Dalam peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan pemilihan anggota DPR, dan DPRD harus memuat keterwakilan perempuan setidak-tidaknya 30 persen.
Penulis: Evilyn Falanta
Editor:

KBR68H- Jakarta. Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan pemilihan anggota DPR, dan DPRD harus memuat keterwakilan perempuan setidak-tidaknya 30 persen. Rupanya, aturan itu menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik untuk maju dalam pesta pemilu 2014 mendatang. Upaya keterwakilan perempuan di parlemen rupanya masih butuh pengawalan, mulai dari penempatan nama dalam daftar calon legislatif, hingga penegakan perundangan yang mengatur keterwakilan politik perempuan.
Apalagi suara dari DPR menginginkan penghapusan ini jika suara dari daerah pemilihan (Dapil) partai gagal memenuhi kuota. Tapi KPU berkeras menjalankan aturan tersebut.
Agar posisi perempuan bisa menduduki parlemen, upaya pengawalan memang harus dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Hal itu bisa dimulai dari penempatan perempuan pada lembaga penyelenggara pemilu.
Sayangnya, lembaga penyelenggara pemilu kesulitan merekrut serta menyeleksi anggota perempuan, terutama di daerah yang prosenya saat ini tengah berlangsung.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, kehadiran perempuan dalam kursi parlemen sangat penting, karena perempuan dapat mendorong aspirasi rakyat, khususnya mendorong kebutuhan perempuan.
“Dari segi advokasi di parlemen perempuan sudah tidak diragukan lagi. Faktanya, masih banyak pihak-pihak yang belum memahami mandat keterwakilan perempuan ini,” tutur Titi.
Masyarakat hingga saat ini masih memandang hanya laki-laki saja yang dapat memimpin. Kata Titi, bila diberikan ruang yang sama, perempuan juga dapat memimpin. Undang-undang juga mengatur bahwa semua warga negara di mata hukum memiliki hak yang sama. Kesetaraan gender akhirnya menjadi perdebatan ketika aturan keterwakilan perempuan 30 persen ini muncul sebagai syarat peserta pemilu.
Komite Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Mike Ferawati mengatakan kursi parlemen masih banyak dikuasai oleh kaum laki-laki itu yang belum memahami kesetaraan gender. “Padahal bila mereka memahami keterwakilan perempuan ini dengan benar, maka mudah untuk menjalankannya,” tambahnya.
Bagi sejumlah partai aturan 30 persen perwakilan perempuan dalam keanggotaan parpol menjadi hambatan untuk maju dalam Pemilu 2014. Ini terbukti selama pada pembukaan hari pertama pendaftaran calon legislatif sementara oleh KPU, belum ada partai politik yang menyerahkan nama-nama calonnya tersebut.
“Ini kembali lagi dari komitmen serta sistem yang dijalankan oleh parpol itu sendiri. Kalau parpolnya sudah memantapkan perspektif tentang perwakilan perempuan ini, maka akan mudah mendaftarkan calonnya,” ungkap Mike.
Saat ini orang-orang yang duduk di parlemen notabene adalah laki-laki. Pasalnya, bila tidak didorong penguatan keterwakilan perempuan untuk duduk di kursi parlemen maka akan sangat lemah pemilu legislatif itu. Demikian pernyataan Mike Ferawati dari Komite Pokja Reformasi Kebijakan Publik.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, keterwakilan perempuan bisa di dorong dari lembaga penyelenggara pemilu.
“Dan di KPU Sulawesi Tenggara sudah memulai hal itu. Jadi, dari tim panitia penyelenggara pemilu daerah sudah memenuhi adanya perwakilan perempuan. Ada lima orang di tim itu, tiga diantaranya perempuan,” tambah Titi yang juga menjadi tim seleksi panitia penyelenggara pemilu di KPU Sulawesi Selatan.
Komite Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Mike Ferawati menambahkan masyarakat juga perlu didorong serta membuka cara pandangnya terhadap kepemimpinan perempuan di dunia politik.
“Penting mendorong masyarakat bahwa 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen itu penting, bukan hanya laki-laki. Dan ini harus dijalankan sampai ke daerah-daerah,” katanya.
Pasalnya, kehadiran perempuan di kursi parlemen mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Menurut Titi, perempuan sudah punya modal dasar untuk menjadi anggota parlemen maupun penyelenggara pemilu. “Karena perempuan masa kini itu lebih independen, rasional, serta takut mengambil langkah-langkah yang melawan hukum. Jadi tinggal, perempuan itu diperkuat kompetensinya agar lebih baik saat menekuni isu-isu,” tuturnya.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Koalisi Perempuan Indonesia.