BERITA

Kematian COVID-19 Tinggi di RI, Ini Masukan WHO

""Testing dan tracing itu kunci menurunkan angka kematian. Kalau semua dites, tidak under-test, jumlahnya cukup merepresentasikan populasi maka banyak orang sakit yang sudah ketahuan di hulu.""

Astri Septiani, Muthia Kusuma

Kematian COVID-19 Tinggi di RI, Ini Masukan WHO
Petugas mengangkat peti jenazah di pemakaman khusus COVID-19 di Macanda, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (27/7/2021). (Foto: ANTARA/Abriawan Abhe)

KBR, Jakarta - Tingginya angka kematian akibat tertular COVID-19 di Indonesia dinilai karena banyak pasien terlambat terdeteksi dan terlambat mendapat layanan kesehatan.

Penasihat Senior untuk Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia WHO, Diah Satyani Saminarsih mengatakan upaya yang harus dilakukan untuk menurunkan angka kematian adalah dengan memperbanyak testing dan tracing atau pengetesan dan pelacakan.

"Sebenarnya testing dan tracing itu kunci menurunkan angka kematian. Kalau semua dites, tidak under-test atau kurang tes, jumlahnya cukup merepresentasikan populasi maka banyak orang sakit yang sudah ketahuan di hulu. Jadi bisa segera ditolong, diawasi di shelter, dirujuk ke layanan kesehatan," kata Diah kepada KBR(28/7/2021).

Beberapa hari lalu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengakui upaya tracing di Indonesia masih jauh dari standar WHO yang rasionya 1 banding 30. Dalam artian, setiap 1 orang terkonfirmasi positif, maka harus dilakukan pelacakan kepada 30 orang yang kontak erat. Menurut Hadi, di Indonesia saat ini baru melaksanakan tracing dengan rasio 1 banding 1.

Jumlah angka kematian di Indonesia masih cukup tinggi dan beberapa kali memecahkan rekor jumlah harian. Pada 27 Juli 2021, kasus kematian mencatat rekor dengan penambahan sebanyak 2.069 pasien Covid-19 yang meninggal dalam sehari.

Kontraproduktif

Sementara itu, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyoroti kebijakan pelonggaran pada saat perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 hingga 2 Agustus 2021.

Ketua Umum IAKMI Ede Surya Darmawan menilai, kebijakan pelonggaran tersebut kontraproduktif dengan tingginya angka kematian dan kasus positif di Indonesia.

Ede mengatakan pemerintah seharusnya membatasi kerumunan dan memperketat pengawasan agar masyarakat tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan Covid-19.

"Yang sangat-sangat kita harapkan adalah pemerintah itu menguatkan tracing. Penemuan kasus itu mesti sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya. Bila perlu kalau sekarang kita punya 500 ribu kasus aktif, setidaknya testing setiap hari 500.000 juga. Dengan demikian jika itu dilakukan dengan baik, kasus itu sedini mungkin dapat dicegah, didapatkan sehingga orang bisa isolasi baik mandiri maupun di wisma. Tidak merepotkan karena harus masuk ke fasilitas kesehatan," ucap Ede saat dihubungi KBR, Senin, (26/7/2021).

Ede Surya Darmawan menambahkan, penyebab tingginya kematian di Indonesia diantaranya adalah tingginya kasus Covid-19, terlambatnya penanganan dan perawatan bagi pasien Covid-19 oleh layanan kesehatan, pasien komorbid hingga pasien Covid-19 yang isolasi mandiri dengan tidak layak.

Dia juga meminta pemerintah mengklasifikasi faktor kematian pasien Covid-19. Misalnya, jumlah pasien meninggal yang sudah divaksin, kasus meninggal pada pasien komorbid, klasifikasi usia hingga akibat kurang maksimalnya perawatan akibat kehabisan stok obat maupun oksigen.

Klasifikasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar kebijakan penanganan Covid-19 serta penelitian terkait Covid-19.

Lebih jauh Ede berpandangan bahwa dengan kondisi kematian di Indonesia yang tinggi bahkan berada di puncak kematian global, maka pemerintah seharusnya belum dapat melonggarkan pembatasan mobilitas dan kegiatan masyarakat.

Jika dalam kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 ada pelonggaran maka pemerintah harus menjamin kepatuhan terkait protokol kesehatan Covid-19.

"Warteg boleh atau restoran boleh 20 persen. Kemudian boleh makan di tempat selama 20 menit, itupun benar-benar disiplin. Setiap meja dikasih (jam) weker. Begitu tersaji di meja, dia hanya boleh 20 menit. Tapi 20 menit itu harus betul-betul jelas, jangan sampai nunggunya setengah jam, makannya 20 menit. Idealnya makannya cepet semua," ungkapnya.

Ede pun mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan peraturan makan di tempat maksimal 20 menit sebagai aturan di PPKM level 4. Dia menilai hal itu tidak logis.

Ede beralasan, varian virus asal Wuhan, sudah bisa tersebar di dalam ruangan dalam waktu 15 menit. Apalagi varian virus korona lainnya yang dianggap lebih cepat menular.

"Varian Delta tidak menunggu 20 menit. Satu menit bareng-bareng ketika banyak orang tidak pakai masker dengan ruangan AC atau kipas angin, itu bisa saling menularkan. Jadi sebenarnya kebijakan itu dasarnya itu untuk mencegah penularan, bukan alasan lain," imbuhnya.

Editor: Agus Luqman

  • Covid-19
  • pandemi
  • WHO
  • PPKM Darurat
  • ppkm mikro
  • PSBB
  • vaksinasi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!