EDITORIAL
Warisan Kebhinekaan Yang Terancam
Ratusan rohaniwan yang bergabung dalam Forum Rohaniwan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menyerukan kebebasan beribadah di Gedung DPR/MPR RI kemarin (Senin, 8/4).
AUTHOR / KBR68H
Ratusan rohaniwan yang bergabung dalam Forum Rohaniwan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menyerukan kebebasan beribadah di Gedung DPR/MPR RI kemarin (Senin, 8/4). Para rohaniwan itu berasal dari lintas agama seperti Kristen, Islam, Buddha, dan Hindu. Mereka mendesak pemerintah melindungi kebebasan beribadah menyusul penyegelan tempat ibadah seperti Masjid Ahmadiyah di Jatibening dan pembongkaran Gereja HKBP Setu, Bekasi. Masih di Jawa Barat, kasus intoleransi beragama lain juga terjadi di Tasikmalaya. Massa mengatasnamakan ormas Islam menyerang pesantren Al Isdrissyah akhir pekan lalu.
Para rohaniwan prihatin dengan kondisi bangsa saat ini. Indonesia yang berazaskan Pancasila seharusnya tidak dikotori dengan tindakan penutupan tempat ibadah. Menurut mereka jika masalah ini terus dibiarkan, akan memicu terjadinya kekerasan atas nama agama. Para rohaniawan ini lantas mendesak pemimpin MPR memanggil Presiden Yudhoyono menyelesaikan masalah intoleransi beragama.
Sangat masuk akal tuntutan tersebut. Ini mengingat kinerja atau rapor pemerintah menangani kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat buruk. Simak saja laporan akhir tahun dari LSM Setara Institute yang didasarkan pantauan lembaga itu di 13 provinsi. Hasilnya tercatat 264 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di tanah air. Sementara Presiden sebagai kepala pemerintahan hanya berwacana tanpa menyelesaikan persoalan. Setara mencatat, sepanjang 2012 tidak kurang dari 15 kali SBY berpidato menyampaikan pesan toleransi. Sayangnya, pesan toleransi itu berhenti hanya pada sebatas pidato, tanpa ada tindak lanjut yang berarti.
Persoalan intoleransi di negeri ini juga pernah disorot dunia internasional. Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (USCIRF) dalam laporan tahunan yang dirilis 20 Maret 2012 lalu, mengelompokkan Indonesia dalam daftar pengawasan yang butuh pemantauan terkait dengan kebebasan beragama.
Sebagai negara demokratis seharusnya pemerintah memberikan jaminan hukum dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Konstitusi secara tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun dalam praktiknya kelompok minoritas masih belum mendapat keadilan. Bahkan dalam beberapa kasus korban malah dikriminalisasi. Sebut saja yang dialami pendeta gereja HKBP Filadelfia Bekasi, Palti Panjaitan pemimpin Syiah Sampang Tajul Muluk sampai korban kasus penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, Deden Sudjana.
Masih ada kesempatan SBY membuat terobosan jaminan kebebasan beribadah di sisa pemerintahannya. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah memerintahkan aparat hukum menindak tegas pelaku intoleransi Jika langkah perbaikan tak juga dilakukan, tak salah jika sebagian kalangan menilai SBY sebagai presiden tanpa prakarsa dan pemimpin tanpa kepemimpinan dalam kebebasan beragama.
Kebhinekaan yang ada di Indonesia adalah sebuah kelebihan yang harus dipelihara. Mengutip Bung Karno, kebinekaan adalah kenyataan yang harus dirayakan. Warisan kebhinekaan inilah yang harus dirawat bersama.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!