EDITORIAL

Tukang Ojek Jadi Caleg

Sebagai sebuah judul, "Tukang Ojek Jadi Caleg" bisa menarik banyak perhatian pembaca untuk menyimak betul artikelnya. Berita yang menarik perhatian biasanya mengabarkan sesuatu yang tidak biasa.

AUTHOR / KBR68H

Tukang Ojek Jadi Caleg
tukang ojek, calek, politik

Sebagai sebuah judul, "Tukang Ojek Jadi Caleg" bisa menarik banyak perhatian pembaca untuk menyimak betul artikelnya. Berita yang menarik perhatian biasanya mengabarkan sesuatu yang tidak biasa. Biasanya, untuk menjadi calon anggota legislatif, mengeluarkan modal ratusan juta, bahkan mungkin miliaran rupiah. Lah ini, tukang ojek kok mau meniru mereka yang berkantong tebal ini? Dari mana modalnya?

Memangnya, berapa sih penghasilan seorang tukang ojek? Judul lain yang senada, ada beberapa. Misalnya, "Loper Koran Jadi Caleg", "Penjual Pisang Jadi Caleg" atau "Nelayan Jadi Caleg." Hanya beda subjeknya.

Selain faktor di atas, judul berita tadi menarik perhatian karena sarat dengan pesan makna lain. Dalam suhu politik pemilu legislatif 9 April yang kian menghangat, judul-judul berita semacam tadi cukup efektif untuk membangun beragam opini publik yang membacanya. Ujung-ujungnya adalah untuk menarik simpati dan dukungan publik yang membaca informasinya.

Pada tingkat paling sederhana, publik luas menerima informasi itu sebagai sesuatu yang inspiratif. Orang-orang kecil yang punya keberanian menyampaikan suara yang membawa janji perubahan Sungguh mulia jika diikuti tindakan nyata. Publik kebanyakan mudah menaruh simpati terhadap para pelaku semacam ini.

Bagi kelompok masyarakat yang melek informasi, melek politik, mungkin punya pandangan yang lebih jauh lagi. Pembaca dari kelompok ini tahu, pada dasarnya mereka yang nyaleg itu memang  mengetahui nasib orang-orang di komunitasnya dan merasa perlu memperjuangkannya. Lalu, anggota komunitasnya juga percaya jika rekannya ini bisa memperjuangkan nasibnya menjadi lebih baik.

Pada titik tertentu, partai politik melihat fenomena sosial itu sebagai sebuah aset dengan asumsi mereka bisa menjadi mesin pengeruk suara. Dalam kasus yang lain, bisa jadi peristiwa seperti dalam judul mungkin hanya akal-akalan partai yang sengaja dimunculkan ke media agar bisa menyedot simpati dan dukungan publik. Dalam dunia politik, apa pun mungkin.

Pada dasarnya, setiap warga negara yang memenuhi aturan penyelenggara pemilu, boleh mencalonkan dirinya menjadi wakil rakyat.  Terlepas dari motif apa pun, majunya orang-orang dari komunitas-komunitas nelayan dan petani, yang menjadi ikon kerakyatan, ikon kemiskinan, mempunyai makna positif. Komunitas nelayan, ada jutaan orang. Petani, apalagi.

Partai politik yang baik akan memberikan pendidikan politik kepada para kadernya, termasuk dari komunitas-komunitas besar tadi. Komunikasi politik yang terbangun antara partai dan kadernya ini bisa menimbulkan efek domino pembelajaran politik secara lebih masif ke lapis bawah.

Bila nanti terpilih, kita berharap para caleg berlatar petani dan nelayan itu sadar politik, mau mendorong partainya merangkul kelompok-kelompok minoritas lain . Misalnya mereka yang terpinggirkan karena alasan geografis, ideologi, agama, lesbian, gay, biseksual dan transgender.

Ada yang bilang, selama ini mereka seperti warga negara kelas dua. Nah, kita nyaris tidak pernah mendengar ada partai politik yang merangkul mereka. Jika partai pro rakyat, tunjukkan dengan merangkul mereka dalam kegiatan berpolitiknya. Karena sesungguhnya mereka yang terpinggirkan inilah yang perlu dibantu agar negara tidak terus meminggirkannya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!