Article Image

ARTIKEL PODCAST

Kecanduan Fast Fashion dan Dampaknya ke Kesehatan Mental

"Fast fashion menawarkan pakaian murah, cepat berganti model, dan berlimpah."

KBR, Jakarta- Pernahkah kamu mendapati lemari bajumu penuh sesak, tetapi tetap saja merasa nggak punya baju yang cocok buat di pakai? Seringkah kamu tergoda membeli pakaian baru karena ikut tren di media sosial?

Belakangan, fenomena fast fashion jadi perbincangan. Berdasarkan laman Kementerian Keuangan, budaya fast fashion menawarkan pakaian murah, cepat berganti model, dan berlimpah. Model yang berganti-ganti mengikuti tren dunia, memberikan konsumen banyak pilihan dengan harga relatif murah.

Tetapi aktivitas ini tak lepas dari kritik. Fast fashion dianggap bisa berdampak negatif terhadap lingkungan hidup seperti polusi air, limbah tekstil, dan emisi karbon, yang berisiko memperburuk krisis iklim. Tak hanya itu, fast fashion bahkan berpotensi mempengaruhi kesehatan mental.

Apa Hubungannya dengan Kesehatan Mental?

Peneliti dari komunitas Slow Fashion Indonesia, Rika Isvandiari menjelaskan soal industri fashion di dunia. Rika menyebut, gerakan slow fashion muncul lantaran masifnya perkembangan fast fashion di dunia. Meski prinsip slow fashion sebenarnya sudah dilakukan oleh para leluhur.

"Slow fashion mengajak kita lebih aware, lebih mindful ke diri kita sendiri. Ada beberapa campaign yang dilakukan slow fashion. Mulai bagaimana caranya memperbaiki barang, bagaimana kita mengenal biologi dikaitkan tingkat kebutuhan. Tetapi kalau buat aku pribadi, slow fashion itu dimulai dari sejauh mana sih kita paham diri kita sendiri. Karena itu akan menentukan identitas kita, menentukan personal kita, menentukan authentic personal branding kita," tuturnya dalam Podcast Disko "Diskusi Psikologi".

Setali tiga uang, Psikolog klinis, Mutiara Maharini juga sepakat bahwa slow fashion mampu membuat seseorang mengenal dirinya. Ia mengatakan, mengenal diri sendiri adalah elemen yang penting dalam hidup seseorang. Karena dengan mengenal diri sendiri, seseorang bisa lebih percaya diri.

"Aku itu unik. Aku punya style-ku sendiri, dan aku tidak butuh validasi orang lain. Ketika kita melihat tren-tren itu kita gak jadi FOMO-FOMO (Fear Of Missing Out) banget. Ketika kita terjebak sama si fast fashion ini. Kita impulsif, itu bisa merugikan banget secara finansial," ungkap Mahari.

Peneliti dari komunitas Slow Fashion Indonesia, Rika Isvandiari.

Peneliti dari komunitas Slow Fashion Indonesia, Rika Isvandiari mengingatkan, fast fashion bisa merusak lingkungan dan ekosistem.

"Apakah bahannya ramah lingkungan? Kita lihat misalnya, oke bahannya bagus tapi dari kulit buaya. Berapa banyak buaya yang mati hanya untuk membuat seseorang cantik. Terus yang kedua terkait apakah bahannya itu mengandung bahan beracun? Kalau di kosmetik ramai merkuri. Ya sama, fashion juga punya hal (zat berbahaya yang digunakan untuk produksi) yang sama gitu. Cuma mungkin risetnya tidak terlalu ramai di Indonesia," katanya.

Terkait Industrinya, Rika mengungkap fast fashion tidak hanya diproduksi di sebuah negara saja. Dan Indonesia juga kebagian tahap produksi yang merusak lingkungan.

"Fast fashion tidak diproduksi di satu tempat. Jadi misalnya kapasnya itu ditanamnya di Amerika dan Australia. Kemudian dibikin jadi benangnya itu di Turki. Nanti Dijadikan kainnya itu di negara lainnya. Indonesia itu biasanya kena di pencucian kain. Makanya Citarum rusak," tegas Rika.

Rika melihat, belakangan tren fashion didorong kebutuhan validasi orang lain. Rika tidak menyalahkan hal tersebut. Katanya, validasi oke selama memang cocok.

"Kita punya otak sosial. Yang akhirnya membuat orang pasti akan bahagia kalau diterima dengan orang lain. Memang begitu kan cara bertahan hidup. Tetapi akhirnya gini, ketika kita mengikuti tren terus-menerus. Jangan sampai akhirnya kita pecah kongsi sama diri kita sendiri. Jangan sampai akhirnya saya tuh maunya A, tetapi karena komunitas saya bilangnya B. Saya jadi ngikutin mereka terus," ujarnya

Rika pun mengajak masyarakat memilah antara yang dipunya, yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan. Karena menurutnya, kebutuhan ada batasnya, sementara keinginan bisa tak terbatas. 

Pendiri Joli Jolan, Krisna Chaniskara.

Ada Cara Memperpanjang Usia Barang!

Komunitas dari Solo, Joli Jolan menyadari hampir 60 persen barang di rumah, termasuk pakaian yang tak terpakai dan hanya terbengkalai. Di saat yang sama, ada kemungkinan orang lain justru sedang membutuhkannya. 

Pendiri Joli Jolan, Krisna Chaniskara mengatakan, komunitasnya mengusung konsep berbagi atau barter barang. Tujuannya memperpanjang usia pakai dan mengurangi limbah tekstil.

"Joli Jolan jadi wadah bertemunya orang-orang yang punya barang berlebih dengan mereka yang membutuhkan. Solidaritas dan pengurangan konsumsi berlebihan, jadi dua prinsip utama kami. Jadi pakaian, tas atau sepatu yang masih bagus dan tidak terpakai bisa didonasikan melalui Joli Jolan. Terus kalangan yang membutuhkan bisa mengambil secara gratis. Tapi ada juga sistem barter." ungkap Krisna dalam Podcast "Disko" Diskusi Psikologi.

Krisna mengatakan, melalui sistem barter seseorang bisa membawa 10 barang, tapi hanya bisa membawa pulang 3 pakaian. Kata dia pakaian yang ditukar dinilai berdasarkan jumlah bukan nominal harganya.

"Kadang ada, aku punya banyak barang yang masih bagus tapi numpuk, entah itu mungkin karena sudah bosan, mungkin salah beli, atau memang orangnya suka belanja gitu. Tetapi di sisi lain juga ada yang mungkin keterbatasan dari segi ekonomi dan sebagainya. Jadi di Joli Jolan itu bisa mempertemukan dua kepentingan itu, bisa mengambil barang cuma-cuma," katanya.

Krisna berharap gerakan Joli Jolan mampu membangun kesadaran sosial dan lingkungan di tengah arus konsumerisme.

"Sebulan bisa hampir mengelola 2 ton donasi, pakaian dan barang yang masuk ke Joli Jolan. akhirnya kita putar lagi agar pakaian dan barang ini usianya lebih panjang, bisa dipakai orang-orang lain."

Lebih lanjut terkait pembahasan fashion dan pengaruhnya ke kesehatan mental. Yuk simak podcast Diskusi Psikologi (Disko) di link berikut: