Article Image

SAGA

Toleransi yang Mengakar di Ciampea

Suasana di kelas 4 SD Budhi Bhakti, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Sekolah ini jadi cermin kerukunan yang dirawat puluhan tahun. (Foto:Budhi/KBR)

Pengantar:

April 2021 lalu, Kepolisian mengungkap bahwa Desa Ciampea, Bogor, Jawa Barat menjadi target lokasi uji coba pengeboman oleh kelompok teroris. Beruntung, rencana itu gagal karena terduga pelaku berhasil diringkus aparat. Upaya tersebut disinyalir bertujuan mengoyak kerukunan di Ciampea yang sudah terpatri sejak puluhan tahun. Kultur toleransi di sana tercermin dari keberadaan rumah-rumah ibadah berbagai agama yang letaknya berdekatan. Ada pula SD Budhi Bhakti, tempat nilai kebhinekaan diajarkan sejak dini. Jurnalis KBR R. Fadli mencari tahu bagaimana warga Ciampea merawat kerukunan.

KBR, Bogor - Suatu pagi di SD Budhi Bakti, siswa kelas 4 sedang menyimak penjelasan guru.

Isinya soal bagaimana sikap saling menghormati sesama teman.

Sekolah ini ada di Desa Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kepala Sekolah SD Budhi Bhakti Wahyu Awaliyah mengatakan, keberagaman jadi nafas di sini – diresapi semua murid dan guru.

“Mereka akur-akur saja di kelas. Main bersama, makan bersama. Bahkan mereka bukan hanya berbeda agama saja, tetapi berbeda suku juga lho. Ada Suku Sunda, Tionghoa, Batak dan Ambon juga banyak. Tapi mereka kita didik dari awal memang tidak boleh ada perbedaan di antara mereka sejak kelas satu. Jadi mereka sudah terbiasa,” kata Wahyu.

Baca juga: Kampung Islam Pegayaman Bukan Minoritas di Pulau Dewata

Tenaga pendidik di SD Budhi Bhakti, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. (Foto: Budhi/KBR)

Kebiasaan itu didukung juga oleh lingkungan di mana sekolah berada.

Di sini, jarak antarrumah ibadah hanya selangkah dua langkah saja – Klenteng Hok Tek Bio, Gereja Kristus Ciampea, Vihara Karrona Budhi dan Masjid Nurut Taqwa.

Pendeta Sulistyo sudah melayani jemaat di Gereja Kristus Ciampea sejak 2013.

Ia tak pernah merasakan gesekan antarumat beragama, justru sikap toleran yang membudaya.

“Kami tetap menjangkau masyarakat melalui pelayanan-pelayanan yang bisa kami berikan. Seperti ketika Idulfitri, misalnya, kami memberikan, semacam yang buka puasa itu, takjil. Pemuda-pemuda gereja membagikan takjil untuk masyarakat di sekitar kita,” ujar Sulistyo.

Baca juga: Minoritas Hidup Damai di Kota Doa

Pendeta Gereja Kristus Ciampea, Sulistyo. (Foto: Budhi/KBR)

SD Budhi Bhakti yang berdiri sejak tahun 1960-an ini jadi bukti sekaligus perwujudan toleransi yang mengakar di Desa Ciampea.

Pendiri sekolah adalah pengurus dan jemaat Klenteng Hok Tek Bio.

Sebelum sekolah berdiri, anak-anak desa Ciampea belajar di litang, ruang ibadah Konghucu di klenteng, kata Sekretaris Umum Yayasan Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Yoseph Adiputra.

“Awalnya sih untuk Konghucu, tapi untuk sekolahan kan kita enggak bisalah kalau hanya untuk agama tertentu. Mungkin peminatnya juga bisa kurang nanti. Akhirnya kita buka untuk umum. Sebagai bentuk toleransi juga kan. Karena di sini antarwarganya juga rukun-rukun. Dengan adanya sekolah ini, kita bisa saling mengikat silaturahmi dengan umat-umat lain,” kata Yoseph.

Baca juga: Indahnya Keberagaman di Kota Paling Toleran, Salatiga

Yoseph Adisaputra (kanan), Sekum Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN). (Foto: Budhi/KBR).

Harmonisnya kehidupan antarumat beragama di Ciampea kerap dijadikan percontohan oleh Yayasan Satu Keadilan (YSK).

Lembaga ini mengajak tokoh agama untuk mengunjungi Klenteng Hok Tek Bio dan mengenal kehidupan Ciampea yang toleran dan inklusif.

"Ada sebuah cerita yang menarik pada waktu itu. Pedagang-pedagang muslim yang membutuhkan tempat untuk salat, misalnya, bisa menggunakan satu ruangan khusus yang disediakan oleh pengurus Hok Tek Bio," kata Sekretaris YSK Syamsul Alam Agus.

Selama bertahun-tahun, Jawa Barat meraih predikat sebagai provinsi paling intoleran se-Indonesia.

April 2021 lalu, polisi mengungkap bahwa Ciampea menjadi target uji coba peledakan bom oleh terduga teroris jaringan bom Makassar. Beruntung, upaya itu berhasil digagalkan.

"Itu artinya bahwa kelompok-kelompok teroris yang antikeberagaman ini juga menyasar kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, agar membuktikan bahwa di situ tidak ada kehidupan yang damai, mempertajam segregasi di tingkat masyarakat," ujar Syamsul.

Karakter toleran dan inklusif yang dirawat turun-temurun di Ciampea, menjadi benteng kokoh penangkal virus antikeberagaman.

“Kunci utama adalah menghargai segala bentuk perbedaan. Kesadaran tersebut dirawat dengan adanya keberagaman dalam satu keluarga. Dari situ saya kira lebih mudah bagi mereka untuk menyelesaikan hal-hal yang sifatnya perbedaan-perbedaan ketika ada faktor-faktor eksternal yang mencoba mempertajam persoalan-persoalan yang ada di masyarakat kepada isu-isu SARA,” imbuh Syamsul.

Baca juga: Belajar Toleransi dari Kampung Sudiroprajan

Sekretaris Yayasan Satu Keadilan (YSK) Bogor, Syamsul Alam Agus. (Foto: Budhi/KBR).

Selain keluarga, nilai-nilai keberagaman juga ditanamkan di sekolah.

Queena Plorensia Andreas, siswa kelas 4 SD Budhi Bhakti mempraktikkan toleransi dalam kesehariannya belajar.

"Ada yang namanya Yuri dia agamanya Islam. Darrel agama Konghucu. Harliko agamanya Kristen, sama Kevin yang agamanya Budha. Ya, aku mau main sama siapa saja yang beda agama. Senang, teman-teman mau berteman denganku walaupun beda agama," ungkap Queena.

Kalangan guru, seperti Metiyana Wulandari, berkomitmen terus mengajarkan sikap toleran sejak dini. Sebab, para siswa ini nantinya akan menjadi pilar-pilar keberagaman di Ciampea.

"Saya ingin anak-anak saling membantu, tidak pernah pilih-pilih. Misalnya karena murid di sini berbeda-beda agama, lantas berteman dengan yang seagama saja. Saya tidak ingin yang seperti itu. Saya inginnya dia lebih bersama-sama, saling menghargai, saling bekerja sama," kata Metiyana.

Baca juga: Rumah Inspirasi, Memupuk Toleransi dan Melawan Diskriminasi Sejak Dini

Penulis: R. Fadli

Editor: Citra Dyah Prastuti