Article Image

SAGA

Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 1)

"Melani Budianta dianugerahi Sarwono Award 2023 karena dedikasinya terhadap pengembangan sastra dan budaya."

Melani Budianta menerima Sarwono Award 2023, penghargaan diserahkan langsung oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. (Foto: BRIN Indonesia)

KBR, Jakarta - Melani Budianta sempat bingung kala September 2022 lalu, dihubungi panitia Sarwono Award. Ia masuk nominasi penerima penghargaan yang dihelat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Selama ini, pikirnya, ajang itu hanya untuk para saintis, bukan bidang sosial humaniora yang digelutinya.

“Saya lihat yang pernah mendapat penghargaan (Sarwono Award), saya merasa nggak bakalanlah ini. Nama-namanya terlalu besar-besar, kalau saya sih nggak ada artinya,” ujar Melani saat ditemui di Jakarta. 

Pada akhirnya, setelah melewati rangkaian proses penilaian termasuk wawancara, Melanilah yang terpilih. Ia kaget sekaligus bersyukur.

“Saya merasa bersyukur tahun ini (Sarwono Award) diberikan pada bidang sosial humaniora dan kebudayaan. Ini pentinglah. Saya anggap saya mewakili teman-teman yang bekerja di bidang ini. Karena kalau saya bandingkan dengan kerja teman-teman yang lain, praktis yang mereka lakukan luar biasa,” kata guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini. 

Sehari sebelum menerima Sarwono Award, Melani resah. Naskah pidatonya belum siap karena sibuk sepanjang pekan. Tak punya ide pula bakal menulis apa.

Baca juga: Panjebar Semangat: Kisah Media Lokal Bertahan Lewati Krisis

Melani Budianta kerap jadi pembicara di berbagai forum seputar sastra, budaya, cultural studies hingga feminisme. (Dok: Jakarta Biennale)

Matanya lantas tertuju pada Antologi Sastra Indonesia di rak. Secara acak, ia membuka halaman demi halaman buku itu, lalu terhenti pada sebuah cerpen. Judulnya “Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah,” karya Marga T yang belum lama berpulang.

“Padahal saya beberapa hari ini memikirkan Marga T, saya belum sempat memberi komentar apapun. Terus saya baca cerpen itu, hanya tiga halaman. Wah, saya mulai dari sini saja dan lalu terus mengalir. Jadi saya kira saya berterima kasih nih pada Mba Marga," tuturnya.

Dari karya Marga T yang ditulis pada 1970, Melani mengajak untuk kembali memaknai kemajemukan sebagai bangsa. 

Hal itu dituangkan dalam pidato Melani di acara penerimaan Sarwono Award, 23 Agustus 2023. Berikut petikannya:

Cerpen ini mengajak pembacanya masuk ke dalam perspektif narator, untuk pada akhirnya menyadari bias-bias kelasnya yang sudah terinternalisasi … Pembaca diajak untuk berempati, dan merasakan bagaimana menjadi yang lain. Kemampuan untuk membayangkan dan menghayati keragaman sangat penting bagi warga Indonesia," 

Guru Besar UI kelahiran 1954 ini mengenakan kebaya warna emas yang pernah ia kenakan saat pernikahan anaknya.

Didikan keluarga

Melani diapresiasi karena kontribusinya selama puluhan tahun di bidang sastra, budaya, dan pengembangan kampung. Kecintaannya pada buku dan sastra dipupuk sedari kecil dari lingkungan keluarga. 

“Dari komik sampai cerita silat, berbagai macam ragam buku ada di rumah. Orangtua saya memang selalu mendidik kalau ulang tahun tuh, hadiahnya buku atau anda menulis sendiri. Jadi kami dari kecil nulis sajak, untuk kakak yang ulang tahun, untuk ayah ibu, atau melukis, atau rame-rame satu keluarga bikin drama," ujar Melani.

