Reporter: | Sasmito |
Editor: | Quinawati |
“Pak Jokowi dulu sempat ke sini, tapi nelayan mau mendekat saja tidak bisa karena dihalangi sama satpam dan polisi."
Spanduk bertuliskan END COAL yang dibentangkan aktivis lingkungan koalisi Break Free di crane kapal milik PT BSI. Foto: Sasmito/KBR.
Jumat, 14 April 2017
KBR, Jakarta - Pagi di akhir Maret lalu, ratusan nelayan Desa Alas Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, bersama puluhan aktivis yang tergabung dalam koalisi Break Free; Greenpeace, Walhi, dan Jatam, bersiap ke perairan Roban Timur. Suara langkah kaki mereka, saling bersahutan dengan kokok ayam.
Dari tepi laut, suara mesin kapal, menderu. Di sertai rintik hujan, mereka lantas menembus dingin angin laut menuju tengah laut. Tapi, bukan hendak menangkap ikan. Namun menduduki alat berat milik PT Bhimasena Power Indonesia (PBI) –yang mengerjakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara terbesar di Asia Tenggara.
Saya yang ikut berlayar, semula tak tahu kalau pagi itu menjadi hari bersejarah bagi nelayan Alas Roban Timur. Sebab tak ada tanda-tanda para aktivis bakal memanjat crane kapal setinggi 12 meter dan begitu sampai puncak, dibentangkan spanduk berlatar kuning bertuliskan; END COAL.
Desakan penghentian energi berbahan batubara ini, bukan tanpa alasan. Sriyono, nelayan setempat, mengatakan penghasilannya terus melorot akibat pengerjaan konstruksi awal PLTU Barang lantaran perusahaan membuang lumpurnya ke laut. Dampaknya, ia kesulitan mencari ikan.
“Sekarang itu perusahaan kalau membuang lumpur ke tengah laut. Nelayan yang tidak punya GPS kadang-kadang nyasar ke situ. Kalau nyasar, jaring nelayan tersangkut di lumpur dan tidak bisa diambil,”
- cerita Sriyono.Sriyono –yang menjadi generasi ketiga nelayan di Alas Roban Timur, juga bercerita harus merogoh kocek hingga Rp2 juta untuk memperbaiki jaring yang rusak karena lumpur. Belum lagi, ongkos membeli bahan bakar jadi bertambah sekira Rp100 ribu-200 ribu dikarenakan mesti melaut lebih jauh dari biasanya. Kembali Sriyono.
“Kalau dulu, hanya 10 menit sampai 15 menit saja di luat bisa dapat ikan. Kalau sekarang 30 menit hingga 1 jam," sambungnya.
Di Alas Roban Timur, ada sekitar 150 keluarga nelayan. Roban sendiri adalah nama sebuah dusun nelayan di muara Sungai Kaliboyo. Secara administratif, dusun Roban timur termasuk wilayah Desa Sengon.
Desa Sengon, berada di pinggir pantai. Rumah-rumahnya terbilang rapi dengan dinding bertembok semen. Ada pula balai pertemuan yang menjadi tempat berkumpul nelayan. Sejak turun temurun pula, tangkapan ikan mereka tak pernah berkurang. Tapi sejak pembangunan PLTU Batang dimulai pada Juni 2016, semua berubah.
Nelayan yang menolak, lalu menggelar aksi. Tak hanya itu, mereka bahkan sampai melipir ke Cilacap dan Rembang –daerah yang sama-sama digasak PLTU. Hasilnya? Kehidupan nelayan di dua wilayah itu jadi susah. Padahal tadinya sejahtera. Para nelayan di sana, malah kadang mengejar ikan ke Roban.
Melihat potret buram itu, nelayan di Alas Roban, kian yakin menolak PLTU. Dan kian menggencarkan aksi ke pemda, kementerian terkait, hingga DPR. Namun, nol besar. Karena PLTU terus saja berlanjut.
(Nelayan Alas Roban, Sriyono, bergabung dalam aksi END COAL bersama koalisi lingkungan. Foto: Sasmito)
PLTU Batang sendiri merupakan megaproyek berskema Public Privat Partnership atau Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha. Total, ada sembilan proyek yang ditandatangani dalam kerjasama tersebut, di antaranya PLTU Batang, Palapa Ring Barat, Jalan Tol Manado-Bitung, dan Jalan Tol Batang-Semarang.
Untuk pembiayaan PLTU Batang sebesar Rp40 triliun, pemerintah menggandeng Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Dimana pengerjaannya diserahkan pada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang merupakan konsorsium Electric Power Development.Ltd (J-Power), PT Adaro Power (AP), dan Itochu Corporation.
PLTU Batang pun digadang-gadang bakal mumpuni menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa lantaran kapasitasnya yang mencapai 2x1.000 MegaWatt. Dan dalam hitungan PT BPI, pembangkit ini akan rampung pada Juni 2020. Tapi Presiden Joko Widodo, minta dipercepat setahun.
Hingga kini, PLTU Batang masih dalam tahap pra-konstruksi; pondasi, kantor sementara, tiang pancang, serta dermaga atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pembangunan.
Namun begitu bagi nelayan seperti Komari, mencari ikan jadi kian susah. Ia menuturkan saat musim panen, ikan justru turun drastis. Dari biasanya ia bisa meraup Rp10 juta-Rp15 juta sekali melaut, kini hanya Rp3 juta-Rp5 juta.
Sementara Sriyono, dan nelayan lainnya sudah kehabisan harap. Saat Presiden Jokowi ke lokasi ini pula, nelayan tak dibiarkan mendekat.
“Pak Jokowi dulu sempat ke sini, tapi warga mau mendekat saja tidak bisa karena dihalangi sama satpam dan polisi. Kapal-kapal kecil juga mau menyampaikan aspirasi tapi dihalangi,”
- tukas Sriyono.Nelayan tak bisa dipisahkan dari laut. Dan yang mereka khawatirkan jika PLTU sudah beroperasi ikan di perairan Roban hilang karena airnya tercemar dan terganggu aktivitas PLTU.
Melanjutkan PLTU Batang, bagi nelayan sama saja dengan menghabisi generasi nelayan seperti Sriyono.
Puluhan kapal nelayan mengitari kapal crane milik PT PBI di perairan Roban Timur. Foto: Sasmito/KBR.
Terik matahari di perairan Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, begitu menyengat. Sekitar delapan jam sudah ratusan nelayan dan puluhan aktivis koalisi Break Free: Greenpeace, Walhi, Jatam, menggelar aksi di laut lepas –menolak pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara.
Di tengah perairan itu, beberapa aktivis memanjat crane kapal setinggi 12 meter. Begitu sampai di puncak, mereka membentangkan spanduk berlatar kuning bertuliskan: END COAL. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika.
“Kita ingin menyampaikan pesan yang kuat juga kepada para pendana-pendana internasional yang selama ini menjadi pemain besar di ekspansi batubara. Khususnya dana tersebut dari Jepang dan Cina. Meskipun sudah ada jaminan dan garansi dalam bentuk regulasi dan hukum kepada proyek ekspansi batubara ini. Tetapi itu tidak mengendorkan perjuangan masyarakat,” jelas Hindun.
Proyek PLTU Batang menghabiskan dana Rp40 triliun dan didanai dari pinjaman Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Dimana pengerjaannya diserahkan pada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) –yang merupakan perusahaan gabungan dari tiga perusahaan. Yakni dua perusahaan yang berbasis di Jepang; Electric Power Development Co dan ITOCHU Corporation dengan masing-masing 34 persen dan 32 persen.
Serta PT Adaro Power, perusahaan swasta di Indonesia dengan 34 persen saham. Sedang pemerintah, hanya calon pembeli tenaga listrik yang dihasilkan PT BPI.
PLTU Batang pun digadang-gadang bakal mumpuni menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa lantaran kapasitasnya yang mencapai 2x1.000 MegaWatt. Dan dalam hitungan PT BPI, pembangkit ini akan rampung pada Juni 2020. Tapi Presiden Joko Widodo, minta dipercepat setahun.
Hingga kini, PLTU Batang masih dalam tahap pra-konstruksi; pondasi, kantor sementara, tiang pancang, serta dermaga atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pembangunan.
Hanya saja, megaproyek ini dituding menabrak kawasan konservasi laut di Pantai Utara Jawa. Itu mengapa ratusan nelayan di sana, protes. Sebab merekalah yang bakal kena imbasnya.
“Terkait dengan KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) Roban Ujung Negoro. Nah itu dibuat pada tahun 2010, tapi kemudian direvisi. Peta itu digeser pada tahun 2011 dan digeser lagi pada 2012. Di mana kemudian penggeseran itu kalau kita telusuri, demi menyesuaikan dengan peta rencana pembangunan PLTU Batang,”
- ungkap Hindun.Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro itu adalah kawasan perlindungan dan pelestarian terumbu karang –yang sudah sepatutnya dijaga. Hal itu pun ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tertanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang. Luasnya 6.800 hektar dengan panjang bentang pantai sejauh tujuh kilometer.
Dalam SK itu juga, disebutkan jenis flora berada di KKLD Roban Ujung Negoro dan harus dilindungi; cemara laut, ketapang, bakau. Sementara faunanya; kira-kura blimbing, udang lobster, hiu macan, dan lumba-lumba darat.
Tapi apa yang terjadi? Demi PLTU Batubara, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, pada 2012 merevisinya. Sehingga luasan kawasan itu menjadi 4.015 hektare. Yang meliputi wilayah laut 3.480 hektare dan darat 534 hektare.
Ini terlihat dari Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Dimana Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro bergeser dari timur ke barat laut –demi memberi ruang pada megaproyek puluhan miliar itu.
(Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Foto: Greenpeace)
Menanggapi tudingan itu, PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) mengaku sudah memperhitungkan berbagai aspek termasuk lingkungan dalam pembangunan pra-konstruksi. Melalui pesan pendek, Juru Bicara PT BPI, Ayu Windiyaningrum, menyebut sudah mengantongi semua memenuhi semua persyaratan.
“Soal pembangunan dermaga sudah memperhitungkan berbagai aspek, termasuk lingkungan. Demikian juga dengan berbagai perizinan, semuanya telah dipenuhi. Untuk nelayan, kami juga membuat rumah ikan sebagai habitat buatan untuk ikan dan sudah dipasang atau ditenggelamkan di laut dari akhir Januari 2016 lalu. Pembuatan rumah ikan sampai pemasangan melibatkan nelayan, dengan menggunakan kapal-kapal nelayan juga. Sosialisasi ke nelayan juga dilakukan beberapa kali untuk menjelaskan program,” papar Ayu Windyaningrum.
Sementara orang nomor satu di Kabupaten Batang terlihat tak pusing dengan permasalahan yang dialami nelayan. Menurut Pelaksana tugas Bupati Batang, Nasihin, pembuangan lumpur hanya bersifat sementara.
“Memang dibuang di laut. Tapi yang jelas semua aspek kegiatan di sana sudah dianalisis dampak lingkungannya. Kalau sudah selesai ya dibersihkan lumpur itu,” kata Nasihin.
Nasihin juga menampik tudingan Greenpeace yang menyatakan Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro, sengaja diperkecil demi PLTU Batubara.
“Masalah konservasi dan lainnya sudah selesai dan diubah. Dan tata ruang launya sudah diubah sesuai aturan yang berlaku. Pendek kata tidak ada pelanggaran aturan-aturan terkait dengan konservasi itu,”
- ujar Pelaksana tugas Bupati Batang, Nasihin.Kendati demikian, Nasihin akan menagih komitmen PT BPI jika nantinya kerugian-kerugian nelayan Roban Timur terbukti karena pembangunan PLTU Batang. “Sesuai dengan janji awal komitmennya kalau memang menimbulkan kerusakan, perusahaan bersedia mengganti. Nanti kita cek, kalau betul-betul merusak perusahaan akan mengganti.”
Di sisi lain, kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, kelanjutan PLTU Batang membuktikan Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap Kesepakatan Paris. Padahal Indonesia bersama 171 negara lainnya sudah menandatangani kesepakatan tersebut di New York, Amerika Serikat, pada April 2016.
“Kalau kita mengacu pada Paris Agreement untuk menghindari kenaikan suhu bumi sampai dua derajat celcius per tahun itu harus terjadi dekarbonisasi hingga 2020. Berarti sudah tidak boleh ada lagi PLTU-PLTU baru," tegas Hindun.