HEADLINE

PBNU dan Yayasan Mustafa Prize Iran Jalin MoU di Bidang Sains Teknologi

PBNU dan Yayasan Mustafa Prize Iran Jalin MoU di Bidang Sains Teknologi

KBR, Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjalin nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Yayasan Mustafa Prize dari Iran.

Mustafa Prize merupakan penghargaan prestisius di bidang sains dan teknologi, dan disebut sebagai 'Hadiah Nobel' versi dunia Islam.

MoU itu untuk mempromosikan kerjasama di bidang kebudayaan, sains dan teknologi untuk pengembangan dunia Islam khususnya di Indonesia. MoU berlangsung selama lima tahun dan ada kemungkinan diperpanjang.

Informasi yang dilansir kantor berita Iran Mehr News Agency (MNA) menyebutkan MoU ditandatangani Presiden Eksekutif Mustafa Prize, Seyed Ali Omrani dan salah satu Ketua PBNU Iqbal Sulam dalam pertemuan di Teheran, Iran. Penandatangan inisiatif kerjasama dilakukan awal Desember 2017 lalu.

Kerjasama ini menandai awal keterlibatan Mustafa Prize di Indonesia, di bidang kerjasama pengembangan sains dan teknologi untuk masyarakat Indonesia, khususnya warga NU (Nahdliyin). 

Kantor berita MNA menyebutkan kerjasama itu juga dimaksudkan untuk memulai pertukaran pengalaman dan menarik dukungan publik dalam mencari dukungan keuangan serta partisipasi aktif di bidang aktivitas sains dan teknologi.

Untuk mencapai tujuan itu, Yayasan Mustafa Prize dengan PBNU akan memformulasikan basis sains dan teknologi di Indonesia, dukungan finansial, pengembangan jaringan hingga bantuan sumber daya manusia dan sains. 

Ketika dihubungi KBR, Ketua PBNU Iqbal Sulam mengatakan kerjasama itu tidak ada hubungannya dengan masalah ideologi, politik, atau agama. 

"Ini murni untuk urusan sains dan teknologi. Jangan kerjasama ini dikotori dengan pertentangan soal agama soal akidah. Ini murni lintas pemikiran dalam agama," kata Iqbal Sulam kepada KBR, Senin (1/1/2018).

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/terkini/05-2017/jokowi_geregetan__bangsa_indonesia_lebih_banyak_tersandera_aktivitas_tak_produktif/90248.html">Jokowi Geregetan: Bangsa Indonesia Lebih Banyak Tersandera Aktivitas Tak Produktif</a>&nbsp;&nbsp; &nbsp;</b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/internasional/09-2016/_universitas_oxford_terbaik_dunia__itb_ui_di_peringkat_800_an/85252.html">Universitas Oxford Terbaik Dunia, ITB-UI di Peringkat 800-an</a>&nbsp;&nbsp; &nbsp; &nbsp;</b><br>
    

Umat Islam ketinggalan

Salah satu yang melatar belakangi kerjasama PBNU dengan Mustafa Prize, kata Iqbal Sulam, adalah fakta bahwa umat Islam di Indonesia ketinggalan di bidang sains dan teknologi.

"Selama ini kita ketinggalan di bidang sains dan teknologi. Mengapa ketinggalan, karena kita malas berpikir. Dulu saat Iran diembargo dunia Barat, ternyata kemajuan ilmu dan teknologinya pesat, melebihi pada saat mereka tidak diembargo. Jadi ketika diembargo, Iran secara tidak langsung dipaksa untuk mengembangkan sains dan teknologi," kata Iqbal Sulam kepada KBR, Senin (1/1/2018).

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Iran termasuk paling cepat di dunia. Iran melakukan banyak lompatan di berbagai sektor sains, termasuk di bidang kedirgantaraan, sains nuklir, medis, hingga riset stem cell dan kloning.

Karena itu, kata Iqbal, umat Islam tidak boleh malas berpikir dan hanya puas membeli teknologi orang lain. 

"Yang mempunyai keuntungan besar itu adalah yang menguasai ilmu dan teknologi. Kalau kita jual besi, barang mentah ke luar negeri, ke Eropa, paling kita jual murah. Tapi setelah besi itu kembali ke kita dalam bentuk produk seperti mobil, pesawat terbang, berapa kali lipat harganya? Dengan pengalaman Iran seperti itu, kita ingin berbagi pengalaman bersama-sama," kata Iqbal.

Iqbal mengatakan sebetulnya Indonesia memiliki keunggulan seperti keberadaan sosok Baharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie), salah satu ahli aerodinamika dan ahli dirgantara Indonesia. 

"Dulu Pak Habibie pernah mengirim 3.500 insinyur untuk belajar teknologi penerbangan ke luar negeri, tapi upaya itu dihentikan oleh IMF, ketika krisis moneter 1998. IMF melarang kita masuk ke teknologi dirgantara," tambah Iqbal.

Iqbal Sulam mengatakan kerjasama PBNU dengan Mustafa Prize itu bukan kerjasama satu-satunya dari Indonesia. Sebelumnya, Kementerian Riset dan Teknologi juga sudah menjalin kerjasama dengan Mustafa Prize untuk riset dan teknologi.

"Kalau Menristek Dikti itu kerjasama sebagai pemerintah, sedangkan kami ini sebagai kalangan umat juga harus ikut membangun teknologi. Banyak anak-anak pesantren yang juga punya kecerdasan luar biasa, menonjol. Kenapa kita tidak membina dan mengembangkan mereka? Bayangkan, Turki, Iran Pakistan, Korea Utara itu kuat di sains dan teknologi. Siapa yang punya teknologi tidak akan mudah diacak-acak," tambah Iqbal.

Iqbal berharap kerjasama ini bisa menggugah semangat umat di Indonesia untuk bangkit di bidang sains dan teknologi, termasuk misalnya mendapat penghargaan 'Mustafa Prize' maupun penghargaan-penghargaan sains terapan lainnya.

"Hal-hal seperti itu akan menggugah kita untuk bangkit di bidang sains dan teknologi," tambah Iqbal Sulam.

Iqbal meminta masyarakat tidak menafsirkan atau menanggapi secara negatif kerjasama PBNU dengan Yayasan Mustafa Prize di Iran. 

"Kalau orang berpikir ini kerjasama di bidang akidah atau ideologi, itu salah besar. Tidak ada hubungannya. Apa kita kerjasama dengan Amerika Serikat itu berarti kita jadi Kristen? Apa kalau kita kerjasama dengan Jepang berarti kita jadi Shinto? Kan tidak. Jangan diarahkan berpikir begitu. Ingat, Indonesia adalah pasar besar. 

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/nasional/04-2015/jokowi_akan_perbesar_dana_riset_kedirgantaraan/69789.html">Jokowi Akan Perbesar Dana Riset Kedirgantaraan</a>&nbsp;&nbsp;</b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/10-2013/ilham_habibie__saya_tidak_mau_dapat_banyak_uang_dengan_kerja_di_luar_negeri/34255.html">Ilham Habibie: Saya Tidak Mau Dapat Banyak Uang dengan Kerja di Luar Negeri</a>&nbsp;&nbsp;</b><br>
    

Yayasan Mustafa Prize

Yayasan Mustafa Prize memberikan penghargaan secara rutin setiap dua tahun sekali kepada para ilmuwan dan peneliti terbaik di kalangan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI/dahulu bernama Organisasi Konferensi Islam). OKI terdiri dari 57 negara.

Penghargaan 'Mustafa Prize' terdiri dari empat kategori, meliputi Sains Medis dan Kehidupan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Teknologi Nano Sains serta kategori pencapaian sains di bidang lain.

Peraih Mustafa Prize berhak memperoleh dana riset sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp6,7 miliar), untuk pengembangan riset.

Nama Mustafa (artinya 'Yang Terpilih') diambil dari salah satu nama dari julukan yang disandang Nabi besar Muhammad SAW.

Editor: Agus Luqman 

  • PBNU
  • sains dan teknologi
  • perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
  • teknologi terapan
  • perkembangan sains
  • pengembangan sains
  • riset ilmiah
  • riset teknologi
  • Iran
  • Mustafa Prize

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!