BERITA

Sengkarut Data Penerima Bansos

"Data bantuan sosial bermasalah karena data penerima tumpang tindih."

Muthia Kusuma

Sengkarut Data Penerima Bansos
Petugas memotret kartu identitas penerima bansos beras di Kantor Pos di Rokan Hilir, Riau, Selasa (10/8/2021). (Foto: ANTARA/Aswaddy Hamid)

KBR, Jakarta - Banyak persoalan masih menghambat penyaluran bantuan sosial oleh Kementerian Sosial. Mulai dari permasalahan klasik data penerima hingga perilaku koruptif pejabat.

Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkap ruwetnya data bantuan sosial Covid-19 yang disalurkan kementeriannya disebabkan tumpang tindih data penerima manfaat.

Eks-Wali Kota Surabaya itu menjelaskan, data penerima manfaat bansos pada tiap-tiap program bansos, berbeda-beda. Oleh karena itu, ia berjanji segera memperbaiki kualitas data penerima dan menjadikannya satu bank data.

"Salah satu temuan dari KPK adalah data itu ganda karena tidak padan dengan data kependudukan. Akhirnya kita padankan dengan data kependudukan. Yang padan dengan data kependudukan, dari 193 juta tinggal 155 juta. Itu yang padan dengan data kependudukan. Berikutnya, setelah kita cek dengan data kependudukan, ketahuan ada yang ganda. Artinya ada yang ganda itu, dalam satu bantuan itu ada yang terima dua, ada yang terima tiga," ungkap Risma saat webinar bersama KPK, Kamis, (19/8/2021).

Baca juga:

Tri Risma menambahkan, proses perbaikan kualitas data penerima dilakukan sejak Januari lalu yaitu menghapus data penerima ganda serta data yang tidak dapat diperbaiki pemerintah daerah.

Kemensos juga menambahkan data baru berdasarkan undang-undang, yaitu yang diusulkan pemerintah daerah, data Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial hingga data korban bencana.

Selain itu, kata Risma, perbaikan data juga mencakup para masyarakat adat yang sebelumnya tidak terekam dalam data kependudukan.

Dikorupsi

Persoalan data penerima bansos di lapangan diakui Wali Kota Tangerang, Arief Rachadiono Wismansyah. Arief menyebut masalah itu masih menjadi hambatan dalam penyaluran bantuan tersebut.

Arief menambahkan, penyaluran bansos juga terkendala hal lain yang rawan dijadikan bancakan oleh koruptor.

Semisal kartu ATM penerima bansos yang justru dipegang petugas hingga tidak terahasiakannya PIN ATM penerima bantuan yang digunakan untuk mengambil bantuan berupa uang.

Arief mengatakan temuan-temuan adanya pemotongan dana bansos di wilayahnya saat ini masih diusut aparat kepolisian dan kejaksaan.

"Di lapangan ada yang namanya Operasi Batok (modus pungli bansos). Kalau uangnya diterima langsung sama si penerima, ada oknum-oknum di bawah yang nyamperin 'mana ini setoran Rp50 ribu' dengan alasan uang lelah dan sebagainya. Ini kita lagi investigasi. Ada juga memang yang seolah-olah simpatik karena sudah dibantu didata. Lalu dikasih (uang) seikhlasnya. Kalau menurut saya sih tetap tidak boleh dilakukan karena itu adalah hak penerima yang sudah dilakukan pendataan," ungkap Arief dalam kesempatan yang sama.

Baca juga:

Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah mengaku menerima beragam aduan masyarakat terkait penyaluran bansos. Diantaranya aduan tidak menerima bantuan sosial, bantuan tidak tepat sasaran, pungutan liar dan hal lainnya.

Dia berharap seluruh pemangku kepentingan memperbaiki aduan tersebut, mengingat bantuan sosial menyasar kepada jutaan keluarga penerima manfaat di Indonesia.

Kasus penyelewengan dana bansos juga mendapat perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan lembaganya berwenang menindak secara hukum pidana terhadap pihak yang diduga kuat terlibat korupsi bantuan sosial.

Beberapa kasus terkait bansos Covid-19 diantaranya kasus dugaan korupsi pengadaan bansos Covid-19 oleh eks-Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan kasus dugaan korupsi bansos di Bandung Barat.

Sesuai NIK

Selain penindakan, KPK juga melakukan monitoring penyaluran dana bansos, diantaranya mengawasi data penerima manfaat agar tidak dijadikan bancakan korupsi.

"Kasus yang sebelumnya terjadi adalah, kami mendapati bahwa penerima di daerah persis seperti yang Bu Risma bilang, dia menerima PKH saja dua. Oleh karena itu yang Bu Risma tunjukan dari 193 juta turun menjadi 155 juta hanya memastikan yang tidak ada NIK nya. Jadi kita bilang 'Ya sudah Bu, PD saja. Kalau tidak ada NIK nya kemungkinan besar orangnya tidak ada'. Jadi sekarang dipastikan semua data harus ada NIK nya," kata Pahala.

Permasalahan data penerima bansos berkaitan dengan masalah data kependudukan yang dicatat oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Baca juga:

Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan, hambatan pendataan diantaranya sulitnya mengakses masyarakat adat di wilayah terpencil.

Oleh karena itu, ia meminta warga untuk melapor ke petugas Dukcapil untuk jemput bola.

"Di dalam data kependudukan kita itu ada penduduk yang namanya satu huruf. Ada banyak yang dua huruf. Ini belum matching dengan sistem di perbankan. Kemarin kami bersama Ibu Mensos, rapat dengan Himpunan Bank Negara Himbara. Kalau datanya sudah sama dengan data kependudukan, mestinya bank tidak perlu menolak karena datanya sudah cocok. Who you are nya sudah benar. Di Indonesia juga banyak penduduk yang tidak mengisi nama ibunya. Entah lalai atau apa nama ibu dan bapaknya kosong. Seharusnya perbankan tidak menolak sepanjang cocok dengan data di Dukcapil," kata Zudan.

Editor: Agus Luqman

  • Bansos
  • Korupsi Bansos
  • KPK
  • COVID-19
  • data kependudukan
  • NIK

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!