Article Image

SAGA

Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 2)

"Melani Budianta melewati beragam krisis yang mendewasakan pemikirannya. Krisis 1998 membuatnya mempertanyakan kediriannya sebagai bagian dari etnis Tionghoa"

Bagi Melani Budianta, belajar sastra dan budaya adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan, membela mereka yang terpinggirkan. (Dok: Nafisa/ KBR)

KBR, Jakarta - Tan Tjiok Sien adalah nama Tionghoa Melani Budianta. Ia lahir dan besar di keluarga pro-asimilasi, yakni mendukung pembauran total etnis Tionghoa ke dalam budaya Indonesia. 

Ini adalah salah satu kebijakan di era Orde Baru, misalnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.  Segala ciri khas Tionghoa mesti ditanggalkan. 

Melani mendaku diri seorang nasionalis. Namun, keyakinannya ini ambyar seketika saat krisis 1998.

“Saat itu, sangat, sangat mengagetkan saya. Karena merasa diri saya sebagai seorang nasionalis, sangat patriotis. Tiba-tiba menyadari, jangan-jangan saya rasis? Karena Orde Baru membuat saya menolak kecinaan saya,” kenang Melani yang lahir di Malang, Jawa Timur pada 1954 ini. 

Tragedi 1998 menjadi momen pahit dan memilukan bagi kalangan etnis Tionghoa. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan.

Kala itu Melani berusia 44 tahun dengan segala kemapanan sebagai dosen Fakultas Sastra UI bergelar doktor. Zona nyamannya kembali diobrak-abrik. Ia terhenyak, di balik sosok diri yang nasionalis, ternyata terselip diri yang rasis.

”Saya dari kecil kalau ada orang ngomong Mandarin, merasa saya sendiri juga ikut memaki mereka. Kenapa kok harus ngomong Mandarin? Ini kan Indonesia. Di keluarga saya memang tidak ada yang bicara bahasa Mandarin karena sudah keturunan berapa gitu ya. Jadi ada rasisme kan di situ, peliyanan dan mengapa mereka tidak boleh punya hak untuk bahasanya?" kata anak kelima dari tujuh bersaudara ini.

Melani kemudian terpanggil untuk berbuat sesuatu. Ia masuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan, membantu pendataan korban dan pendampingan pendidikan.

"Teman-teman waktu itu bilang, 'Melani, kamu tulis dong sesuatu, kamu harus membela ini'. 'Kenapa kok saya? Karena kamu kan orang Tionghoa'. Saya nggak tahu harus bicara bagaimana karena selama ini saya selalu mengingkari ketionghoan saya. Waduh, itu krisis berat. Ternyata saya termasuk ke dalam konstruksi Orde Baru. Saya ikut bertanggungjawab terhadap semua yang terjadi di sini juga," ujarnya.

Baca juga: Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 2)

Suasana kerusuhan 1998. Etnis Tionghoa banyak menjadi korban sentimen anti-Cina. Rumah dan toko-toko dibakar, banyak perempuan TIonghoa yang diperkosa dan dibunuh. (Dok: Republika)

Saat mendampingi anak-anak, Melani mengedepankan dialog untuk mengikis sentimen ras yang meningkat. Memori tentang bocah Ahyar dari Tanah Abang, menjadi pengingat.

“Ras sebagai konstruksi sosial, kan nggak bisa ngomong begitu untuk anak-anak. Waktu itu (saya) bertanya, misalnya, 'buat kamu, orang yang paling menakutkan itu apa? mereka dengar dari media massa, itu kan takut ya. Jadi keluar stereotip-stereotip tentang yang tidak mereka kenal. Tapi ketika saya menanyakan temannya, dia bilang, "teman saya nggak begitu.'" tutur Melani.

Pergulatan berikutnya terjadi pada 2016 saat sentimen anti-LGBT menyeruak hebat. Kampus UI, tempatnya bekerja, menjadi sasaran kebencian karena dianggap mendukung LGBT. 

Melani menyebut dirinya mengalami semacam depresi mental, karena tak bisa bersuara.

“Heteronormativisme yang sangat meliyankan dan menganggap bahwa orang yang tidak heteronormatif itu penyakit, itu membahayakan. Saya tidak bisa membela, karena waktu itu sulit sekali bicara. Banyak mahasiswa yang terzalimi. Berat bagi saya untuk menghadapi, karena saya merasa munafik, (sebagai) dosen, guru besar, di universitasnya sendiri, dan saya juga menduduki posisi-posisi yang penting," jelasnya.

Di tengah ketidakberdayaan ini, Melani bertemu dengan Jaringan Kampung Nusantara. Di sana, ia bisa berinteraksi dengan sesama pegiat budaya dan keragaman. Asa pun kembali menyala.

“Saya merasa nyaman sekali. Sebagian besar tuh pegiat budaya yang betul-betul berbasis di akar rumput, di kampung-kampungnya sendiri-sendiri. Keragamannya luar biasa di situ. Mereka bergurau, tapi tidak saling merendahkan. Ada  transgender, ada yang sangat religius, tapi semuanya memahami posisi masing-masing dan bisa bekerja sama,” ucapnya.

Baca juga: Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis

Melani Budianta memberikan pidato saat menerima penghargaan Sarwono Award 2023, Rabu (23/8/2023). Melani mengangkat karya mendiang Marga T dalam pidatonya. (Dok: BRIN Indonesia)

Melani lantas memilih melanjutkan kerja-kerja yang pernah dirintisnya kala mahasiswa di Tanah Abang. Memperkenalkan sastra, membangun budaya, merawat keragaman dari kampung-kampung.

“Jadi bagaimana menguatkan persoalan keragaman, bukan sekedar toleransi ya, tapi ke kapasitas untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam. Itu harus dibangun dari bawah," kata Melani

Beragam krisis yang dialami Melani mematangkan kedirian dan keilmuannya. Hal ini juga terefleksi saat ia mengajar mahasiswa dari berbagai generasi. Melani selalu memotivasi anak didiknya untuk berani mengeksplorasi aneka jenis dan bentuk sastra.

"Jadi temukanlah, bacaan-bacaanmu sendiri. Jangan khawatir, ini bukan kanon, ini dianggap sepele, enggak! Mulai dari situ. Karena ketika Anda menyukai sesuatu, sebetulnya yang Anda temukan itu adalah dirimu. Anda menemukan sesuatu yang berproses dari diri Anda dengan bacaan itu. Nah, itulah yang nanti akan berkembang," tegas Melani.

Melani mencontohkan karya mendiang Marga T.

"Dulu Marga T dianggap sangat sepele. Itu bukan karya kanon, itu nggak ada isinya, itu cuma percintaan. Tapi sebetulnya ketika saya membaca cerpennya, itu bicara tentang bagaimana menghayati yang lain, orang yang berbeda, ada nuansa internalisasi bias kelas, ada macam-macam bisa digali dari situ," ujarnya.

Apresiasi Melani terhadap karya-karya Marga T diabadikan dalam pidatonya saat menerima Sarwono Award 2023.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati

KBR, Jakarta - Tan Tjiok Sien adalah nama Tionghoa Melani Budianta. Ia lahir dan besar di keluarga pro-asimilasi, yakni mendukung pembauran total etnis Tionghoa ke dalam budaya Indonesia. 

Ini adalah salah satu kebijakan di era Orde Baru, misalnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.  Segala ciri khas Tionghoa mesti ditanggalkan. 

Melani mendaku diri seorang nasionalis. Namun, keyakinannya ini ambyar seketika saat krisis 1998.

“Saat itu, sangat, sangat mengagetkan saya. Karena merasa diri saya sebagai seorang nasionalis, sangat patriotis. Tiba-tiba menyadari, jangan-jangan saya rasis? Karena Orde Baru membuat saya menolak kecinaan saya,” kenang Melani yang lahir di Malang, Jawa Timur pada 1954 ini. 

Tragedi 1998 menjadi momen pahit dan memilukan bagi kalangan etnis Tionghoa. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan.

Kala itu Melani berusia 44 tahun dengan segala kemapanan sebagai dosen Fakultas Sastra UI bergelar doktor. Zona nyamannya kembali diobrak-abrik. Ia terhenyak, di balik sosok diri yang nasionalis, ternyata terselip diri yang rasis.

”Saya dari kecil kalau ada orang ngomong Mandarin, merasa saya sendiri juga ikut memaki mereka. Kenapa kok harus ngomong Mandarin? Ini kan Indonesia. Di keluarga saya memang tidak ada yang bicara bahasa Mandarin karena sudah keturunan berapa gitu ya. Jadi ada rasisme kan di situ, peliyanan dan mengapa mereka tidak boleh punya hak untuk bahasanya?" kata anak kelima dari tujuh bersaudara ini.

Melani kemudian terpanggil untuk berbuat sesuatu. Ia masuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan, membantu pendataan korban dan pendampingan pendidikan.

