ARTIKEL PODCAST

Sastra Masuk Kurikulum Diapresiasi dengan Catatan

Sastra Masuk Kurikulum diluncurkan, tetapi masih ada persoalan terkait akses buku hingga ketiadaan panduan bagi guru

AUTHOR / Tim Ruang Publik

EDITOR / Ninik Yuniati

Ilustrasi Anak-anak sedang membaca buku. ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU
Ilustrasi Anak-anak sedang membaca buku. ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU

KBR, Jakarta - Program Sastra Masuk Kurikulum diapresiasi tetapi dengan sejumlah catatan. Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Mukhlisin, menilai program ini belum matang, karena masih ada persoalan akses terhadap buku. 

“Ini kebijakan yang setengah-setengah. Keinginannya ada untuk merekomendasikan buku, tetapi gurunya bingung bagaimana ya cara mendapatkan buku ini?,” kata Mukhlisin.

Sastra Masuk Kurikulum rencananya bakal diterapkan pada tahun ajaran baru, Juli 2024 nanti. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis 177 judul buku sastra yang bisa digunakan dalam pembelajaran. Penyusunan daftarnya melibatkan sejumlah kurator ternama, seperti Eka Kurniawan, Okky Madasari, dan Martin Suryajaya. 

Mukhlisin mendukung Sastra Masuk Kurikulum sebagai sebuah gerakan, karena bisa mendorong anak membaca karya sastra Indonesia. Namun, sebagai kebijakan, perlu evaluasi dan persiapan matang. Program ini dikhawatirkan bakal menambah beban guru. 

Ia juga mempertanyakan mekanisme program ini masuk ke kurikulum. Sebab saat ini sudah ada Kurikulum Merdeka yang disahkan beberapa tahun lalu yang menjadi pegangan para guru. Mukhlisin meminta guru dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. 

“Tiba-tiba di tengah jalan ada masukan baru dan tidak begitu jelas bagaimana mekanismenya. Ini cukup membingungkan,” ujar Mukhlisin.

Sementara itu, Guru Besar Purna Bakti di Bidang Sastra dan Kajian Budaya UI, Melani Budianta menyambut baik Sastra Masuk Kurikulum. Sastra mestinya jangan hanya dilihat  sebagai hafalan atau tempelan untuk pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi diberikan porsi sendiri.

Melani menuturkan, sastra bisa membangkitkan imajinasi dan mengasah empati. Melalui sastra, anak-anak dapat belajar melihat kaitan antara dimensi masyarakat, ekonomi, hingga lingkungan.

“Karya itu membuka ruang untuk memanggil kita untuk memasukinya dan menyikapinya,” jelas Melani.

Namun, Melani juga menekankan perlunya panduan bagi guru dalam pengajaran sastra di sekolah. Cara mengajar sangatlah penting agar siswa tak mengganggap belajar sastra sebagai beban. Melani mengakui panduan yang sempat dirilis Kemdikbud butuh direvisi.

“Perlu direvisi [panduan dari Kemendikbud], saya setuju. Nah itu nanti [kalau sudah direvisi] dapat memperkaya kurikulum,” kata Melani.

Simak pembicaraan lengkapnya dalam siaran Ruang Publik KBR episode Sastra Masuk Kurikulum, Solusi Krisis Literasi? Hanya di kbrprime.id.

Baca juga:
Dunia Buku yang (Masih) Tidak Baik-Baik Saja

Pemkot Cirebon Selamatkan Naskah Kuno dengan Teknologi Digital

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!