Bagaimana Mereka Mengenang NH Dini

4 Desember 2018 lalu, sastrawan NH Dini, berpulang. Orang-orang kehilangan. Berhari setelahnya hingga awal Maret 2019 ini, beberapa masih berupaya mengenang lewat obrolan di ruang-ruang kecil.

Moderator dan para narasumber dari kanan ke kiri: Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira, Intan Paramadhita tengah berbincang mengenai kiprah NH Dini di Bentara Budaya Jakarta. (Foto: KBR/ Winna W)

Minggu, 03 Maret 2019

-

NURIKA MANAN, NARATOR:

MODERATOR: Bu NH Dini dalam karyanya, dalam novelnya, selalu ingin mengutarakan apa yang dia simak,apa yang dia saksikan, apa yang dia rasai secara rinci dan detail. Jadi kerinciannya ini, justru jadi kekuatannya. Dan yang lain adalah, NH Dini melakukan kerja kesenimanannya, dalam hal ini kepengarangannya, dengan sangat serius.

[SUARA TANGGAPAN PARA PESERTA DISKUSI]

Orang-orang berkumpul membicarakan sekaligus mengenang Nurhayati Sri Hardini Siti Nurkatin alias NH Dini. Pada pertengahan Desember tahun lalu, sekitar tiga pekan setelah penulis perempuan itu berpulang, ruangan di Bentara Budaya Jakarta penuh.

Sejumlah peserta bahkan terpaksa berdiri, sebab seluruh kursi terisi.

Obrolan itu dihadiri tiga sosok kesohor dunia sastra, ada Sapardi Djoko Damono, Intan Paramadhita, dan Seno Gumira Ajidarma.

SAPARDI: Saya membaca cerita pendek Nh Dini waktu saya masih SMP, tahun 50-an di Majalah Kisah.

INTAN: Saya merasa, kita berutang, banyak sekali yang belum dilakukan untuk NH Dini. Bagaimana dia dibaca dengan lebih kompleks. Diskusi-diskusi seperti bagaimana dia diperkenalkan lagi. Karena dalam regenerasi selalu soal diperkenalkan, lagi dan lagi. Apalagi di masa generasi yang mudah lupa.

SENO: Kalau kita perhatikan, Pada Sebuah Kapal, itu awal dari kepastian dia: Ya sudah lah, saya tulis semua.

Selasa 4 Desember 2018, Dini meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas.

Bukan saja keluarga dan kerabat yang merasa kehilangan, tapi juga orang-orang yang berkenalan dengan Dini melalui karyanya.

[SUARA MODERATOR MENGAJAK PENONTON MENYIMAK VIDEO]

MODERATOR: Ada satu video pendek yang dibuat periode 2000an, video ini merangkum sosok NH Dini dan proses kreatifnya [...]

Suara pemandu mengajak peserta menyimak ke layar lebar. Helatan yang juga diniatkan untuk obituari ini diberi tajuk nyaris menyerupai salah satu karya NH Dini: Pada Sebuah Novel.

Karya berjudul "Pada Sebuah Kapal", yang di awal tadi juga disebut-sebut Seno Gumira, dianggap sebagai yang paling unggul. Kata Seno, novel tersebut berhasil membawa Dini ke puncak kepopuleran. Diorbitkan penerbit Pustaka Jaya pada 1973 karya ini dicetak hingga puluhan ribu eksemplar.

NH DINI: Ayah saya menunjukkan tulisan saya ke kakak-kakak saya. Baru lah saat itu saya sadar, bahwa kemampuan menulis itu tidak dimiliki semua orang. Nah saya disadarkan demikian itu sangat bangga, tapi waktu itu saya juga agak khawatir apakah saya akan terus bisa menulis cerita seperti ini.

Demikian yang diutarakan NH Dini dalam sebuah video bikinan Lontar Foundation yang dipublikasikan pada 2013. Klip itu kembali diputar untuk peserta yang hadir di Bentara Budaya Jakarta.

Dini mulai menulis saat usianya sembilan. Bermula dari hobi yang dipamerkan kepada sang kakak, lambat laun gairahnya meletup. Dini remaja keranjingan mengarang cerita pendek, kala itu tulisannya juga kerap dibacakan dalam siaran Radio Republik Indonesia.