"Teman-teman waktu itu bilang, 'Melani, kamu tulis dong sesuatu, kamu harus membela ini'. 'Kenapa kok saya? Karena kamu kan orang Tionghoa'. Saya nggak tahu harus bicara bagaimana karena selama ini saya selalu mengingkari ketionghoan saya. Waduh, itu krisis berat. Ternyata saya termasuk ke dalam konstruksi Orde Baru. Saya ikut bertanggungjawab terhadap semua yang terjadi di sini juga," ujarnya.

Baca juga: Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 1)

Suasana kerusuhan 1998. Etnis Tionghoa banyak menjadi korban sentimen anti-Cina. Rumah dan toko-toko dibakar, banyak perempuan TIonghoa yang diperkosa dan dibunuh. (Dok: Republika)

Saat mendampingi anak-anak, Melani mengedepankan dialog untuk mengikis sentimen ras yang meningkat. Memori tentang bocah Ahyar dari Tanah Abang, menjadi pengingat.

“Ras sebagai konstruksi sosial, kan nggak bisa ngomong begitu untuk anak-anak. Waktu itu (saya) bertanya, misalnya, 'buat kamu, orang yang paling menakutkan itu apa? mereka dengar dari media massa, itu kan takut ya. Jadi keluar stereotip-stereotip tentang yang tidak mereka kenal. Tapi ketika saya menanyakan temannya, dia bilang, "teman saya nggak begitu.'" tutur Melani.

Pergulatan berikutnya terjadi pada 2016 saat sentimen anti-LGBT menyeruak hebat. Kampus UI, tempatnya bekerja, menjadi sasaran kebencian karena dianggap mendukung LGBT. 

Melani menyebut dirinya mengalami semacam depresi mental, karena tak bisa bersuara.

“Heteronormativisme yang sangat meliyankan dan menganggap bahwa orang yang tidak heteronormatif itu penyakit, itu membahayakan. Saya tidak bisa membela, karena waktu itu sulit sekali bicara. Banyak mahasiswa yang terzalimi. Berat bagi saya untuk menghadapi, karena saya merasa munafik, (sebagai) dosen, guru besar, di universitasnya sendiri, dan saya juga menduduki posisi-posisi yang penting," jelasnya.

Di tengah ketidakberdayaan ini, Melani bertemu dengan Jaringan Kampung Nusantara. Di sana, ia bisa berinteraksi dengan sesama pegiat budaya dan keragaman. Asa pun kembali menyala.

“Saya merasa nyaman sekali. Sebagian besar tuh pegiat budaya yang betul-betul berbasis di akar rumput, di kampung-kampungnya sendiri-sendiri. Keragamannya luar biasa di situ. Mereka bergurau, tapi tidak saling merendahkan. Ada  transgender, ada yang sangat religius, tapi semuanya memahami posisi masing-masing dan bisa bekerja sama,” ucapnya.

Baca juga: Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis

Melani Budianta memberikan pidato saat menerima penghargaan Sarwono Award 2023, Rabu (23/8/2023). Melani mengangkat karya mendiang Marga T dalam pidatonya. (Dok: BRIN Indonesia)

Melani lantas memilih melanjutkan kerja-kerja yang pernah dirintisnya kala mahasiswa di Tanah Abang. Memperkenalkan sastra, membangun budaya, merawat keragaman dari kampung-kampung.

“Jadi bagaimana menguatkan persoalan keragaman, bukan sekedar toleransi ya, tapi ke kapasitas untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam. Itu harus dibangun dari bawah," kata Melani

Beragam krisis yang dialami Melani mematangkan kedirian dan keilmuannya. Hal ini juga terefleksi saat ia mengajar mahasiswa dari berbagai generasi. Melani selalu memotivasi anak didiknya untuk berani mengeksplorasi aneka jenis dan bentuk sastra.

"Jadi temukanlah, bacaan-bacaanmu sendiri. Jangan khawatir, ini bukan kanon, ini dianggap sepele, enggak! Mulai dari situ. Karena ketika Anda menyukai sesuatu, sebetulnya yang Anda temukan itu adalah dirimu. Anda menemukan sesuatu yang berproses dari diri Anda dengan bacaan itu. Nah, itulah yang nanti akan berkembang," tegas Melani.

Melani mencontohkan karya mendiang Marga T.

"Dulu Marga T dianggap sangat sepele. Itu bukan karya kanon, itu nggak ada isinya, itu cuma percintaan. Tapi sebetulnya ketika saya membaca cerpennya, itu bicara tentang bagaimana menghayati yang lain, orang yang berbeda, ada nuansa internalisasi bias kelas, ada macam-macam bisa digali dari situ," ujarnya.

Apresiasi Melani terhadap karya-karya Marga T diabadikan dalam pidatonya saat menerima Sarwono Award 2023.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati