HEADLINE

Harga Telur dan Daging Ayam Melambung, Pemerintah Didesak Intervensi

"Kalau kita cek di hampir seluruh Jawa, penjualan ayam dan telur itu ada masalah."

AUTHOR / Dian Kurniati, Rio Tuasikal

Harga Telur dan Daging Ayam Melambung,  Pemerintah Didesak  Intervensi
Petugas dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melakukan inspeksi mendadak ketersediaan telur ayam di pasar Pahing, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (10/7). (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri mendesak pemerintah segera membuat kebijakan untuk mengatasi tingginya harga daging dan telur ayam. Abdullah mengatakan kenaikan harga daging dan ayam terjadi merata di seluruh daerah, dan menyebabkan penjualannya komoditas tersebut juga menurun.

"Sudah dua bulan, harga ini tidak turun-turun. Permintaan ikut turun, karena memang harga tinggi itu kadang-kadang masyarakat agak mengurangi pembelanjaan di komoditas itu. Dan ini secara nasional, merata. Kalau kita cek di hampir seluruh Jawa, penjualan ayam dan telur itu ada masalah. Produksinya tidak banyak, harganya tinggi, semua mengalami itu," kata Abdullah kepada KBR, Rabu (11/07/2018).


Abdullah meminta pemerintah   mulai memikirkan membuat usaha di bidang produksi pakan dan peternakan ayam, untuk mengimbangi   perusahaan besar yang saat ini mendominasi.


Ia berkata, tren kenaikan harga telur dan daging ayam mulai terasak sejak sebelum bulan puasa, dan terus meningkat saat menjelang Lebaran. Meski kini Lebaran sudah lewat tiga pekan, kata Abdullah, harga telur dan daging ayam belum juga turun. Ia berkata, harga telur ayam saat ini rata-rata Rp28 ribu per kilogram, sedangkan daging ayam berkisar Rp37-38 ribu per ekor. Padahal, sebelum puasa, harga telur hanya Rp23 ribu per kilogram dan daging ayam dihargai Rp30-32 ribu.


Abdullah berujar, pedagang juga tak mengambil untung terlalu besar. Ia berkata, pedagang biasanya mengambil untung Rp1-2 ribu per kilogram telur yang diambil dari peternak, dan Rp2,5-3 ribu untuk per ekor ayam yang diambil dari peternak atau rumah potong hewan.


Abdullah berkata, tingginya harga telur dan daging ayam juga mengubah tren belanja masyarakat. Meski menyebut tak ada data pasti soal permintaan telur dan daging ayam, Abdullah berkata, penjualan dua komoditas tersebut menurun, dan kebanyakan berpindah pada tahu dan tempe, yang secara rata-rata penjualannya meningkat 30-40 persen.

Menurut ibu rumah tangga, Lili Kuswari  kenaikan ini terjadi usai Lebaran kemarin.

"Kalau telur, sekarang nih, minggu-minggu ini itu sekilonya 29-30 ribu yang biasanya paling 23-24, secara kan belanjanya," jelasnya kepada KBR, Rabu (11/7/2018) malam.


"(Apakah belanjanya dikurangi?) Tetap, kebutuhan soalnya.   Berharap sih turun lagi," tambahnya.


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan akan mendalami penyebab kenaikan ini. KPPU mengatakan akan menurunkan petugas ke lapangan untuk memeriksa apakah ada keterlibatan kartel.
 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut kenaikan harga telur yang terjadi di sejumlah wilayah dikarenakan harga pakan naik. Hal itu dipengaruhi pula oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika. Selain itu, harga anak ayam atau day-old chicken (DOC) juga naik.

"Mereka juga menyampaikan bahwa yang pertama pakan ternaknya naik, kemudian DOC (day of chicken) dia juga naik, harga beli pakannya meningkat memang,"


"Kenapa harga pakannya naik?" tanya dia kepada wartawan. Ketika wartawan menjawab nilai tukar dollar, Enggar menukas, "Ya itu bagaimana? Harga pakannya naik."


Enggar mengatakan akan berbicara dengan penjual pakan ternak untuk mengetahui keuntungan yang dihasilkan. Hal ini kata dia sudah dilakukan lewat Dirjen Perdagangan Dalam Negeri. "Dengan kenaikan ini berapa untungnya?" kata dia.


Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menunjukkan harga rata-rata telur ayam di DKI Jakarta mencapai 28 ribu per kilo. Sementara harga telur tertinggi ada di Maluku Utara dengan harga 37 ribu per kilo.


Menurut Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko   tren kenaikan harga telur dan daging ayam akan bertahan hingga akhir bulan ini. Singgih mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat produksi telur dan daging ayam menurun sejak dua bulan terakhir.

Salah satu faktornya, kata Singgih, karena mahalnya pakan ayam dari bahan baku impor, karena terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar. Ia berkata, kenaikan harga pakan tersebut bervariasi, mulai dari Rp 300 hingga Rp 1000 per kilogram. Selain itu, kata Singgih, berkurangnya produksi telur dan daging ayam juga disebabkan peternak yang memilih mengosongkan kandang saat libur Lebaran.

"Itu sewaktu Lebaran, banyak ayam petelur yang diafkir, nah yang muda belum bertelur. Nanti seminggu atau dua minggu lagi Insyaallah yang muda sudah mulai bertelur. Kalau ayam, mulai naik karena Lebaran banyak yang tidak mau isi kandang, jadi secara populasi berkurang. Jadi ayam ini akan mengalami kenaikan ini sampai akhir bulan. Cepat kok, sebentar lagi ini pulih. Tenang saja," kata Singgih kepada KBR, Rabu (11/07/2018).


Singgih mengatakan, menguatnya dolar menyebabkan harga pakan ayam layer (petelur) yang normalnya Rp5 ribu per kilogram, saat ini naik Rp300 menjadi Rp5.300 per kilogram. Sedangkan harga pakan ayam broiler naik dari yang awalnya Rp6,5-7 ribu menjadi Rp7,5-8 ribu per kilogram.


Namun, kata Singgih, penyebab yang tak kalah besar berkurangnya produksi telur dan daging ayam adalah populasi yang sempat menurun. Ia berkata, idealnya populasi ayam per pekan saat ini sekitar 60 juta ekor, dan populasi ayam petelur sebanyak 200 juta ekor, dengan produksi rata-rata 9 ribu ton per hari. Namun, jumlah tersebut sempat merosot 10 hingga 20 persen karena penjualan ayam afkir dan serangan penyakit. Kini, kata Singgih, populasi tersebut sudah pulih dan memerlukan waktu sekitar dua pekan untuk stabil.


Editor: Rony Sitanggang

 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!