Baca juga: Jejak Bagus Priyana Rawat Sejarah Magelang

Suasana lapak baca Rangkasbitung, Rabit Membaca, di Lebak, Banten. Kehadiran perpustakaan maupun komunitas baca untuk mengurangi kesenjangan literasi. Warga miskin di kawasan urban pun masih sulit mengakses bahan bacaan. (Dok: twitter @delasyahmareads)

Bagi Melani, sastra memungkinkan pembaca berimajinasi melampaui keterbatasan ruang dan waktu. Melalui sastra, pengetahuan dan empati terhadap mereka yang berbeda bisa terbangun, meski tak bersua. Sastra mengasah kemanusiaan.

“Kalau kita belajar sastra, kajian budaya itu, kita memperjuangkan kemanusiaan. Kita mempunyai keberpihakan terhadap mereka yang terpinggirkan," katanya.

Pelajaran dari bocah Ahyar

Saat Melani kuliah S1 di Sastra Inggris UI, ia tergugah untuk mengenalkan sastra ke mereka yang tak seberuntung dirinya. Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur ini membangun perpustakaan kecil di sebuah kampung miskin di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Kehidupan anak-anak di sana kontras dengan masa kecil Melani.

“Tanah Abang itu ada di ibukota. Tahun saya masuk itu '70-an. Saya ke kampus yang termasuk privilege, kampus terkemuka, membaca bacaan dalam bahasa Inggris. Ketika saya bawa buku ke kampung di Tanah Abang itu ternyata untuk membaca pun mereka kelas 4 SD belum bisa,” tuturnya.

Di periode inilah, Melani berjumpa dengan Ahyar, anak yang mengubah caranya memandang sastra dan realita.

“Ahyar itu mungkin umu 8-10 tahunlah. Badannya agak besar dan dia itu semacam preman muda, yang biasa hidupnya di jalanan. Buku tentu bukan suatu yang dia geluti, tapi dia tertarik untuk datang ke tempat (perpustakaan) saya. Si Ahyar ini sering datang mendengarkan cerita saya, dia rajin” kenang Melani.

Baca juga: Bookhive, Pustaka Mini Ramah Pandemi

Melani Budianta sudah mengakrabi sastra barat klasik, seperti karya-karya Emily Dickinson, sejak usia SMP. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini lahir dan besar di keluarga pecinta seni dan budaya .(Foto: Nafisa/ KBR)

Suatu hari Melani menantang mereka menulis dan hasilnya bakal dipajang di dinding. Mereka antusias, tak terkecuali Ahyar. Suatu hari Ahyar datang membawa tulisannya dengan sangat bangga. Namun, Melani bingung.

“Saya membaca itu, ini huruf-huruf yang ditempel-tempel, nggak ada spasinya. Kadang-kadang ada kata, tapi kata satu dengan kata yang lain (tidak nyambung). Rupanya dia ambil dari mana, dia tulis, diambil dari mana, ditulis. Semua (tulisan) ditempel kecuali punya Ahyar ini,” ceritanya. 

Melani lantas memanggil Ahyar dan mengajarinya tata bahasa seperti yang ia pelajari dari bangku kuliah. Ahyar hanya diam mendengarkan. Sejak hari itu, Ahyar tak pernah muncul.

“Saya belum punya pengalaman sama sekali bergaul dengan anak-anak. Saya mengajarkan tata bahasa kepada anak yang sama sekali tidak mengenal bahasa tulis. Akhirnya anak itu nggak pernah datang lagi, saya sangat menyesal. Saya kehilangan dia. Kenapa saya tidak membiarkan dia hidup di dalam dunianya dan membawa dia dengan cara yang berbeda," sesal Melani. 

Sampai kini, Melani tak pernah lupa dengan Ahyar. Bocah itu bakal selalu jadi pengingatnya.

“Sebagai pelajaran, saya memberikan itu pada waktu saya mendapat guru besar. Dan itu buat saya, itu menunjukkan saya ini selamanya guru kecil. Artinya, kebesaran itu tidak ada artinya ketika saya berhadapan dengan orang seperti Ahyar. Jadi saya harus selalu merefleksikan ilmu saya, relevansinya untuk masyarakat, nyambung tidak? Kita sering berteori-teori dengan sangat hebat, tapi bagaimana nyambungnya?" ucapnya. 

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati