ARTIKEL PODCAST

Ekonom: Dampak Tarif Trump Tak Bakal Seberat Krisis 1998 dan Covid-19

Ada peluang yang bisa dimanfaatkan dari perang dagang yang ditabuh Trump

AUTHOR / Naomi Lyandra, Ninik Yuniati

EDITOR / Ninik Yuniati

Google News
Ekonom: Dampak Tarif Trump Tak Bakal Seberat Krisis 1998 dan Covid-19
Aktivitas di industri furnitur di Bandengan, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (9/4/2025). Para eksportir furnitur di Jepara khawatir kebijakan tarif Trump akan berdampak para turunnya permintaan, sehingga mereka harus mengurangi karyawan. (Foto:Yusuf/Ant)

KBR, Jakarta - Perang dagang (trade war) yang diinisiasi Presiden Amerika Serikat diyakini dampaknya tak bakal seberat krisis 1998 maupun krisis Covid-19. Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, tak perlu panik menghadapi aksi impulsif Trump, tetapi tetap waspada dengan mengambil kebijakan terukur.

"Ini kira-kira yang kita hadapi akan mirip dengan 2010, ketika subprime mortgage di Amerika Serikat, dan berpengaruh ke seluruh dunia. Ekonomi kita sempat tumbuh sedikit di bawah 5 persen. Tidak perlu panik, tetap optimis yang realistis," kata Wijayanto di Ruang Publik KBR, Rabu (9/4/2025).

Sikap Indonesia dinilai Wijayanto sudah tepat dengan tidak mengambil jalan retaliasi seperti China maupun langkah Vietnam yang langsung menjanjikan pembebasan bea impor produk AS. Namun, upaya negosiasi dengan Trump tetap butuh strategi. Wijayanto mewanti-wanti, jangan menggunakan pendekatan multilateral, misalnya dengan menggunakan payung ASEAN, sebab itu akan ditolak Trump.

Poin ini menjadi salah satu usulan yang dilontarkan Wijayanto saat diundang di Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Prabowo dan jajaran Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (7/4).

"Menyatukan ASEAN sendiri tidak gampang. Ada Singapura yang hanya mendapat kenaikan tarif 10 persen, tapi ada negara seperti Kamboja, yang mendapatkan kenaikan tarif, salah satu yang tertinggi di dunia 49 persen. Menyatukan berbagai interest ini tidak gampang," ujar dia.

Wijayanto mengingatkan bahwa kepentingan Trump adalah menyelamatkan fiskal AS dengan menyeimbangkan neraca dagang. Karenanya, poin negosiasi dengan Trump harus mengarah pada tawaran untuk menurunkan defisit AS, contohnya, dengan menambah impor produk AS dan melonggarkan bea masuk.

"Yang produk-produk (AS) itu memang kita butuhkan dan tidak bisa kita produksi, seperti kapas, minyak dan gas, kemudian, komponen otomotif, komponen teknologi, senjata, pesawat terbang," terang Wijayanto.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyebut, tawaran menaikkan impor produk AS jelas lebih realistis ketimbang menurunkan ekspor Indonesia.

"Kita, kan, nggak mau ekspor kita turun, karena menyangkut ribuan pekerja, bahkan kalau garmen sampai sekitar 1,5 juta pekerja. Mau nggak mau kita harus naikkin impor dari mereka, kalau di tekstil, yang bisa dinaikkin impornya apa? contoh, kapas," ujar Redma.

Redma bilang, menaikkan impor kapas dari AS mesti dibarengi dengan menekan impor pakaian jadi dan produk setengah jadi dari negara lain seperti China dan Vietnam. Sebab, industri tekstil dalam negeri selama ini tidak optimal karena serbuan impor pakaian jadi, yang berimbas pada menurunnya kebutuhan impor kapas sebagai bahan baku utama.

"Bagimana caranya kita meningkatkan importasi, yang memang kita tidak produksi tapi butuh. Atau mengalihkan dari source lain, atau dengan pertimbangan negara lain pun tidak terkena dampak atau tidak dianaktirikan?," Redma memerinci penjelasan.

Menurut Redma, pelaku usaha tekstil tentu menyambut jika diberikan insentif, tetapi bukan berupa perlindungan, tetapi kepastian adanya persaingan sehat.

"Kita bukan nggak bisa bersaing dengan barang-impor impor China, Vietnam, Bangladesh. Kita bisa, asal dilakukan secara fair. Mereka masuk ke sini, bayar pajak, jangan lewat jalan ilegal, mereka ke sini tidak dengan cara dumping," Redma menekankan.

Mitigasi risiko dan peluang

Situasi ketidakpastian global imbas kebijakan Trump ini tentu berdampak ke ekonomi nasional, sehingga harus cepat dimitigasi. Jika tarif resiprokal Trump berlaku, risiko PHK pasti meningkat karena produk ekspor ke AS dari industri padat karya. Selain itu ada ancaman inflasi tinggi karena barang-barang impor kian mahal. Dampak tidak langsung dapat mengarah ke banjir produk impor murah dari negara-negara yang produknya ditolak masuk AS.

"Mereka (negara lain) desperate butuh pasar, produk impor murah baik melalui jalur legal, maupun penyelundupan. Pemerintah kita memang harus mengantisipasi dengan mengatur itu, jangan membuka pintu terlalu lebar, kemudian yang ilegal harus dihentikan total, karena bisa mengganggu produsen dalam negeri," jelasnya.

Di sisi lain, Wijayanto bilang, pemerintah juga mesti sigap membaca peluang. Perang dagang bisa menjadi pendorong untuk meningkatkan daya saing. Apalagi, ekspansi Vietnam bakal melambat terkena "sengatan" kebijakan tarif Trump. Ini momen tepat untuk meniru atau melampaui keberhasilan Vietnam membangun ekosistem industri.

"Ini kesempatan bagi kita untuk mencoba melakukan hal-hal positif yang sudah pernah Vietnam lakukan, kita lebih fleksibel terkait dengan regulasi investasi, TKDN dan lain sebagainya, untuk mengundang investasi berkualitas masuk ke Indonesia," tutur Wijayanto.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wiraswasta juga menyebut perang dagang yang ditabuh Trump bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat industri domestik. Bolanya ada di pemerintah, bagaimana bernegosiasi secara tepat dengan AS maupun memitigasi risiko serta peluang di dalam negeri.

"Saya kira momen yang awalnya mengkhawatirkan, justru bisa jadi momen kita untuk berdikari dari sisi perdagangan maupun pertumbuhan investasi. Dan yang paling penting bagaimana kita menaikkan utilisasi, dari sekarang di sekitar 45-50 persen, bisa naik lagi, 75-80 persen," ujar Redma.

Baca juga:

Prabowo Mau Longgarkan TKDN, Pengusaha dan Ekonom Beri Peringatan

Dampak ke Pekerja Industri jika Tarif Trump Berlaku

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!