Pada 1950an, karya Dini mulai dilirik majalah kesohor era itu.

SAPARDI: Ini ada anak SMA, Dini waktu itu masih SMA. Sudah menulis cerita pendek di majalah yang sangat terbaik yang dipimpin oleh Pak Jassin.

Penyair usia 78 tahun itu mengingat, seraya takjub. Menurut Sapardi, pada masa pasca-kemerdekaan saat itu, tak sembarang penulis bisa menembus majalah pimpinan H.B. Jassin.

Orang-orang di ruangan pun sepakat, tulisan-tulisan Dini kaya akan detail. Meski, beberapa pembacanya berterus terang, kadang mereka juga kepayahan.

Sekalipun begitu, sastrawan yang juga Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Seno Gumira memuji cara Dini berkisah. Penulis kelahiran Semarang 29 Februari 1936 ini disebut sebagai penutur yang andal. Menurutnya, jarang ada yang mampu menceritakan ulang pengalaman hidup dengan apik lagi semenyeluruh Dini.

SENO: Karena dunia beliau pasti beda dengan Budi Darma yang meloncat-loncat ke sana kemari. Lain lah, yang karikatural, (seperti) Hamsad Rangkuti, beda. Yang lain justru tidak mampu menulis dirinya sendiri, NH Dini mampu.

Yang juga membekas, adalah ciri khas Dini menampilkan tempat-tempat yang pernah ia tinggali.

SAPARDI: Dini itu mengandalkan novel-novelnya pada pengalaman fisik. Dia pergi ke Eropa, Jepang, ikut suaminya. Jadi Dini itu betul-betul fisik pengalamannya. Dengan teliti menulis karena dia alami sendiri.

Pengembaraan lintas negara menurut Sapardi, juga menyumbang keluasan spektrum pengetahuan kebudayaan dalam karya Dini. Berbagai persinggahan melahirkan novel di antaranya Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Keberangkatan, La Barka, juga Tuileries.

SENO: Harusnya ya baca semuanya. Kalau konsisten, semua lah. Saya kira kita tidak usah beda-bedakan. Konsistensi menghargai orang ya, begitu memang. Semua saja. Pasti kita menemukan sesuatu di tempat tak terduga. Saya janjikan itu. Pasti nemu sesuatu (saat baca karya NH Dini).

Pada zamannya, tema-tema yang diusung Dini tergolong berani. Ia tak segan menggugat norma-norma sosial yang dilekatkan pada perempuan Jawa.

SENO: Dalam diskusi di Ubud Writer Festival. Ketika ngomongin bahasan penggambaran seksual dan itu berhubungan dengan larisnya (karya sastra), Mbak Dini berbisik sama saya: untung sekali ya Ayu Utami itu, untung sekali ya. Saya enggak tahu itu, saya kira dia bukan cemburu pada karyanya. Tapi bahwa buku seperti itu bisa diterima dan laku keras dengan alasan ideologis, pemberontakan. Kesan saya ya, beliau mau bilang: saya kan juga sudah dari dulu melakukannya.

Karya Dini pernah menuai polemik karena menuturkan hubungan percintaan perempuan Jawa dengan pria-pria asing. Seperti pada tokoh Sri dalam novel "Pada Sebuah Kapal".

Nyali Dini memilih isu dalam karya-karyanya, juga diakui penulis novel ‘Gentayangan’ Intan Paramaditha. Karena itu rasa bersalah tinggal. Ia menyesal, belum banyak melahap tulisan-tulisan Dini.

INTAN: Banyak sisi yang bisa (kita) kontribusikan. Misalnya dari pengarsipan. Tulisan-tulisan arsipnya dikumpulin, kemudian dibaca secara lebih kompleks, dan didiskusikan. Kayaknya itu ya cara kita menghargai kerja dan karya NH Dini.

Dimulai pada Desember 2018, obituari mengenang NH Dini masih berlangsung hingga awal Maret 2019. Setelah Jakarta, Solo dan Denpasar, Semarang sebagai kota kelahiran sang pengarang menjadi penutup.

Dari buku-buku NH Dini, kita mendapatkan percik kekayaan sastra Indonesia. Dari kehidupannya, kita beroleh teladan tentang konsistensi.