KBR68H- Sejak puluhan tahun silam sebagian besar warga Desa Keras di Jombang, Jawa Timur dikenal sebagai perajin petasan atau mercon. Meski dilarang aparat keamanan, warga tetap saja melakoni pekerjaan berisiko tersebut. DPRD bersama pemerintah kabupaten setempat tengah mencari siasat agar pekerjaan warga legal.
Jarum jam menunjukan pukul 21:30 WIB. Jalanan menuju Desa Keras malam itu nampak ramai. Sejumlah orang, tua-muda berboncengan dengan sepeda motor. Membelah jalan yang berlubang dan minim lampu penerangan di tengah pesawahan.
Warga desa datang berduyun-duyun untuk menyakskan pesta petasan yang biasa digelar usai bulan puasa dan lebaran. Desa ini jaraknya kurang lebih 1 kilometer dari makam bekas Presiden RI ke-4, Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur yang berada di kawasan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dari kejauhan letusan mercon mulai terdengar sayup-sayup saling bersahut-sahutan.
Ratusan orang telah padati sebuah tanah lapang, tempat acara berlangsung. Mereka berdiri, duduk bergerombol, atau nangkring di atas sepeda motor menyaksikan para remaja menyalakan beragam jenis petasan. Sesekali terdengar suara tepuk tangan, teriakan dan tawa riuh.
Sedikitnya ada 6 tempat pesta petasan yang dibanjiri penonton. Sejumlah pedagang memanfaatkan momen tahunan tersebut dengan menjajakan dagangan.
Kepala Desa Keras, Sukardi ikut menyaksikan sambil mengawasi aktivitas warganya. Menurut dia dibanding tahun lalu, pesta petasan tahun ini kurang meriah. Tahun lalu misalnya digelar berondongan mercon, atau menyalakan petasan dalam jumlah banyak dan bersamaan. “Tidak ada. Nah itu, kan kebiasaan masyarakat hari ketupat. Tapi, untuk kali ini tidak mengadakan. Jadi, kemarin itu sudah mulai dibakar sejak Idul Fitri itu, itu sudah mulai jadi tidak seperti biasanya, tahun-tahun yang biasanya itu, “ terang Sukardi .
Tradisi menyalakan petasan di Desa Keras biasa digelar bertepatan dengan Hari Raya Ketupat atau 7 hari setelah perayaan Idul Fitri. “Tiap malam kupatan itu pasti melaksanakan itu, karena juga menghabiskan bahan-bahan yang sudah dikemas oleh masyarakat, supaya tidak timbul nanti kalau disimpan menjadi ledakan, maksudnya itu. (Kenapa memilih pas Hari Raya Ketupat, tidak hari yang lain ?) Lah iya, itu isinya untuk menghabiskan sisa-sisa petasan yang dihasilkan oleh masyarakat kami. (sisa produksi ?) iya, sisa produksi,” jelasnya.
Tradisi ini tak lepas dari aktivitas warga sebagai perajin petasan sejak lebih dari 50 tahun lalu. Sukardi menyebut salah satu tokoh yang mempelopori pembuatan petasan. “Awal mulanya Pak Nur Arifin, bekas pensiunan TNI. Sudah almarhum. Apanya ? (Tahun berapa awalnya Pak Arifin mulai membuat petasan ?) Awal mulanya ya tahun 1950 berapa gitu, sebelum saya sudah ada, “ ujar Sukardi.
“Sebetulnya Pak Arifin itu bisa membuat, katanya orang-orang tua saya itu, membuat seperti RRC China itu, bermacam-macam. Tapi, yang ditularkan ke masyarakat hanya satu macam, sreng dan dor. Iya, bisa. Seperti itu, yang bermacam-macam warna,” tambahnya.
Menurut Sukardi dari lebih 6 ribuan warga Desa Keras, sebagian besar bekerja membuat petasan. “(Berapa orang, Pak, yang mempunyai kemampuan untuk membuat petasan di Desa Keras ?) Desa Keras, ya, hampir 60 persen. Iya, hampir 60 persen. (Jadi turun temurun ya, Pak ?) Iya, turun temurun. Bisa membuat. Kita sendiri juga repot, karena kaitannya dengan isinya perut, “ ungkapnya.
Salah satu perajin yang menekuni pekerjaan berisiko tersebut berinisial MH. Lelaki 35 tahun itu meminta nama lengkapnya tidak disebutkan karena alasan keamanan. Bapak tiga anak ini mengaku sejak usainya belasan tahun sudah diajarkan membuat petasan dan menjualnya di sekolah. “Kalau saya itu usia Tsanawiyah itu sudah bisa, sejak SMP kelas I sudah bisa bikin sendiri. Dari teman, dulunya kan mreman, kan bisa caranya, gini, gini, terus baru bikin sendiri. SMP kelas I sudah bisa bikin sendiri, “ ujar pria bertubuh gempal ini.
Proses pembuatan petasan di Desa Karas melibatkan seluruh anggota keluarga.
Bertandang ke Desa Penghasil Petasan
Tradisi ini tak lepas dari aktivitas warga sebagai perajin petasan sejak lebih dari 50 tahun lalu.

Jumat, 20 Sep 2013 13:25 WIB


petasan, desa keras, jombang, ramadan, tradisi
Kirim pesan ke kami
WhatsappBERITA LAINNYA - SAGA
Kerugian Nyata Polusi Udara yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata Bagian 2
Kerugian sosial ekonomi akibat polusi udara kerap luput dari perhatian
Kerugian Nyata Polusi Udara yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata Bagian 1
Biaya pengobatan adalah kerugian minimal akibat polusi udara
Pembuktian Penyandang Down Syndrome di Panggung Profesional
Orang dengan down syndrome berkarya dan berdaya
Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan
Nelayan jaga laut lestari dengan praktik ramah lingkungan
Komunitas Biboki Lestarikan Tenun Ikat Tradisional
Semangat anak muda NTT lestarikan kain tradisional
Upaya Nelayan Lombok Timur Sejahtera dengan Berkoperasi
Ungkit ekonomi nelayan lewat koperasi
Resiliensi Komunitas Difabel Semarang untuk Berdikari
Daya hidup penyandang disabilitas agar berdaya dan mandiri
Pasar di Bali Menuju Zona Bebas Plastik Bagian 2
Dukungan tokoh adat untuk pasar bebas plastik
Pasar di Bali Menuju Zona Bebas Plastik Bagian 1
Tantangan menekan konsumsi plastik di pasar tradisional
Unjuk Gigi Anak Down Syndrome Melenggang di Catwalk
Kesempatan anak berkebutuhan khusus tunjukkan talenta
Lara Duka dan Nestapa di Stadion Kanjuruhan
Ratapan dan harapan dari mereka yang ditinggalkan
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
1001 Cara Mengejar Target Penurunan Stunting
Kabar Baru Jam 8
Episode 1: Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Siswa Berkebutuhan Khusus (Tunanetra dan Tunarungu)
Kabar Baru Jam 10
Most Popular / Trending