SAGA

Goresan Tinta Korban 'Bullying' (4)

"Direktur Eksekutif LSM Sejiwa Diena Haryana menyarankan agar program MOS dihapuskan seperti di negara-negara maju."

Rony Rahmatha

Goresan Tinta Korban 'Bullying' (4)
Depok, bullying, anak, Azzam, Carringteen Community

Hapuskan Perpeloncoan

Selain para korban bully yang tergabung dalam CaringTeen Community, sejumlah kalangan pun berminat menyumbangkan tulisan. Salah satunya bekas kepala Sekolah SMK 39 Jakarta Dedi Dwitagama. Ia siap berbagi resep cara menghapus praktik bully. Berkat kemampuannya tersebut Dedi pernah terpilih sebagai salah satu kepala sekolah terbaik di DKI Jakarta.

“Jadi ketika seorang anak memukuli temannya. Lalu teman yang dipukul tidak membalas dan melaporkan ke tim kesiswaan. Yang melakukan pemukulan saat kami proses, merasa paham dan siap dikeluarkan. Karena dia telah melanggar peraturan di sekolah.  Anak-anak yang lain, jadi tahu kalau kita sudah membangun sistem. Ini sebuah budaya baru, walau itu harus mengorbankan seseorang. Itulah yang saya berikan pemahaman, apalagi karena mereka SMK, maka saya bilang, mereka tidak boleh membully, karena di dunia kerja nanti, itupun tak boleh mereka lakukan. Jika itu dilakukan mereka bisa dipecat bahkan diperkarakan ke kepolisian,” kata Dedi.

Komisi Nasional Perlindungan Anak menyambut baik rencana penerbitan buku ini. Informasi dari buku tersebut diharapkan mampu menggugah kesadaran anak  tentang dampak buruk  praktik bullying. Salah satu sumbernya dipicu dari  pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah atau MOS, jelas Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.  “Untuk mengantisipasi bullying yang dikemas melalui MOS. Kita sudah meminta Menteri Pendidikan untuk mengeluarkan edaran kepada sekolah-sekolah untuk meniadakan MOS. Diganti saja dengan arahan-arahan, penulisan pengetahuan mereka dan orientasi mereka masuk ke sekolah. Saya itu jauh lebih baik daripada MOS yang mengarah pada kekerasan,” jelasnya.

Direktur Eksekutif LSM Sejiwa Diena Haryana menyarankan agar program MOS dihapuskan seperti di negara-negara maju. “MOS itu di dunia luar tidak ada kok. Kita masih mengada-ada saja, pakai dikuncir-kuncir lah, diberi label-label. Masih ada seperti itu, sudah seperti topeng monyet. Aku tak rela itu. MOS Itu pembullian dan syarat pembullian. Kemudian senior dianggap sebagai anak-anak yang boleh berbuat apa saja dan egoistis terhadap adik kelasnya. Itu syarat pembullian, itu awal. Jadi menurut saya itu harus dihapus,” tegasnya.

Namun permintaan Diena sepertinya sulit terwujud. Pasalnya pemerintah punya  alasan sendiri untuk  mempertahankan program tersebut. Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Ibnu Hamad. “Kalau dihapus tidak mungkin ya, karena kegiatan itu ada manfaatnya. Tapi kalau untuk diperbaiki, mungkin itu jauh lebih tepat. Kita memang terus melakukan evaluasi dari pelaksanaan MOS itu. Kementerian pasti mengecam kegiatan anak didik yang mengarah pada kekerasan. Jadi kita minta sekolah-sekolah juga berperan aktif untuk mengawasi. “
Kembali ke Azzam yang kini coba bangkit melawan praktik bullying lewat tulisan. Pengalamannya  mengikuti pertemuan tentang kejahatan anak di Beijing, Cina beberapa waktu lalu semakin menyadarkan  betapa bahayanya dampak bullying.     “Saya tahu tentang hak-hak anak. Setelah saya bertemu dengan anak-anak dari negara lain. Saya jadi tahu perkembangan hak-hak anak di negara mereka sudah dilindungi apa belum. Saya juga tahu budaya mereka,” katanya.

(Rah, Fik)


  • Depok
  • bullying
  • anak
  • Azzam
  • Carringteen Community

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!