Lima tahun nanti, Jakarta bakal punya konsep wisata yang lebih terintegrasi.
Penulis: Citra Dyah Prastuti
Editor:

KBR68H, Jakarta – Pemerintah Jakarta berencana mengintegrasikan konsep wisata di Jakarta. Untuk itu Gubernur Jakarta Joko Widodo menandatangani rencana kawasan induk Kota Tua antara pihak Yayasan Pusaka Nusantara Raya dan konsorsium Kota Tua.
Dengan pengaturan sejarah ini, maka akan ada dua titik yang akan dihubungkan yaitu jalur sejarah (heritage trail) dan jalur kepahlawanan (patriot trail). Jokowi sendiri berharap konsep ini bisa terwujud dalam 5 tahun mendatang.
Tapi apa sebetulnya yang diharapkan aktivis yang selama ini bergerak di bidang kebudayaan dan sejarah Jakarta? Berikut wawancara dengan pakar sejarah Jakarta, J.J. Rizal.
Apa sebetulnya yang diharapkan oleh teman-teman dari para sejarawan dan budayawan di Jakarta terkait integrasi budaya dan wisata?
“Saya pikir yang pertama ada kepentingan pariwisata. Tapi lebih besar dari itu sebenarnya kita lihat dari konteks identitas, seluruh kota di seluruh dunia punya identitas dan identitas itu akar paling kuatnya adalah sejarahnya. Dalam konteks ini situs-situs, museum, perpustakaan itu menjadi area yang sangat penting. Kita bisa lihat bahwa di wilayah Kota Tua museum dan situs itu menjadi satu. Disinilah menurut saya pentingnya memperlihatkan artefak historis, bangunan bersejarah itu sejarahnya kelihatan bukan hanya bangunannya. Sejarahnya bisa kelihatan dari koleksinya, kita bermasalah dengan koleksi bangunan dan sejarahnya. Kita sudah lama mendengar masalah bagaimana gedung-gedung tua di Jakarta itu sebenarnya tidak terurus. “
Gedungnya saja tidak terurus apalagi sejarahnya ya?
“Itulah. Misalnya ada beberapa kali program besar dijalankan untuk bagaimana membangkitkan wisata Kota Tua. Tapi sampai hari ini kita lihat ramai Kota Tua cuma ramai kaki lima. Beda sekali kalau kita mau wisata sejarah budaya, kita lebih cenderung menikmati kuliner. Jadi yang kita kembangkan waktu perjalanan itu bukan wisata otak tapi wisata perut. Coba Anda pergi ke sana, apalagi beberapa museum koleksinya tidak terawat, tidak punya alur cerita. Apa yang mau diceritakan di museum sejarah Jakarta, apa yang mau diceritakan di museum wayang, apa yang mau diceritakan di museum seni rupa tidak ada.“
Jadi hampir sama saja wisata sejarah di Jakarta dengan tempat lain?
“Sama justru saya pikir sama dengan pergi ke Pasar Tanah Abang. Saya pikir programnya mungkin karena Pak Jokowi sama Pak Ahok orientasinya adalah kerakyatan, rakyat dihitung dengan populasi banyaknya. Yang bisa mendatangkan rakyat banyak itu ya kaki lima, akhirnya itu semua dibuat semacam lapak bahkan didanai oleh Bank DKI. Jadi kalau mau potret pun menurut saya susah karena tertutup kaki lima.”
Sejarah semacam ini tersembunyi ya?
“Saya percaya betul Jakarta sebagai bekas ibukota dari kekuasaan kolonial Belanda punya sejarah menarik. Belanda punya akar historis yang menarik, karena dia sentral sebelum kolonialisme datang punya sejarah yang panjang sebagai kota pelabuhan. Kompleksitas persilangan kultural antarbangsa menjadi sangat kuat, cuma masalahnya mungkin karena tidak dipercaya kekuatan dari sejarahnya kemudian tidak dipercaya dari gedung-gedung dan koleksinya. Akhirnya itu hanya bertumpu pada kekuatan sebagai ruang publik, tanah kosong.”
Pemerintah DKI Jakarta berencana membuat alur sejarah, lebih tersistematis. Apa masukan Anda terhadap rencana ini?
“Saya belum pernah dengar ada sejarawan yang diundang untuk mendiskusikan alur seperti apa yang ingin dibuat oleh pemerintah DKI Jakarta. Banyak lapis di dalam cerita, misalnya Kota Tua itu ada lapis Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Jakarta. Lapisnya banyak sekali, belum lapis sosiologis kulturalnya masyarakat apa saja.”
Lapis-lapis ini pengertiannya pada apa?
“Sejarah banyak dimensinya. Dimensi apa yang mau kita lihat, kalau misalnya dari ulang tahunnya 22 Juni itu lapis Islam ya pendekatannya kota Islam, apakah kota Jakarta identik sama Islam. Ini menurut saya penting karena itu akan mencerminkan proyek Pak Jokowi dan Ahok sendiri identitas kultural kota, identitas apa yang mau dikasih lihat. Kalau sekarang kita masuk museum kita tidak mengerti centang perenang dari bajaj sampai zaman Mulawarman. Kalau disusun yang menyusun juga tidak mengerti mau seperti apa, ini masalah.”