indeks
Thamrin Tomagola: Negara Tidak Hadir Saat Tindakan Intoleransi Terjadi

Bagian dari birokrasi negara resmi justru melakukan pelanggaran inkonstitusional terhadap hak-hak warga negara.

Penulis: Vitri Angreni

Editor:

Google News
Thamrin Tomagola: Negara Tidak Hadir Saat Tindakan Intoleransi Terjadi
Demo Intoleran. (Antara)

KBR, Jakarta - Kasus intoleransi seakan tak pernah ada habisnya terjadi di tanah air tercinta ini. Seperti yang terjadi hari Minggu (1/6) lalu, Gereja Pangukan, Sleman, Yogyakarta dikepung kelompok intoleran. Sebelumnya pada kamis (29/5) jemaat Katholik di Sleman diserang saat melakukan doa. Jemaat diserang dengan pemukul dan batu. Dan ada masih banyak lagi.


Menurut Thamrin Amal Tomagola, pengamat sosial dan guru besar sosiologi UI, ini semua terjadi karena ketidakhadiran negara pada saat kelompok masyarakat melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain. Selain itu bagian dari birokrasi negara resmi justru melakukan pelanggaran inkonstitusional terhadap hak-hak warga negara.


Jadi apa yang harus dilakukan negara untuk menyelesaikan masalah ini? Simak perbincangan Thamrin Amal Tomagola selengkapnya dalam Program Sarapan Pagi di KBR (3/6) berikut ini.


Soal masalah intoleransi yang terus merebak menjelang pilpres, menurut Anda apa penyebabnya?


“Biasanya secara sederhana itu kalau ada konflik-konflik dalam bentuk apapun selalu terjadi kombinasi antara sekumpulan faktor yang  tadinya bersifat antarwaktu dan ada yang bersifat musiman. Menjelang pilpres ini menyambung juga dengan pilkada-pilkada yang musiman itu memang bisa kadang-kadang menjadi trigger bagi sesuatu yang sebenarnya sudah menumpuk antarwaktu. Tapi pertama saya pikir barangkali kita bisa saja analisa secara akademis tentang sumber konflik dan sebab konflik. Tapi yang jelas itu sebenarnya kalau kita kembali ke kerangka negara , hal-hal yang seperti ini sebenarnya kalau negara benar-benar hadir dan tidak membiarkan itu mestinya tidak terjadi. Yang mengkhawatirkan sebenarnya bukan hanya negara tidak hadir pada saat kelompok masyarakat melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain. Tapi seperti yang dicontohkan dimana-mana itu bagian dari birokrasi negara resmi justru melakukan pelanggaran inkonstitusional terhadap hak-hak warga negara. Kalau kita lihat hal-hal itu secara berlapis saya lihat ada beberapa lapis masalah, pertama adalah masalah yang sangat jelas terlihat adalah terkaitnya kepentingan mobilisasi suara dengan suatu sentimen dan ketidakpahaman yang sudah lama menumpuk dalam masyarakat. Itu sangat marak sesudah desentralisasi dan pilkada ini. Kemudian kedua saya kira ada satu ketidakpahaman khusus di kalangan umum terhadap sistem yang berlaku di dalam jemaat protestan. Berbeda dengan muslim yang kehadiran dalam satu rumah ibadah itu bersifat otomatis, dia bisa beribadah di masjid manapun tidak tergantung di tempat dia tinggal. Itu menurut sistem keanggotaan aktif dari jemaat protestan itu orang yang tinggal misalnya almarhum Pak Nababan dia tinggal di Tebet tapi keanggotaan gerejanya itu di Tangerang ya dia harus pergi ke Tangerang walaupun dia bukan orang yang tinggal di daerah Tangerang. Sehingga sistem keanggotaan aktif seperti itu mengakibatkan jemaat protestan itu mereka pergi mencari gereja yang sesuai dengan keyakinan sekte gerejanya dan itu aktif. Sehingga tidak bisa mempersoalkan bahwa orang-orang yang hadir di dalam suatu kegiatan ibadah bukan warga sekitarnya, bukan itu masalahnya.”


Soal pembiaran pemerintah, yang Anda lihat apakah pemerintah tidak berupaya serius meredakan masalah intoleransi atau justru jadi pemicunya?


“Dalam keputusan tiga menteri itu juga tidak tuntas sehingga membuka peluang-peluang di bawahnya. Apalagi misalnya ditambah fatwa-fatwa MUI dan lembaga lainnya itu kemudian memang memperpanas. Saya pikir hal-hal itu turut berperan didalam membuka celah bagi terjadinya hal-hal seperti itu.”


Apakah ada elit pemerintah yang memang hidup dengan masalah ini?


“Bisa juga. Karena yang namanya pemerintah ini misalnya mantan Menteri Agama Suryadharma Ali itu apa dia bertindak sebagai pemerintah pada saat dia menghadapi kelompok-kelompok itu. Kalau dia bertindak sebagai seorang pejabat negara dia harus mendasarkan pada konstitusi. Kemudian dia harus melindungi segenap kelompok umat beragama di Indonesia, tapi ternyata dia berpihak malah memberikan pernyataan-pernyataan yang memprovokasi umat Islam yang terbatas pengetahuannya tentang umat lain untuk melakukan sesuatu. Jadi menjadi kabur seorang pejabat negara apakah dia masih pejabat negara bertindak dengan ketentuan-ketentuan dari bingkai konstitusi atau dia bertindak berdasarkan kepentingan-kepentingan sempit dari partai politik atau umat tertentu itu menjadi sangat tidak jelas. “


Untuk menyudahi ini kira-kira apa yang bisa dilakukan?


“Dulu almarhum Gus Dur pada saat sesudah diberhentikan jadi presiden dia berucap ada satu yang dia tidak sempat melakukan, yaitu membubarkan Kementerian Agama. Karena Kementerian Agama yang sekarang ini sebenarnya bukan suatu lembaga negara yang benar-benar NKRI. Tapi sebenarnya suatu lembaga negara yang didominir oleh suatu umat mayoritas. Kemudian yang kedua umat-umat lain mencoba melakukan negosiasi dengan mendapatkan dirjen-dirjen tertentu di dalam situ sehingga itu benar-benar bukan suatu lembaga negara yang netral. Tapi kalau kita kembali ke masalah di Yogyakarta, sebenarnya saya menyayangkan dua pihak yang sangat terlambat. Pertama alat negara yaitu kepolisian, kenapa kok dalam peristiwa yang kedua itu mereka hanya berdiri diam dan tidak menindak. Karena pelanggaran itu bukan pelanggaran kriminal biasa, itu pelanggaran kriminal inskonstitusional. Konstitusi itu sesuatu yang sangat kita junjung dalam bingkai negara, konstitusi kok diam saja kemudian berkilah dengan mengatakan bahwa mengutamakan musyawarah. Ini orang-orang kriminal tidak ada musyawarah, itu harus ditindak secara hukum.”


(Baca juga: Kementerian Agama Minta Keadilan Dalam Konflik Beragama)


Haruskah Kapolda DI Yogyakarta dicopot?


“Itu berikutnya. Tapi sebenarnya dia sudah sangat menyeluruh dalam tubuh Polri, mereka seperti kehilangan langkah untuk bertindak. Kemudian Sri Sultan juga sangat terlambat, baru hari ini mengatakan tindak tegas. Dari awal mestinya apalagi dia baru menerima penghargaaan toleransi beragama di daerahnya. Kalau saya lihat pihak Polri, pemerintah daerah yang mestinya melindungi semua pihak itu mempunyai perhitungan-perhitungan tertentu apakah perhitungan politik, kelompok sosial, resiko yang bisa terjadi kalau mereka mengambil satu tindakan. Berarti mereka penuh dengan perhitungan, bukan lagi suatu alat negara yang resmi.”


Ini seperti karakter alat negara yang terpola?


“Itu massa yang di Bekasi waktu terjadi peristiwa yang ada di lapangan hanya satu orang brigadir polisi. Jadi ada masalah-masalah internal polisi yang memang bukan hanya suatu kasus atau oknum, ini sudah institusional. Bahwa kalau misal terjadi bentrokan antarumat agama polisi itu secara institusional diam dan menonton, itu tidak bagus. Misalnya kemarin itu untuk kepentingan capres-cawapres siap sekali. Kita tahu juga bahwa penjagaan capres-cawapres itu memang duitnya banyak, saya kira ada sesuatu yang salah di dalam Polri sebagai aparat negara.” 




intoleransi
indonesia
konflik
pilpres
Thamrin Amal Tomagola
Toleransi
petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...