami akan mendapat info soal jumlah keluarga dan jumlah anak-anak. Data itu diserahkan pada saya. Saya lalu menelepon ibu itu, bertanya apa kebutuhan mereka yang bisa kami berikan. Tentu saja mereka harus mengisi formulir. Mereka harus melalui proses penyaringan oleh para wali, sampai mereka dianggap memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa dalam program ini.”
 
Dia mengatakan beasiswa tersebut tidak diberikan berdasarkan prestasi.
 
“Bukan kesalahan mereka kalau ayah atau ibu mereka dibunuh. Itu  bukan pilihan mereka. Mereka berhak menerimanya seperti apapun prestasinya di sekolah. Kami hanya mensyaratkan angka kelulusan. Kita harus mengakui kalau anak-anak ini mengalami trauma. Beberapa dari mereka adalah saksi, orangtua mereka tewas di depan mereka. Anda tidak bisa menghapus trauma itu.”
 
Tapi untuk membantu mengatasi trauma anak-anak itu, mereka diikutkan program perkemahan. Di sana mereka mendapatkan bimbingan.
 
Katrina ikut perkemahan itu saat berusia 14 tahun. Kata dia, itu sangat membantu.

“Di sana menyenangkan. Saya berteman dengan anak-anak lain yang juga kehilangan orangtua seperti saya. Kami punya pengalaman yang sama. Saya menyadari kalau saya beruntung karena masih punya ayah. Saya tidak lagi merasa kesepian dan saya tahu ada banyak kasus yang tidak terpecahkan seperti kasus ibu saya.”
 
Katrina saat ini sedang kuliah di jurusan Psikologi di kampus swasta St. Joseph’s college tahun pertama.
 
“Saya ingin mempelajari prilaku setiap orang. Bagaimana kondisi mental mereka yang membunuh ibu saya? Bagaimana saya harus saya menangani emosi saya ketika saya ingat apa yang terjadi? Saya mengambil kuliah Psikologi untuk memahami pelaku dan saya sendiri.”
 
Sepuluh tahun sejak yayasan itu berdiri, sudah 32 anak yatim piatu jurnalis yang lulus kuliah.
 
Mereka menjalani berbagai profesi seperti guru, perawat, insinyur dan polisi.
 
Meski bangga dengan pencapaian itu, Dabet Panelo berharap mereka bisa menutup program itu.
 
“Kami selalu sedih ketika ada penerima beasiswa baru yang masuk ke program ini karena itu berarti ada kasus baru. Dan itu berarti sekali lagi, kebebasan pers sedang diinjak-injak. Kami mulai dengan sekitar 30 penerima beasiswa dan sekarang jumlahnya 120 orang.”

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!