HEADLINE

Putus BMH Tak Bersalah, Hakim Palembang Keliru

"Butuh waktu ratusan tahun dan biaya triliunan Rupiah untuk mengembalikan lahan gambut pasca kebakaran."

Yudi Rachman, Asrul, Sasmito, Eli Kamilah

Putus BMH Tak Bersalah, Hakim Palembang Keliru
Helikopter Sikorsky milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pemadaman kebakaran lahan dari udara di dekat Stasiun Simpang Y, Ogan Ilir (OI), Indralaya, Sumsel. Sabtu (14/11). Foto

KBR, Jakarta- LSM lingkungan Walhi Sumatera Selatan menduga ada pelanggaran etik hakim dalam putusan gugatan sebesar hampir Rp 8 triliun yang diajukan pemerintah kepada PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) dalam kasus kebakaran hutan dan lahan 2014 lalu. 

“Diduga ada memang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Kami sedang diskusikan dengan kawan-kawan yang sering melakukan pemantauan. Dugaan itu belum bisa kita sebutkan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, Kamis (31/12/2015).

Saat ini, Hadi mengaku tengah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran dalam persidangan perdata yang diputus kemarin, Rabu (30/12/2015) agar bisa segera disampaikan ke penegak hukum. “Kita juga ingin tidak hanya Komisi Yudisial, tetapi juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendalami dugaan-dugaan ini," jelasnya.

Sebelumnya, saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup, Bambang Hero menilai Pengadilan Negeri Palembang telah mengabaikan 3 hakim lingkungan ketika menyidang kasus pengabaian kebakaran hutan dan lahan PT. BMH. Padahal di Sumatera Selatan ada tiga hakim bersertifikasi lingkungan yang bisa diundang PN Palembang. Hal ini sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup Pasal 5 yang menyatakan Perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup.


Namun, Mahkamah Agung menegaskan tidak ada kejanggalan dalam putusan gugatan perdata pemerintah kepada PT. BMH, meski persidangan itu diputus Hakim yang tidak kantongi sertifikat lingkungan. Sebab menurut Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi, hal ini sudah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung. Dalam SEMA itu, ketua dan wakil ketua pengadilan senior dapat menangani perkara lingkungan.


Berbincang dalam program KBR Pagi, hari ini, Suhadi mengeluhkan anggaran yang minim untuk menugaskan hakim bersertifikat lingkungan ke Pengadilan Negeri Palembang. Hingga kini MA belum mempunyai anggaran untuk melakukan penugasan. Ke depan, kata dia, anggaran tersebut akan menjadi salah satu prioritas dalam penanganan perkara lingkungan di Indonesia.


“Kalau masalah penugasan dari pengadilan yang lain ke tempat perkara itu berada, itu menyangkut anggaran atau biaya. Karena anggaran mengenai penugasan belum kita punyai," ujarnya.  


Sementara itu, Komisi Yudisial mempersilakan Kementerian LHK serta masyarakat mengajukan permohonan pengawasan dan penyelidikan sidang gugatan perdata pemerintah terhadap PT. BMH. 

"Para pihak dapat meminta KY untuk melakukan pemantauan dan dipastikan KY akan menurunkan tim untuk memantau persidangan dan atau pengadilan,” kata Anggota KY, Farid Wajdi. Namun dia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengajukan permohonan itu sejak awal gugatan ini disidangkan.

Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani menyatakan belum perlu melapor ke Komisi Yudisial terkait kemungkinan adanya pelanggaran etika yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Apalagi, menurut Rasio, KY di daerah juga turut hadir dalam sidang gugatan kemarin.


“Kami hanya berpatokan pada gugatan kami. Tentu ada pihak lain yang punya otoritas untuk menilai apakah ada pelanggaran etik atau tidak. (Apa KLHK menganggap perlu?) Nanti kita pertimbangkan, mereka sudah melihat langsung dalam proses persidangan, tentu mereka tau apakah ada pelanggaran etika atau tidak dalam pengambilan keputusan ini,” kata Rasio.


Sementara terkait banding, menurut Rasio Ridho Sani, KLHK akan mengajukan secepatnya setelah menerima salinan putusan dari PN Palembang. Kata dia, KLHK akan menguatkan bukti-bukti kerugian ekologis saat banding mendatang.


Sebelumnya, Majelis hakim yang terdiri dari Parlas Nababan sebagai Ketua dan Kartidjo, Eli Warti sebagai anggota menolak gugatan perdata pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas PT BMH sebesar hampir Rp 8 triliun (kerugian LH Rp 2,69 triliun dan biaya pemulihan LH Rp 5,29 triliun). PT BMH digugat karena dianggap tidak serius dan lalai dalam mengelola izin yang diberikan, sehingga terjadi kebakaran yang berulang, yaitu pada tahun 2014 dan 2015 di lokasi yang sama yang meliputi luas sekitar 20.000 Ha.

Pakar Kehutanan IPB Bambang Hero menyayangkan putusan tersebut. Ini lantaran butuh waktu ratusan tahun untuk mengembalikan lahan gambut. 

“Orang awam pun tahu. Gambut itu tidak bisa kembali lagi setelah terbakar. Hasil itungan kita kemarin, gambut setebal 10-15 cm itu hilang. Siapa yang mau menggantikan itu? Karena proses untuk mendapatkan itu perlu waktu ratusan tahun,” kata dia.

Itu sebab, menurut Bambang, pertimbangan hakim yang menolak gugatan KLHK dengan alasan tidak ada kerusakan lingkungan karena dapat ditanami kembali adalah keliru. Disamping itu dia ragu pihak-pihak terkait akan memiliki komitmen yang kuat mengembalikan lahan gambut seperti semula.


Bambang Hero menambahkan yang mungkin dapat dilakukan adalah melakukan pemulihan terhadap lahan gambut yang terbakar. Namun, pemulihan tersebut juga membutuhkan biaya yang besar. Karena itu, besaran gugatan KLHK sebesar Rp 7,9 triliun kepada PT BMH dinilai sudah tepat, meski akhirnya kalah. Dalam proses ini, KLHK memutuskan banding.

Editor:  Damar Fery Ardiyan/Malika

  • PT BMH
  • KLHK
  • Karhutla
  • Ogan Ilir
  • PN Palembang
  • Rasio Ridho Sani
  • gugatan KLHK atas PT BMH

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!