RUANG PUBLIK

Mengenal Bahaya Resistensi Antibiotik

"Masyarakat bisa secara bebas membeli dan meminum antibiotik tanpa resep dokter."

Nurhayati

dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dan
dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dan pengajar di Fakultas Kedokteran UI. (Foto: KBR)

KBR, Jakarta - Pemahaman masyarakat Indonesia tentang penggunaan antibiotik mungkin masih terbilang kurang, padahal tingkat penggunaan antibiotik di Indonesia cukup memprihatinkan. Masyarakat bisa secara bebas membeli dan meminum antibiotik tanpa resep dokter, padahal penggunaan antibiotik berlebihan bisa menyebabkan mikroba semakin sulit ditangani.

Dokter Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) mengatakan, antibiotik seharusnya khusus digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan membunuh bakteri jahat tersebut. “Infeksi itu bisa karena yang lain-lain juga, ada karena virus, jamur, parasit dan cacing,” tambah dokter Anis.

Beberapa penyakit yang pengobatannya menggunakan antibiotik adalah Tuberculosis atau TB, infeksi pada saluran pernafasan atau pada paru-paru, serta diare yang disertai lendir atau darah. Tapi sebelum diobati dengan antibiotik, harus dipastikan penyebab infeksi adalah bakteri, yang dilakukan dengan pemeriksaan dokter dan laboratorium.

Dokter Anis menjelaskan di Talkshow Ruang Publik KBR pada Jumat (21/12), ada dua hal utama yang harus diingat saat mengkonsumsi antibiotik secara aman. Pertama, antibiotik yang dikonsumsi merupakan resep dari dokter. “Satu hal untuk antibiotik, mudah saja kok, beli Antibiotik hanya dengan resep dokter, jadi jangan membelinya secara bebas,” kata dokter Anis. Kedua, antibiotik dari dokter diminum sesuai petunjuk yang menyertainya. Misalnya, terdapat petunjuk dari obat untuk dikonsumsi 3x sehari, maka obat harus dikonsumsi setiap delapan jam.

Bila kedua hal ini diabaikan maka akan terjadi pemakaian antibiotik secara berlebihan yang akan berujung pada resistensi antibiotik. “Resistensi itukan kebal, yang kebal bakterinya ya, bukan orangnya. Jadi apabila bakteri telah kebal, bakteri jahat tersebut tidak bisa lagi dimusnahkan oleh antibiotik,” jelas dokter Anis yang juga adalah pengajar di Fakultas Kedokteran UI.

Ditambahkannya, menurunkan dosis antibiotik merupakan tindakan yang tidak benar, karena dosis antibiotik telah diperhitungkan untuk membunuh bakteri. Jika bakteri diberikan dosis lebih rendah dari yang seharusnya, justru akan mengajarkan bakteri-bakteri kembali muncul dan menjadi kebal.

Dokter Anis mengingatkan pasien untuk menghabiskan antibiotik yang telah diberikan dan tidak menyimpan atau menggunakan sisa antibiotik dari pengobatan sebelumnya untuk mengobati penyakit lain. Itu karena bakteri dan dosisnya belum tentu sama. “Jangka waktu penggunaan antibiotik berbeda pada setiap orang. Ada yang tiga hari, lima hari, bahkan ada yang seminggu. Ini semua sangat tergantung kepada keadaan dan kondisi pasien,” tutur dokter Anis.

Masalah resistensi ini pun menjadi perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan dibentuknya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba oleh Kementerian Kesehatan pada 2014. Tugas komite ini adalah memberikan advokasi, saran, masukan, dan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan tentang apa saja yang harus dilakukan terkait masalah resistensi antibiotik.

Editor: Vitri Angreni 

  • antibiotik
  • resistensi antibiotik
  • Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba
  • KPRA
  • dr Anis Karuniawati
  • Fakultas Kedokteran UI
  • penyakit karena bakteri
  • Nurhayati

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!