EDITORIAL

Membedah Tragedi 1965

"Mempertemukan pelaku dan korban adalah hal yang baru kali ini terjadi."

KBR

Simposium Tragedi 1965-1966. (Foto: KBR/Nurika)
Simposium Tragedi 1965-1966. (Foto: KBR/Nurika)

“Di mana hukum? Di mana Pancasila?”


Begitu tanya Nadiani, salah satu korban 65 dari Sumatera Barat. Kekesalan itu terungkap ketika harus tidur beralas karpet di kantor LBH Jakarta, Jumat lalu, setelah pertemuan korban 65-66 di Cipanas, Jawa Barat, dibubarkan oleh kelompok intoleran.


“Saya tidak bersalah. Kalau saya bersalah, tentu saya takut.”


Ini seperti mewakili pikiran korban 65-66 yang akan hadir di Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965” yang digelar di Jakarta mulai hari ini. Ketua panitia pengarah symposium Agus Widjojo dalam wawancara dengan KBR menyebut, ini adalah kali pertama pelaku dan korban bertemu dalam satu ruangan. Bahwa ini adalah ajang silaturahmi, sekaligus proses mencari solusi. Menurut Agus, tragedi 65 termasuk pelanggaran HAM berat yang memenuhi syarat untuk diselesaikan lewat proses non-yudisial, yaitu rekonsiliasi. Sebab sudah lebih dari setengah abad, pelaku banyak yang sudah meninggal sementara barang bukti sulit didapat.


Untuk itu sebetulnya tak perlu mencari jauh-jauh. Komnas HAM sudah menyatakan, terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965/1966. Ada 500 ribu sampai 3 juta orang yang dibunuh secara massal, ratusan orang dipenjara dan 12 ribuan orang dibuang ke Pulau Buru. Salah satu desakan Komnas HAM saat itu adalah supaya pejabat militer yang terlibat dibawa ke pengadilan. Laporan sudah disampaikan sejak 2012 kepada Jaksa Agung.


Mempertemukan pelaku dan korban adalah hal yang baru kali ini terjadi. Tapi jangan sampai itu mengesampingkan apa yang menjadi hak bagi para korban: pemulihan nama baik. Sudah lebih setengah abad mereka meminta itu. Demi mereka, kita mesti pastikan bahwa hukum berjalan dan Pancasila ada.  

  • simposium tragedi 1965

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!