EDITORIAL

Mereka Dieksekusi Tanpa Pengadilan

Kemarin ada sekotak makanan datang dari pendengar KBR68H. Isinya kering tempe dan kacang yang lezat, lengkap dengan sambalnya. Ternyata pengirimnya adalah keluarga almarhum Yusli.

AUTHOR / KBR68H

Mereka Dieksekusi Tanpa Pengadilan
eksekusi, pengadilan, yusli, Asian Human Rights Commission, Reformasi Hukum

Kemarin ada sekotak makanan datang dari pendengar KBR68H. Isinya kering tempe dan kacang yang lezat, lengkap dengan sambalnya. Ternyata pengirimnya adalah keluarga almarhum Yusli.

Yusli adalah seorang laki-laki berusia 23 tahun. Dia pernah jadi penadah kendaraan bermotor curian, lantas masuk penjara selama beberapa bulan. Setelah itu dia menikah dan bertekad tak mau lagi masuk dunia hitam. Tapi suatu malam di akhir 2011, tiga polisi datang ke rumahnya. Tanpa surat penahanan, tanpa penjelasan, Yusli dicokok lantas tewas saat ada di tahanan polisi. Dari tubuhnya terekam jejak penyeretan, pemukulan. Juga lubang bekas tembakan menganga di dadanya. Polisi berdalih, Yusli mencoba melarikan diri, sehingga terpaksa ditembak.

Asian Human Rights Commission mencatat banyak hal janggal dari kematian Yusli. Begitu juga dengan keluarga yang lantas bergerak ke Divisi Propam untuk melaporkan kasus ini. Yang berada di garda terdepan adalah Yeni, kakak Yusli, mewakili keluarga yang berduka sekaligus tak rela Yusli tewas ditembak. Betul, Yusli adalah bekas penjahat. Tapi sampai kini keluarga tak terang betul, kenapa Yusli harus ditangkap dan dibunuh?

Kasus yang dialami Yusli bukan barang baru. Mungkin hampir setiap hari kita membaca di koran kuning: si anu ditembak polisi karena mencoba melarikan diri. Dan kita menganggapnya betul begitu saja, tanpa ada keinginan untuk mengecek ulang. Bisa jadi karena si anu yang di-dor sudah digambarkan sebagai penjahat. Indonesian Police Watch pada 2011 menemukan ada 18 orang tewas ditembak polisi sepanjang tahun itu. Tapi sangat mungkin angkanya jauh lebih banyak dari itu. Data lain dari survey YLBHI menyebutkan, lebih dari 80 persen tahanan menjadi sasaran penyiksaan polisi saat masih dalam proses interogasi atau penahanan dengan aneka bekas siksaan fisik dan non-fisik.

Tapi apa yang dilakukan Yeni dan keluarga adalah tindakan langka dan sangat berani. Yeni tak lulus SD, tak punya banyak uang, apalagi pengetahuan soal hukum. Dia maju dengan tekad besar memperjuangkan keadilan untuk Yusli. Warung kecil milik keluarga di Rumpin seringkali harus ditinggalkan. Tabungan harus dikuras demi membiayai proses hukum dan transport selama proses berlangsung.

Kasus ini akhirnya sampai ke pengadilan yang makan waktu 5 bulan. Yeni selalu kesulitan mencari tahu perkembangan proses peradilan. Agenda sidang ditunda, dimajukan atau dimundurkan tanpa memberitahu Yeni. Padahal jarak dari warung dan rumahnya di Rumpin jauh untuk mencapai pengadilan. Putusan keluar Maret lalu, menghukum 3 polisi karena membunuh Yusli. Tapi Yeni terus dipingpong saat ingin mendapatan putusan pengadilan.

Lantas tiba-tiba kasus naik banding. Ketika Yeni kembali ke kantor polisi untuk meminta kejelasan, Yeni melihat tiga polisi yang sudah divonis bersalah itu di sana, dengan seragam lengkap, melakukan tugas harian mereka. Ini pun bukan satu-satunya pukulan buat Yeni. Pengadilan banding memutuskan tiga polisi itu tidak bersalah, dan mereka hanya menjalankan tugas. Yeni terus berjuang dan kini tengah mengajukan kasasi.

Di program Reformasi Hukum KBR68H, Yeni berkata,”Kami hanya ingin penegakan hukum betul ada.”

Sekotak kering tempe dan kacang kiriman keluarga almarhum Yusli sudah tandas. 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!