BERITA

Menagih Keadilan Bagi Korban Perkosaan Sitok!

"Polisi akhirnya menghentikan penyidikan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seniman Sitok Srengenge. Alasannya, saksi yang ada dinilai tidak cukup membuktikan laporan korban."

Antonius Eko

Menagih Keadilan Bagi Korban Perkosaan Sitok!
perkosaan


Polisi akhirnya menghentikan penyidikan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seniman Sitok Srengenge. Alasannya, saksi yang ada dinilai tidak cukup membuktikan laporan korban.


Sejak kasus ini dilaporkan ke polisi pada Desember tahun lalu, Sitok belum ditetapkan sebagai tersangka dan masih berstatus sebagai terlapor. Padahal korban sudah melahirkan dan kini kondisinya masih trauma.


Pengacara korban Sitok, Iwan pangka mengatakan, pihaknya sudah melengkapi semua bukti yang diminta polisi. Namun aparat keamanan tak mau menerima bahwa hampir di sebagian kasus perkosaan tak ada saksi. Berikut penjelasan Iwan Pangka kepada KBR. 


Polisi beralasan tidak memiliki bukti atau saksi yang cukup untuk menjerat Sitok sebagai tersangka. Pengacara melihat apakah bukti dan saksi sudah cukup?


Dalam masalah perkosaan itu hampir semua mengenai bukti dan saksi kadang-kadang tidak sempurna. 


Tidak sempurnanya seperti apa?


Ya namanya saksi kalau disaksikan orang dalam hal pemerkosaan itu namanya bukan pemerkosaan. Tapi dari rentetan kronologis kita bisa lihat bahwa dari awal kenal bagaimana itu bisa ketahuan. 


Tapi sebelumnya bukti atau saksi apa yang diminta polisi?


Bukti itu berupa visum sudah kita serahkan terus berupa kronologis dan percakapan selama mereka melakukan interaksi. Dalam arti percakapan itu ada SMS, Whatsapp, BBM.


Itu ada diserahkan ke polisi? 


Sudah kami lengkapi. Juga mengenai analisa psikologis dari korban itu sudah kami serahkan semua. 


Polisi minta saksi juga? 


Kalau saksi ya saya bilang tadi bahwa untuk masalah perkosaan hampir tidak ada saksi. Tapi ada dua korban yang kami sertakan juga dalam BAP dan modusnya sama, sama seperti yang dialami RW. 


Kalau dari rencana gelar perkara sebelumnya apakah sudah tergambar apa yang sebetulnya dibawa pengacara untuk meyakinkan polisi bahwa kasus ini jangan dihentikan atau SP3?


Apa yang dilakukan si pelaku terhadap RW adalah sebetulnya modus ya hampir dikatakan itu soft rape itu modus yang baru. Sekarang ini kita bicara Undang-undang kejahatan seksual atau asusila, pasal Undang-undang kita ketinggalan sampai 20 tahun. 


Jadi kalau orang diperkosa itu harus ada kekerasan fisik, padahal tidak selalu. Maksud saya saksi itu ya hasil visum ada luka, tamparan itu merupakan indikasi. Tapi saya bilang bahwa namanya perkosaan itu hampir tidak ada saksi, kalau ada saksi bukan perkosaan namanya. 


Polisi apakah bisa menerima tentang soft rape (perkosaan secara halus) itu? 


Makanya justru ini polisi harusnya bisa melihat ini adalah suatu penemuan baru. Sedangkan Undang-undang kita masih yang lama unsur-unsurnya, harus ada terobosan hukum dalam hal penafsiran. 


Anda melihat ini sangat sulit diharapkan pada polisi kita hari ini? 


Sebetulnya bisa. Ada satu kalau saya berpikir bahwa seluruh pasal akan menjadi hidup kalau kita semua punya nurani untuk menghidupkannya dan itu pernah dilakukan oleh Bapak Bismar Siregar pada tahun 80an. Dimana sangat maju sekali beliau melakukan penafsiran dalam hal mengenai kehormatan wanita, sudah menjurus pada organ genital. Kedua, saya dapat cerita juga dari bapak polisi bahwa mengenai kasus tertentu seperti maaf kasus Syekh Puji itu polisi bisa melakukan penafsiran yang bagus mengapa ini tidak. 


Sekarang tinggal ada nurani polisi ya?


Betul. Saya bilang tadi bahwa pasal-pasal itu akan menjadi hidup kalau aparat hukum punya nuarni, mau dan mempunyai niat untuk menjerat pelaku. Kalau kita hanya berpatokan pada unsur-unsur yang ada di dalam KUHP pidana murninya sampai kapan pun pelakunya bebas tidak karu-karuan.       

  


  • perkosaan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!