ARTIKEL PODCAST
Orang 'Toxic' Pemerintahan dan Pembubaran Ibadah
"Kalau regulasi tersedia pasti ada program, anggaran. Kalau regulasinya diskriminatif, pasti programnya juga diskriminatif, anggarannya juga diskriminatif. Ini masalah serius di level negara,"
AUTHOR / Tim FOMO Sapiens
KBR, Jakarta - SETARA Institute mendesak penguatan sistem ekosistem toleransi masyarakat. Ini merespon kasus pembubaran ibadah sekelompok mahasiswa Katolik Universitas Pamulang di Tangerang Selatan pada pekan lalu. Empat orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang berujung aksi kekerasan tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan lemahnya sistem ekosistem toleransi dipengaruhi beberapa persoalan salah satunya regulasi dan elite pemerintah. Regulasi yang ada, kata Halili, memberikan ruang kepada kelompok mayoritas untuk melakukan persekusi terhadap yang minoritas atau lemah secara sosial politik.
"Akhirnya punya efek lanjutan. Kalau regulasi tersedia pasti ada program, anggaran. Kalau regulasinya diskriminatif, pasti programnya juga diskriminatif, anggarannya juga diskriminatif. Ini masalah serius di level negara," jelas Halili dalam wawancara dengan KBR pada Rabu (08/05).
Baca juga:
- Pembubabaran Ibadah di Pamulang, Potret Buram Kebebasan Beragama di Indonesia
- Wapres Minta Media Tebar Konten Seruan Kerukunan Umat Beragama
Selain itu, Halili juga menyoroti soal kapasitas aparatur sipil negara menangani kasus-kasus intoleransi di masyarakat.
"Misalnya Satpol PP atau Forkopimda (Forum koordinasi pimpinan daerah) sebagai pemimpin di level daerah, mulai dari bupati, walikota, kapolres, kejaksaan, sampai di level menengah seperti mereka yang ada di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) seperti Kesbangpol. Dalam banyak kasus harusnya mereka melindungi korban, tapi ternyata tidak cukup kuat memberikan perlindungan di level birokrasi, keamanan bagi korban," lanjutnya.
Oleh karena itu, menurut Halili, sistem ekosistem toleransi harus didukung tiga faktor yaitu kepemimpinan politik, birokrasi yang baik, dan para pemimpin di level masyarakat.
"Jangan para politisi itu semata-mata menjadikan isu agama untuk mengumpulkan insentif elektoral. Selain itu, birokrasi yang baik akan menjadi prediktor bagi penguatan kebhinnekaan. Kepemimpinan di level society itu juga penting kan kita kenal FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), FPK (Forum Pembauran Kebangsaan) karena sikapnya akan jadi referensi bagi jamaahnya," tutupnya.
Simak bahasan selengkapnya di FOMO Sapiens pekan ini bersama Eky Priyagung dan Aika. Selain itu, ada bahasan menarik soal orang ‘toxic’ di pemerintahan dan Gen Z rentan diabetes.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!