HEADLINE

[Wawancara] Penyelesaian Tragedi 65, Kenapa Harus Lewat Simposium?

""Karena tragedi 65 adalah pelanggaran HAM berat yang memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan proses non-yudisial, yaitu dengan rekonsiliasi.""

KBR

[Wawancara] Penyelesaian Tragedi 65, Kenapa Harus Lewat Simposium?
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 65/66, Agus Widjojo. (Foto: Kemlu.go.id)

KBR, Jakarta - Simposium tragedi 1965/1966 bentukan pemerintah menuai polemik. Salah satunya dari Kontras. Lembaga tersebut menilai, kegiatan yang disokong Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Kemananan itu hanya sebagai formalitas untuk memuluskan mekanisme penyelesaian non-yudisial dengan cara rekonsiliasi.

Jurnalis KBR, Damar Fery Ardiyan, Ika Manan, dan Quinawaty Pasaribu menemui Ketua Panitia Pengarah Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965," Agus Widjojo di kantornya di Jakarta, Kamis (14/4). Ia mengklaim, kegiatan ini adalah kali pertama pelaku dan korban dipertemukan. Tapi mengapa penggagas memilih jalur simposium? Kenapa hanya tragedi 65 yang dibahas di antara tujuh kasus prioritas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya? Berikut potongan wawancara dengan Agus Widjojo.

Kenapa penyelesaian tragedi 65 harus lewat simposium?

Saya baru terlibat baru-baru ini. Dengan Menkopolkam sebelumnya tidak, saya sebelumnya tidak berhubungan dengan Pak Tedjo (Bekas Menkopolkam--Red). Kami sebetulnya sudah berkecimpung lama mempersatukan generasi kedua dan ketiga dari keluarga yang terlibat konflik dalam wadah Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Memang lebih bersifat silaturahmi, karena tak mudah untuk ditarik ke tingkatan rekonsiliasi. Tapi bahwa kami berkecimpung dengan korban dan peristiwa 65/66 serta proses pencarian solusi, ini sudah lama.

Belakangan kemudian pemerintah ditagih janjinya soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Muncul kemudian penyelesaian non-yudisial, rumor permintaan maaf. Di sini menunjukkan tanda bahwa ada kebutuhan dari pemerintah untuk mencari bentuk penyelesaian HAM masa lalu.

Nah, kebetulan saya dekat dengan Pak Luhut karena berasal dari satu kelas Magelang. Kemudian, saya tanya bagaimana rencana konkret konsep pemerintah soal penyelesaian ini? Kalau kami kan sudah punya passion dan obsesi yang didasarkan pada konsep rekonsiliasi. Maka kami dipanggil Pak Luhut, dan di situ kami berbincang dan diskusi. Kemudian kami diberi kesempatan membikin simposium nasional, dengan tenggat sebelum 02 Mei. Jadi harus selesai sebelum itu, waktu tak banyak.

Kenapa harus 2 Mei?

Saya tidak tahu kenapa tenggatnya itu. Saya hanya mengikuti pemerintah. Yang jelas tanggal itu pemerintah harus selesai membahas acuan dari Komnas HAM tentang bedah 7 kasus pelanggaran HAM. Tapi saya tidak mengikuti soal ini.

Dengan waktu terbatas, saya kumpulkan yang memiliki pemikiran sejalan.

Mengapa yang diselesaikan hanya tragedi 65/66?

Karena tragedi 65 adalah pelanggaran HAM berat yang memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan proses non-yudisial, yaitu dengan rekonsiliasi. Pertama, karena sudah 50 tahun, pelakunya banyak yang meninggal, barang bukti banyak yang sulit didapat. Untuk kasus pelanggaran HAM berat sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM ad-hoc maka bisa diselesaikan dengan rekonsiliasi.

Kami tidak melihat kasus (pelanggaran HAM berat lainnya) lainnya, karena harus dikaji lebih lanjut dulu. Tapi 65 ini memenuhi syarat. Bukan hanya memenuhi syarat, tapi kok kelihatannya sudah kecil kemungkinan atau bahkan tak mungkin diselesaikan dengan pengadilan.

Anda pertama kali dilibatkan di rencana simposium ini di titik mana?

Ketika saya diundang hadir oleh Pak Luhut bersama Menkumham dan Komnas HAM. Kira-kira sebulan yang lalu.

Usul simposium itu dari Anda atau dari Pak Luhut?

Saya menawarkan, bisa tidak kami diberi kesempatan menyelenggarakan sebuah--tadinya saya pakai istilah seminar nasional--tentang rekonsiliasi. Belum tentu berhasil, tetapi paling tidak ini bisa memberikan gambaran ke pemerintah sampai sejauh mana masyarakat ini siap. Sejauh mana masyarakat siap menerima penyelesaian dengan model seperti ini.

Dalam pertemuan Anda dengan Pak Luhut, Yasonna dan Komnas HAM, apakah Pak Luhut langsung menyetujui?

Ya, iya.

Begitu juga dengan Komnas HAM?

Ya, Komnas HAM kan masuk dalam panitia. Dan, mereka punya komitmen tinggi.


Agus Widjojo, Penggagas Simposium Tragedi 65

Agus Widjojo, adalah purnawirawan perwira tinggi Angkatan Darat. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah ini mengakhiri jabatan militernya sebagai Kepala Staf Teritorial TNI. Ia juga tercatat pernah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR mewakili fraksi militer dan kepolisian.

Lulusan Akademi Militer tahun 1970 ini satu angkatan dengan dua bekas KSAD, Subagyo Hadi Siswoyo dan Tyasno Sudarto. Ayahnya, adalah salah satu pahlawan revolusi, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo. Sutoyo mati pada peristiwa G30S.

"Ayah saya kan mati di lubang buaya, tak ada yang bisa menghidupkan ayah saya lagi. Saya juga tak persoalkan matanya dicungkil atau tidak. Tapi ketika diangkat jenazah ada lubang peluru. Ketika yang lain diangkat jenazahnya ada tusukan, cukup buat saya itu pembunuhan," katanya kepada KBR.

Agus kini berkecimpung di Centre for Strategic and International Studies dan menulis berbagai artikel tentang isu-isu keamanan di wilayah Asia-Pasifik. Dia telah menulis buku Transformasi TNI Dari Pejuang Kemerdekaan Menuju Tentara Profesional dalam Demokrasi: Pergulatan TNI Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri.

  • Agus Widjojo
  • simposium tragedi 65
  • luhut binsar pandjaitan
  • rekonsiliasi
  • nonyudisial

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!