EDITORIAL

Keteladanan Politik Yang Sudah Lama Hilang

Tahap awal proses pemilu 2014 sudah dimulai. Sejak kemarin hingga 22 April mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai menerima pendaftaran Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif baik di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.

AUTHOR / KBR68H

Keteladanan Politik Yang Sudah Lama Hilang
politik, teladan, kpu, daftar calon sementara

Tahap awal proses pemilu 2014 sudah dimulai. Sejak kemarin hingga 22 April mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai menerima pendaftaran Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif baik di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Seluruh partai politik peserta pemilu beberapa waktu belakangan juga sudah sibuk menjaring calon yang akan mereka ajukan untuk bertarung. Kebanyakan partai politik tentu menyaring para calonnya lewat mekanisme internal, melakukan seleksi di antara kader partai sendiri. Tapi sebagian lain tak segan memasang pengumuman untuk menarik minat kalangan luar partai agar mau mendaftar sebagai calon yang akan mereka ajukan.

Idealnya, partai politik yang sehat pasti akan lebih mengutamakan kader mereka sendiri untuk dipertandingkan dalam pemilu. Tapi fakta menunjukkan tak semua parpol siap dengan kader terbaiknya. Aktivis partai memang banyak. Masalahnya apakah mereka memenuhi preferensi tentang politisi yang diminati publik?

Politik, katanya, memiliki daya tarik yang menyilaukan. Dia adalah magnet yang menyedot seluruh sumber daya bagi siapa pun yang memandang kekuasaan sebagai puncak pencapaian kehidupan politik.

Di sini kita merasakan paradoks. Pada satu sisi, kita melihat masih begitu besar minat orang-orang untuk terjun ke dunia politik. Menjadi aktivis partai, bertarung di pemilu atau pilkada, lantas berkuasa menjadi bupati atau walikota. Minimal menjadi anggota DPR atau DPRD. Tapi sesudah itu, kita jarang melihat prestasi yang layak dibanggakan. Kalau pun, mungkin jumlahnya tak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.

Justru yang lebih naik ke permukaan adalah hal-hal yang berada di luar isu kepentingan orang banyak. Mulai dari gaya hidup mewah hingga berbagai skandal korupsi Pemilu, juga pilkada, hanya menjadi pintu masuk untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Tak heran, dan inilah paradoksnya, partisipasi warga untuk terlibat dalam pemilihan umum dari tahun ke tahun kian menurun. Statistik pemilu dan pilkada, bahkan sejak 1999 menunjukkan kecenderungan makin besarnya jumlah warga yang tak mau memberikan suaranya di TPS.

Ini indikasi apa? Mengapa justru ketika kita menikmati kebebasan, partisipasi publik dalam pemilu makin menurun?
Teladan. Ya, barangkali warga merasakan betul, tak ada keteladanan dari para pemimpin yang bisa memberi inspirasi bagi tumbuhnya harapan mereka. Tidak dari istana, tidak dari Senayan. Pun tidak dari kantor-kantor bupati atau walikota. Keteladanan politik itu sudah lama hilang. Apatisme politik, kita rasakan, sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Kalau jumlah suara Golput lebih dari 50 persen, misalnya, apakah pemenang dari kompetisi politik lewat pemilu atau pilkada cukup mendapat legitimasi?

Padahal di sinilah letak penting berjalannya sebuah mandat publik. Pemimpin yang tak cukup mendapat legitimasi, pasti akan sulit menjalankan programnya. Tapi bagaimana mendapatkan cukup legitimasi kalau kualitas kepemimpinan para politisi ini juga pas-pasan?

Memang seperti lingkaran setan. Tapi inilah tantangan riil partai-partai politik sekarang. Menyodorkan calon pemimpin sembarangan, hanya akan memperluas apatisme publik. Partai-partai politik harus berani berubah. Salah satu caranya, hanya mengajukan calon yang benar-benar memiliki jejak sebagai pengabdi publik. Bukan mengajukan petualang politik! 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!