indeks
Perempuan dan Kaum Marjinal Rawan Jadi Korban Politik Uang

KBR68H, Jakarta- Perempuan dan kaum marginal, masih rawan menjadi korban politik uang (money politic), rentan terhadap mobilisasi dan cenderung hanya menjadi pemilih tradisional.

Penulis: Sindu Dharmawan

Editor:

Google News
Perempuan dan Kaum Marjinal Rawan Jadi Korban Politik Uang
perempuan, kaum marjinal, politik uang

KBR68H, Jakarta- Perempuan dan kaum marginal, masih rawan menjadi korban politik uang (money politic), rentan terhadap mobilisasi dan cenderung hanya menjadi pemilih tradisional. Mereka sering jadi sasaran bagi-bagi uang atau sembako, jelang pemilu maupun pemilukada. Kondisi ekonomi yang sulit dan pemahaman yang kurang, membuat banyak mereka terayu memberikan hak pilih berharga demi 50 ribu atau sepaket minyak goreng dan gula. Sementara akses untuk dapat menggunakan hak politiknya dengan baik makin sulit untuk mereka yang bekerja di sektor informal dan buruh industri. Dan tahapan pemilu 2014 terus berjalan.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Risma Umar menjelaskan, yang disebut kaum marjinal adalah warga negara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki akses terhadap ruang-ruang pengambilan keputusan. Yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan public, dan akses menyampaikan pemikiran serta apa yang dirasakan.

“Salah satu yang menjadi kelompok yang rentan dalam hal ini adalah perempuan. Karena tidak memiliki begitu banyak akses ruang yang sama dengan warga kelas sosial lainnya, dalam menentukan hak politiknya. Terutama ketika pemilihan kepala daerah, dan legislatif, ” ujar Risma Umar dalam acara talkshow Pilar Demokrasi soal “Mempermudah Akses Kaum Marginal dan Perempuan di Pilpres 2014”, di UNJ, Senin (17/6).

Situasi itu, kata Risma, sangat berpengaruh dan berhubungan, di mana informasi atau pendidikan yang diperoleh oleh kelompok marjinal dan perempuan terhadap pelaksanaan pemilu atau pengambilan keputusan lainnya tidak diberikan atau diterima secara baik oleh mereka. Keterbatasan itu termasuk ketidaktahuan kenapa mereka harus memilih, dan visi-misi dari calon yang akan mereka pilih.

”Karena keterbatasan itu, maka seringkali dalam banyak kasus dan fakta di lapangan, mereka menjadi korban mobilisasi partai untuk kepentigan dukungan politik partai atau orang-orang yang akan berkompetisi dalam pergantian kepemimpinan di daerah atau di pusat. Data kelompok marjinal pun tidak terdata dengan baik, “ kata Risma.

Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Karnadi berpendapat, yang harus dilakukan untuk mencegah perempuan menjadi korban politik uang dan menjadi pemilih tradisional adalah dengan memberikan pembelajaran yang baik soal politik. Meski ada beberapa yang kompeten dalam berpolitik, namun keberadaan mereka tidaklah dominan.

“Jika di lingkungan pendidikan sekolah, perempuan sangat berprestasi dan bagus. Namun, jika menyangkut politik, hal itu menjadi lemah dan perlu edukasi lebih lanjut. Untuk itu, perempuan harus didorong untuk memiliki kepedulian terhadap politik, sosial dan budaya. Hal ini kadang yang menjadi hambatan,” kata Karnadi.

Sementara itu, Ketua Pokja Sosialisasi KPU Jakarta, Betty Epsilon Idroos beralasan, hambatan yang dialami oleh KPU adalah banyaknya masyarakat yang merasa apatis dengan kejadian dan kondisi politik yang ada saat ini. Selain itu, masalah sosial dan budaya juga menjadi kendala.

“Kejadian politik yang saat ini terjadi membuat masyarakat menjadi apatis dengan politik, dan menarik diri mereka untuk mengenal lebih jauh apa itu politik. Padahal, politik adalah satu-satunya cara untuk memilih wakil mereka, baik di legislative maupun presidensial,” kilahnya.

Partai politik, kata Betty, mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik secara jelas kepada masyarakat, sesuai aturan yang terdapat pada Undang-undang. Sementara KPU, memiliki kewajiban untuk member pendidikan bagi pemilih.

“Padahal pendidikan yang diberikan kepada perempuan, akan berdampak pada satu keluarga, bahkan hingga satu generasi, dibanding dengan pendidikan kepada laki-laki. KPU secara prinsip telah memberikan akses seluas-luasnya kepada laki-laki, perempuan, dan masyarakat karena memang KPU berkepentingan untuk meningkatkan tingkat partisipasi pemilih. Namun, ini menjadi tugas bersama, bukan hanya KPU. Terutama partai politik,” tegas Betty.

Hak politik perempuan saat ini dinilai masih belum adil. Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) , Nining Elitos menyebut, pemerintah seolah-olah memberikan hak politik yang sama kepada perempuan. Tapi, di sisi lain seringkali mengorbankan mayoritas perempuan yang hanya dijadikan haknya untuk memilih, sementara hak mereka untuk dipilih sangat kecil.

“Inilah yang menyebabkan buruh sulit memberikan hak suaranya  ketika pemilu. Karena mereka terbentur jam kerja, dan alasan lain.  Jadi, mereka sementara ini hanya menjadi alat politik, dan tidak memiliki ruang. Ini menyebabkan, perempuan tidak memperdulikan hak politiknya, karena mereka melihat ini hanya soal hak memilih, sementara akses mereka terbatasi,” keluah Nining.
Nining juga membantah, jika KPU telah memberikan sosialisasi tentang bagaimana perempuan berperan dalam politik, bagaimana sosialisasi kebijakan yang ada kepada kaum buruh atau pekerja.

“Saya belum pernah mendengar ada sosialisasi dari KPU kepada anggota saya tentang sosialisasi peran perempuan dalam politik. Jika pun ada, saya harap jangan hanya kebijakan di atas kertas, dan kemudian tidak memberikan ruang kepada perempuan untuk dipilih,  “ tegas Nining.

Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Karnadi mengatakan, selain semua hal yang tersebut di atas, hal yang terpenting lainnya adalah membuat pemilih yang cerdas. Ini agar pemilih benar-benar bisa memilih orang dan calon yang tepat saat pemilu, demi perbaikan bangsa.
“Namun, selain pemilih yang  cerdas, kita juga harus memberikan kemerdekaan kepada pemilih untuk memilih, tanpa ada tekanan. Parpol saat ini hanya bersifat mengajak, bukan mendidik masyarakat. Ini yang masih kurang sekali, ”pungkas Karnadi.

Editor: Doddy Rosadi

perempuan
kaum marjinal
politik uang

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...