Diskriminasi terhadap kaum transgender masih kerap terjadi di Indonesia. Tapi sebuah kelompok sedang mencoba mengubah itu, memberdayakan transgender muda dengan membekali lewat pengetahuan dan ketrampilan baru.
Penulis: Rumondang Nainggolan KBR68H
Editor:
Ada sekitar 20 orang berkumpul di pembukaan salon kecantikan yang baru ini.
Salon ini didirikan oleh Swara, sebuah kelompok transgender di Jakarta.
Kamelia sang ketua kelompok menjelaskan mengapa salon ini penting bagi mereka.
“Kebanyakan teman kami bekerja di dunia kecantikan ini. Itulah mengapa kami mendirikan salon kecantikan supaya semua bisa saling belajar dari satu sama lain…sehingga mereka bisa membuka salon sendiri.”
Salon pink ini terletak di wilayah padat penduduk di timur Jakarta.
Anik Tunjung Wusari dari Indonesia for Humanity Foundation, yang mendanai salon tersebut.
Dia mengatakan bahwa awalnya mereka berpikir untuk memulai bidang bisnis yang berbeda.
“Mulanya kami berpikir dengan mendirikan salon hanya akan memperkuat citra transgender di Indonesia. Salon kecantikan sangat identik dengan transgender. Tapi gagasan utamanya adalah untuk memastikan mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan..sama seperti kita. Kita tidak memutuskan mereka mau menjadi apa..itu tergantung dengan siap atau tidak siapnya mereka. Itu adalah langkah pertama mereka, dan memiliki teman yang mendukung mereka sangat penting karena untuk memulai sesuatu tidaklah mudah.”
Dengan salon kecantikan, kelompok ini memberdayakan anggotanya, khususnya yang berusia muda, mencoba untuk mematahkan diskriminasi terhadap komunitas mereka.
Mereka juga menggelar rapat berkala untuk mendiskusikan topic-topik yang dirasa penting bagi mereka.
Salah satu topik yang dibahas adalah perlindungan, ujar Kamelia.
“Banyak transgender muda yang belum menerima diri mereka apa adanya. Dan ini membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan fisik…baik oleh transgender yang lebih tua atau oleh polisi. Kelompok Swara hadir untuk mendidik masyarakat mengenai komunitas kami. Kaum transgender memerlukan informasi lebih mendalam tentang seksualitas, hak asasi manusia dan HIV/AIDS.”
Banyak waria Indonesia yang terdorong menjadi pekerja seks, bekerja di sektor informal atau di jalanan.
Novi yang berusia 22 tahun mencari nafkah dari menyanyi di jalanan.
Saat bekerja dia kerap mengalami diskriminasi – dan perlakuan itu juga datang dari tetangganya.
Beberapa bulan lalu, novi dan temannya diusir dari rumah mereka karena dianggap sebagai biang masalah.
“Ketika ada kebakaran di lingkungan kam, atau kejadian apa pun, mereka pasti menyalahkan kami. Kami selalu menjadi target. Ketika mereka melakukan pengajian, tiba-tiba mereka mengatakan ‘buang dan bakar para waria..mereka adalah biang masalah!’ Nah itu kan tergantung pada orangnya.”
Sekarang dia tinggal di Jakarta bersama waria lainnya, Alexa.
Alexa yang berusia 24 tahun itu memenangkan kontes miss waria dua tahun lalu, tapi dia merahasiakan hal tersebut dari keluarganya yang berada di Nusa Tenggara Barat.
Jika saya pulang ke rumah, saya kembali menjadi seorang laki-laki. Setiap kali saya pulang ke rumah, orang tua dan keluarga melihat saya sebagai seorang laki-laki, karena saya dilahirkan sebagai laki-laki. Begitulah masyarakat.”
Alexa kemudian bergabung dengan Swara, sebuah kelompok aktivis LGBT yang menyediakan wadah bagi komunitas waria.
Swara memberikan pelatihan dan dukungan bagi waria muda serta pendidikan hak asasi manusia baik kepada komunitas dan masyarakat yang lebih luas. Luluk Surahman adalah pendiri kelompok tersebut.
“Salah satu kegiatan yang ditengarai oleh Swara adalah pendidikan bagi waria muda melalui sekolah transgender. Ini adalah pelatihan terhadap isu-isu kesehatan, penyakit menular seksual, gender, dan hak asasi manusia.”
Diperkirakan ada 3000 komunitas waria di Jakarta.
Melalui Swara, waria muda lebih diberdayakan…dengan pengetahuan baru, kesadaran akan HIV/AIDS, dikriminasi dan juga ketrampilan baru.
Nancy Iskandar ketua dari Forum Transgender di Jakarta mengatakan perbaikan seperti ini akan mengubah pandangan masyarakat terhadap transgender.
“Masyarakat dapat menerima kami jika kami memiliki ketrampilan, khususnya ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka lebih menghargai kami, meskipun kami ini waria. Tapi waria tanpa ketrampilan akan berakhir di jalanan, menyanyi atau menjual tubuh mereka…dan itu akan menciptakan ketegangan antara waria dan masyarakat. Ada beberapa kelompok garis keras yang tidak memahami kami…”
Tapi yang paling penting adalah menerima diri apa adanya, kata Muhammad Aloy atau Rere.
Dia mengenyam pendidikan di sekolah Transgender – Sekolah transgender yang didirikan oleh Swara – dan pengalaman tersebut mengubah hidupnya.
“Sebagai seorang waria, saya sering bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya seperti ini? Tapi setelah mendapatkan pendidikan di Transchool, saya bisa menerima diri apa adanya. Inilah saya, dan bahwa itu bukan dosa. Yang tidak benar adalah mengubah jenis kelamin anda atau menggunakan suntikan silicon. Inilah saya..apa yang bisa saya lakukan? Dan saya tidak mengeluh atas kondisi saya..saya bangga akan diri saya.”
Alexa dan Rere berharap bahwa salon baru ini akan membantu menciptakan citra positif komunitas waria di mata masyarakat Indonesia.
“Kami dilahirkan sebagai mahluk hidup. Yang membuat kami berbeda adalah orientasi seksualitas – saya adalah homoseksual, saya tertarik dengan laki-laki dan saya bersikap layaknya perempuan. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan norma atau agama atau dosa…seperti yang selalu diberitahukan kepada kami selama ini. Setiap manusia dapat berbuat dosa.”
Untuk Rere, ini juga menyangkut tentang hak asasi setiap manusia untuk merasa bebas dan bahagia.
“Saya berharap komunitas waria dapat diterima masyarakat..kami juga manusia. Kami mempunyai hak untuk hidup, untuk bahagia dan hak diperlakukan setara. Kenapa kami harus didiskriminasi atau dijauhi?”