BERITA

Tolak Penambangan di Pulau Romang, Kontras Temukan Dugaan Pembunuhan Warga

""Saya berharap ada pengusutan terhadap pembunuhan George Pookey. Karena keluarga amat sangat terpukul karena kehilangan anaknya.""

Dian Kurniati

Tolak Penambangan di Pulau Romang, Kontras Temukan Dugaan Pembunuhan  Warga
Ilustrasi (sumber: Komunal Stensil)


KBR, Jakarta- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan dugaan pembunuhan   oleh  perusahaan pertambangan emas di Pulau Romang terhadap seorang warga bernama George Pookey. Staf Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial Budaya Kontras, Rivanlee Anandar mengatakan, pembunuhan yang terjadi pada 2013 itu diduga dilatarbelakangi penolakan George terhadap aktivitas pertambangan di kampungnya.

Kata Rivanlee, saat ditemukan, mayat George juga ditemukan keganjilan.

"Saya berharap ada pengusutan terhadap pembunuhan George Pookey. Karena keluarga amat sangat terpukul karena kehilangan anaknya. Sampai sekarang belum diusut. Itu menolak semua, menolak tambang. Dan diduga diracun. Yang pasti ada dugaan pembunuhan. Cuma, adiknya sekarang ini gila. Orang kasarnya menyebut gila. Dia ditemukan di tepi laut, di atas karang," kata Rivanlee di Anomali Coffee, Jumat (09/12/16).


Rivanlee mengatakan, awalnya George menghilang selama sekitar sepekan. Kata dia, bukan hal aneh saat warga Pulau Romang menghilang, karena kelurga akan mengiranya pergi melaut atau menginap di desa tetangga. Namun, kemudian mayat George ditemukan di atas karang dalam kondisi kepalanya sudah tinggal kerangka. Padahal, kata dia, kondisi tubuhnya masih utuh.


Rivanlee berujar, hingga sekarang kematian George belum pernah dilaporkan ke Kepolisian karena sulitnya akses ke kantor polisi yang berada di wilayah lain. Kini, kata Rivanlee, selang tiga tahun setelah kematian George, Kontras bersama organisasi swadaya masyarakat lainnya, ingin mencoba mengusut kasus tersebut.


Kejanggalan

Kontras menemukan beberapa kejanggalan, mulai dari aspek lingkungan hingga sosial kemasyarakatan, dalam aktivitas pertambangan emas di Pulau Romang, Maluku Barat Daya. Staf Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial Budaya Kontras, Rivanlee Anandar mengatakan, selain kerusakan lingkungan, masyarakat di pulau itu kini juga terpecah antara yang pro dan kontra pada aktivitas pertambangan.

"Ternyata saya menemukan banyak kejanggalan, mulai dari dampak lingkungan sampai dampak sosial kemasyarakatan. Di Pulau Romang, isinya masyatakat adat. Mereka punya mekanisme sendiri untuk membagikan tanah, berdasarkan peraturan adat. Tetapi karena keberpihakan, karena kemunculan perusahaan, hingga munculnya disparitas pro dan kontra tambang, maka munculah sengketa itu, Mereka rebutan tanah untuk dibeli perusahaan," kata Rivanlee di Anomali Coffee, Jumat (09/12/16).


Rivanlee mengatakan, konflik antar masyarakat terasa antara kelompok yang mendukung dan menentang aktivitas pertambangan. Kata Revanlee, sekitar 90 persen masyarakat di pulau itu menolak pertambangan. Sementara itu, sisanya mendukung pertambangan karena mendapat uang dari perusahaan bagi kepala desa, atau menjadi pekerja. Kata Revanlee, masyarakat di ketiga desa di Pulau Romang juga terjadi konflik memperebutkan tanah, yang bagi sebagian warga akan dijual pada perusahaan. Padahal, masyarakat pulau itu memiliki tradisi pembagian tanah berdasarkan aturan adat.


Adapun dampak lingkungannya, kata Rivanlee, tambang emas itu telah membuat debit air berkurangnya dan air yang dihasilkan pun keruh. Saat Kontras mendatangi mata air di gunung, keberadannya kini sudah kering dan debitnya berkurang. Selain itu, tambang emas juga merusak tanaman rumput laut yang sebelumnya berada di sepanjang bibir pantai, merusak tanaman cengkih dan pala akibat uap panas yang dihasilkan aktivitas pengeboran, serta menekan hasil madu hutan hingga menjadi seperlima karena lebah terganggu dengan suara bising pengeboran.


Selain temuan itu, kata Rivanlee, Kontras juga menemukan pelanggaran eksplorasi emas berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 25 tahun 2012 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Misalnya, jarak antarbor yang kurang ketentuan minimal 40 meter dan diameter lubang mata bor yang melebihi 5 centimeter. Adapula tindak kesewenang-wenangan oleh   keamanan perusahaan yang menjaga kawasan itu.

Kata Revanlee, perusahaan itu dibekingi oleh Kepolisian dan TNI melalui Babinsa. Kata dia, ada banyak kesaksian warga yang merasa diintimidasi, dipukul, hingga dugaan pembunuhan.

Sejak 2006, terdapat aktivitas pertambangan emas di Pulau Romang oleh PT Gemala Borneo Utama, yang merupakan anak usaha PT. Robust Resources yang berasal dari Australia. Perusahaan itu mendapat izin eksploitasi seluas 25 ribu hektare dari pulau seluas 175 kilometer persegi. Perusahaan mulai mengeksplorasi pasca surat rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada 2008 oleh Bupati Bitzael S. Temmar. Perusahaan juga kembali mendapat rekomendasi pada 2009 oleh Bupati Jacob Patty.


 


Editor: Rony Sitanggang

  • pertambangan emas di Pulau Romang oleh PT Gemala Borneo Utama
  • Bupati Bitzael S. Temmar
  • Staf Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial Budaya Kontras
  • Rivanlee Anandar

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!