Masyarakat menengah ke bawah masih mengonsumsi barang tersier yang dipungut PPN 12 persen
Penulis: Nafisa Deana
Editor: Valda Kustarini

KBR, Jakarta – Indonesia bakal membuka 2025 dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Pemerintah memastikan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah. Detail implementasinya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Penjelasan ini baru muncul belakangan setelah suara protes warga terus mengalir beberapa bulan terakhir.
Gelombang penolakan PPN 12 persen juga bergaung di media sosial, misalnya lewat gerakan tahan belanja.
Menurut Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Ruben Hutabarat, pemerintah mestinya tak meremehkan dampak penerapan PPN 12 persen, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah.
Sebab, mereka tak hanya mengonsumsi barang kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan tersier.
“Misalnya yang penghasilannya kurang lebih 4-5 juta. Memang sekitar 70% akan dikeluarkan untuk barang kebutuhan pokok. Sisanya kemungkinan besar akan dikonsumsi ke barang-barang tersier yang mengandung PPN yang dipungut oleh pemerintah,” sebut Ruben.
Baca Juga:

Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Ruben Hutabarat. (Foto: Dok pribadi)
Ruben tak menampik PPN yang naik, bakal mengerek pendapatan negara. Namun, kebijakan ini juga berpotensi makin melemahkan permintaan masyarakat, karena diberlakukan di tengah penurunan daya beli.
“Pertanyaannya, kenaikan (penerimaan negara) ini lebih didorong oleh kenaikan tarif atau memang dari permintaan yang meningkat? Kalau semata-mata karena kenaikan tarif dan permintaan itu sendiri turun, sebenarnya ini alarm,” papar Ruben.
Selain PPN, pungutan yang juga akan naik tahun depan adalah iuran wajib kepesertaan BPJS Kesehatan. Hal ini tentu bakal memberi tekanan lebih pada masyarakat kelas menengah. Itu sebab, Ruben berpendapat, sebaiknya kenaikan PPN ditunda.
“Lebih baik ditunda secara umum dibandingkan dengan menaikkan untuk kemudian memberikan pembebasan-pembebasan kepada sejumlah kelompok barang atau kepada sejumlah subjek untuk melindungi subjek berpenghasilan tertentu,” tuturnya.
Ruben bilang, penerapan pajak di Indonesia belum bisa dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang memungut pajak lebih tinggi. Ada prasyarat yang belum dipenuhi, yakni sistem kesejahteraan sosial yang mapan.
“Pajak yang dibayarkan masyarakat (di Eropa) dapat dirasakan dampaknya secara langsung. Sementara kalau di Indonesia kan lebih sering digaungkan bahwa pajak adalah kewajiban masyarakat yang benefit-nya dirasakan secara tidak langsung,” pungkas Ruben.
Dengarkan Uang Bicara episode Generasi Makan Tabungan Digencet PPN 12 Persen bersama Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Ruben Hutabarat di KBR Prime, Spotify, Noice, dan platform mendengarkan podcast lainnya.