KBR68H, Jakarta - Tiar Anwar Bachtiar, adalah salah satu orang yang mengkritik pemberian gelar pahlawan kepada Raden Ajeng Kartini.
Penulis: Dimas Rizky
Editor:

KBR68H, Jakarta - Tiar Anwar Bachtiar, adalah salah satu orang yang mengkritik pemberian gelar pahlawan kepada Raden Ajeng Kartini. Sejarawan ini berpendapat, masih banyak perempuan yang mengambil peran dalam perjalanan sejarang bangsa. “Di Aceh, abad ke-16, ada empat orang ratu atau sultanah perempuan yang menentang penindasan. Di Aceh itu hal biasa perempuan menjadi pejuang. Makanya ada tokoh Cut Nyak Dien dan Cut Mutia,” katanya. Dia menilai Kartini menjadi terkenal karena karya yang dia buat, melalui surat-surat yang diterbitkan Abendanon; seorang pejabat Belanda.
Munculnya sosok Abendanon menurut dia juga suatu hal yang berpolemik. Pasalnya Abendanon menerbitkan karya yang kemudian terkenal dengan “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, hanya untuk mendapatkan simpati penggalangan dana membuat sekolahan. Hal lain yang perlu dikritisi menurut dia adalah Kartini meragukan agama, bahkan terkesan skeptis.
Sementara itu Hilmar Farid, sejarawan lainnya berpendapat pemberian gelar pahlawan Kartini, harus dipisahkan dari karya yang dia buat. Menurutnya, tafsiran orang berbeda-beda dalam memaknai hasil karya, termasuk buku Kartini. Hilmar mengatakan pemberian gelar pahlawan terhadap Kartini, harus dilihat dari situasi politik pada tahun dia ditetapkan sebagai pahlawan, yaitu 1964. “Saat itu ada upaya mengklaim kembali sejarah yang pada masa sebelumnya sangat dipengaruhi Belanda. Kartini muncul dalam konteks itu,” ujarnya.
Di lain pihak, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi Dian Kartikasari mengatakan gelar kepahlawanan Kartini seharusnya tak perlu diperdebatkan lagi. Kata dia, Kartini mempunyai pikiran yang visoner jauh ke depan, tidak hilang dimakan waktu. Katanya, Kartini banyak memperjuangkan soal emansipasi wanita, pendidikan, dan kemanusiaan. “Bahkan dari seratusan lebih gelar pahlawan yang sudah ditetapkan, hanya ada dua hari kelahirannya yang terus diperingati. Salah satunya adalah Kartini,” tambahnya.
Di tengah perdebatan gelar kepahlawanan Kartini, semua bersepakat pikiran-pikirannya masih relevan dengan kondisi saat ini. Dian Kartikasari mengatakan sebagian guratan penanya, mengisahkan tentang pentingnya perubahan yang sistemik dalam kemasyarakatan. Kata dia, salah satu perjuangan Kartini dulu adalah mengkritik kaum feodal dan proletar yang dianggap berkasta tinggi dibanding rakyat biasa. Hubungan mayoritas lebih kuasa daripada minoritas juga menjadi bagian yang “terpelihara” hingga saat ini. “Tak jarang akhirnya banyak penindasan yang dilakukan oleh kaum mayoritas terhadap minoritas,” imbuhnya.
Tiar Anwar Bachtiar bersepakat dan bahkan mengatakan Kartini patut dicontoh karena berpikiran maju dan visioner. “Dia berani menentang ketidakadilan dan selalu ingin mencari tahu kebenaran,” tambahnya. Bahkan dia yakin, jika Kartini masih hidup, dia akan membawa perubahan dalam tatanan kehidupan sosial. Sementara Hilmar Farid menambahkan sejarah menjadi relevan ketika bisa menjawab pertanyaan tentang kondisi saat ini. Katanya lebih baik memperdebatkan pikiran-pikiran Kartini yang masih sesuai dengan kondisi jaman, ketimbang memperdebatkan gelar kepahlawanannya.