ASIACALLING

Kenangan Rohingya: Warga Hingga Tentara Jadi Pengungsi Tanpa Kewarganegaraan

Orang Rohingya di negara bagian Rakhine. (Foto: Foreign and Commonwealth Office)

Sudah setahun lebih penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menjadi pemimpin de facto Myanmar.

Dia berhasil duduk di tampuk pemerintahan karena kepopulerannya. Ketika itu dia berjanji akan menyelesaikan konflik internal yang telah melanda negara itu selama beberapa dekade.

Tapi kekerasan terus berkecamuk, terutama di negara bagian utara Rakhine, tempat tinggal minoritas Muslim Rohingya.

Pada Oktober tahun lalu, pasukan keamanan Myanmar diduga menewaskan 600 orang Rohingya dan memaksa lebih dari 40 ribu orang meninggalkan rumah mereka di Rakhine. Inilah bab terbaru dalam kisah penderitaan yang membentang selama beberapa dekade.

Koresponden Asia Calling KBR, Kannikar Petchkaew, menelusuri kisah orang Rohingya ini. Mulai saat masih punya kewarganegaan hingga menjadi pengungsi tanpa kewarganegaraan seumur hidup mereka.

“Nama saya U Ba Seng, lahir di kota Buthidaung di negara bagian Arakan Burma pada 1952.”

“Nama saya Daw Kin Lah dan saya orang Rohingya. Saya lahir di kota Buthidaung di negara bagian Arakan Burma pada 1963.”

Bagi U Ba Seng dan Daw Kin Lah, Myanmar adalah rumah mereka. Keluarga mereka sudah tinggal di negara bagian utara Myanmar, Rakhine atau dulu dikenal sebagai Arakan, selama beberapa generasi. Mereka melahirkan, bermain, bekerja, menikah dan meninggal di sana.

U Ba Seng bercerita kalau ayahnya dulu bekerja sebagai pegawai negeri dan dia sendiri bekerja di Kementerian Pertanian di kota kelahirannya sampai tahun 1991.

Tapi pemerintah Myanmar menganggap mereka imigran ilegal. U Ba Seng dan Daw Kin Lah adalah orang Rohingya - minoritas Muslim di negara yang mayoritas pemeluk Buddha.

“Orangtua saya dilahirkan dan dikuburkan di Arakan. Kakek nenek saya juga lahir di sana,” ujar Daw Kin Lah. “Mereka hidup dan bekerja di masa penjajahan Inggris dan setelah Burma merdeka tahun 1948.” 

Banyak orang Rohingya di Myanmar atau Burma berasal dari negara tetangga Bangladesh dan India semasa penjajahan Inggris. Tapi koneksi kelompok itu dengan Myanmar sudah berlangsung berabad-abad.

Sejak merdeka pada 1948, minoritas Muslim telah menghadapi konflik berkepanjangan di negara itu. Pada 1949, kakek Daw Kin Lah khawatir dengan masa depan mereka di negara baru itu. Jadi dia menulis surat kepada Menteri Kehakiman untuk meminta konfirmasi soal kewarganegaraan mereka dan negara kata kakeknya menjamin kewarganegaraan orang Rohingya. 

Tapi janji itu tidak dihormati. Saat masih kanak-kanak Daw Kin Lah ingat warisan kebanggaan keluarganya dihancurkan. Ayahnya kata Daw Kin Lah adalah anggota polisi. Dia berkisah pada 1962 ketika mendiang diktator Ne Win menyita semua properti masyarakat, mereka tidak menyisakan harta ayah sedikit pun. “Saya tidak bisa menahan air mata melihat kemarahan ayah meski saat itu saya masih kecil,” kenangnya.

Dan itu baru permulaan. U Ba Seng ingat bagaimana gelombang baru kekerasan terhadap keluarganya mulai datang. Saat dia berusia 26 tahun, operasi militer dilancarkan terhadap pemberontak Rohingya yang berjuang melawan pemerintah. Tapi banyak yang percaya semua orang Rohingya jadi target.

U Ba Seng mengklaim dia bukan satu-satunya orang Rohingya yang menyaksikan operasi King Dragon pada 1978. “Ada banyak orang di berbagai kota dan desa melihat penyiksaan dan penangkapan selama operasi terbesar terhadap orang Rohingya itu,” ungkapnya.

Saat itu 250 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pada 1982, negara menghapus kewarganegaraan Burma bagi etnis Rohingya. Akibatnya lebih dari 800 ribu orang Rohingya di negara bagian Rakhine kehilangan kewarganegaraan.

“Saya melihat sendiri. Tim pemerintah lokal Burma dan Rakhine menyita KTP resmi dari siapa saja yang memilikinya. Mereka juga menangkap dan membawa siapa saja dengan tangan terborgol termasuk anak-anak yang belum punya KTP,” tambah U Ba Seng.

Daw Kin Lah dan U Ba Seng bekeluarga dan tinggal di Rakhine. Pada 1992, etnis Rohingya kembali dihantam gelombang kekerasan. Pemerintah memberlakukan pembatasan pergerakan, pendidikan dan pernikahan terhadap etnis ini. 

Daw Kin Lah melihat orang-orang melarikan diri dengan putus asa. “Saya sedang hamil saat itu. Dari jendela rumah, saya melihat orang-orang pergi mengungsi pada malam hari. Rumah-rumah mereka dibakar. Saya melihat langsung semuanya,” ujarnya.

Dan itu jadi pukulan terakhir bagi Daw Kin Lah. Dia mulai berpikir untuk meninggalkan negeri itu. “Karena saya bisa membayangkan situasi akan lebih buruk bagi para Muslim,” katanya.

Kembali ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri. Ini adalah awal dari satu dekade eksodus panjang hingga mereka tersebar di seluruh dunia. Daw Kin Lah dan U Ba Seng termasuk di dalamnya. Sekarang mereka tinggal di Inggris sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan.

Tapi ratusan ribu orang Rohingya lainnya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh dan Rakhine dalam kondisi yang menyedihkan.

Awal tahun 2017, tim investigasi HAM PBB menemukan hampir setengah dari pengungsi yang  tinggal di kamp-kamp Bangladesh melaporkan kehilangan anggota keluarga, hilang atau tewas.

Selain itu lebih dari setengah perempuan yang diwawancarai mengaku pernah diperkosa atau mengalami kekerasan seksual.

Pertemuan damai antara pemerintah dan kelompok minoritas Myanmar akan berlangsung Mei mendatang. Tujuannya mengakhiri enam dekade perang sipil. Tapi banyak yang tidak yakin kalau kisah panjang kekerasan ini bisa diakhiri.

Sementara itu keluarga-keluarga seperti keluarga Daw Kin Lah tetap tanpa kewarganegaraan dan hidup terpisah. “Pada 2002 semua keluarga kami bisa berkumpul di satu negara. Tapi sayangnya setelah tiga tahun kami harus berpisah lagi. Sekarang kami tinggal di tiga negara berbeda,” tuturnya.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Pengungsi Rohingya
  • Rohingya Rakhine
  • Myanmar
  • Pengungsi tanpa kewarganegaraan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!