RAGAM

Belajar tentang Lara Beragama di Mayantara

""Padahal, kami pun ya sama-sama manusia lha istilahnya. Punya rasa kepercayaan yang berbeda gitu, seharusnya tidak ada masalah""

Dwi Asrul Fajar

Belajar  tentang Lara Beragama di Mayantara
penganut kepercayaan Sunda Wiwitan

KBR, Jakarta - "Pantes musibah selalu terjadi di daerah Jawa, kesesatan sudah semakin parah...." Demikian salah satu komentar yang tertulis dalam video Pasewakan Aliran Kebatinan "PERJALANAN". Video itu diunggah akun youtube Aliran Kepercayaan Perjalanan. Isinya berupa informasi mengenai Pasewakan (Pancarabakan) yakni tempat atau ruang para Penghayat Kepercayaan mengadakan pertemuan. Di Pasewakan para Penghayat Kepercayaan seperti Kliwonan, melangsugkan kegiatan Pangéling-éling, saresehan antar pengurus, warga dan prawarga Organisasi Penghayat Kepercayaan.

Ujaran kebencian seperti pada kolom komentar video di atas mudah ditemui, meski Indonesia sudah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan. Menurut catatan Kemendikbud, saat ini ada sekira 12 juta penghayat kepercayaan di Indonesia. Mereka adalah penghayat murni yang tidak meyakini satu agama pun yang diakui pemerintah. Ada pula penghayat beragama, yaitu pemeluk agama resmi tetapi juga mengaku mengikuti aliran kepercayaan tertentu.

Pada November 2017 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia, terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan, namun diskriminasi berbasis agama masih terus diterima para penghayat kepercayaan. SETARA Institute mencatat, pada 2021 ada 171 peristiwa pelanggaran dari 318 tindakan intoleransi di Indonesia dengan aktor negara dan non-negara.

Persoalan inilah yang direkam dalam film dokumenter pendek Lara Beragama di Mayantara produksi Engage Media dengan WatchDoc. Film ini memotret kelompok agama leluhur Sapta Darma dan Aliran Kebatinan Perjalanan yang terus mengalami diskriminasi berbasis agama baik secara langsung maupun di dunia maya.

Baca juga : Pertama Kali, Siswa Penghayat di Cilacap Ikuti USBN Pendidikan Kepercayaan

"Padahal, kami pun ya sama-sama manusia lha istilahnya. Punya rasa kepercayaan yang berbeda gitu, seharusnya tidak ada masalah," kata Deni Efendi, Penganut Aliran Kebatinan Perjalanan muda yang mengelola media sosial Aliran Kebatinan Perjalanan. Deni biasa menemukan ragam komentar yang berisi hujatan, ancaman dan ujaran kebencian yang berbasis agama.

Lara Beragama di Mayantara dibikin untuk mendukung kampanye #NoToHate dan #ChallengeHateOnline oleh EngageMedia yang menyoroti dampak dari ujaran kebencian pada kelompok rentan, terutama remaja dan kelompok agama minoritas. Tujuannya, mendorong percakapan seputar masalah ini di media sosial, dan berbagi temuan penelitian, sumber daya, serta konten lain yang mengeksplorasi topik lebih lanjut.

Sebelumnya, hasil penelitian Engage Media bersama Diani Citra dari Sintesa Consulting yang berjudul “Atas Nama Kerukunan Beragama” menunjukkan ada dua hal yang membikin perilaku diskriminatif menyebar ke ranah digital. Pertama, kesewenangan aparat penegak hukum dan lepas tangannya platform media sosial, serta terdapat kelemahan masyarakat sipil dalam menyikapi isu intoleransi beragama. Kedua, algoritma platform media sosial kerap menyodorkan hanya konten senada dan mengamplifikasi konten provokatif yang biasanya ramai engagement.

"Seharusnya perlindungan juga dilakukan di ranah digital. Pemerintah seharusnya fokus kepada hate crime, perlindungan terhadap ujaran-ujaran, propaganda, kampanye dan ancaman kebencian," kata Karena itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur dalam Lara Beragama di Mayantara.

Baca juga : Insiden Masjid Tampo, DPRD Jatim Anggap Pemprov Gagal Rawat Toleransi

Editor: Malika

  • aliran kepercayaan di indonesia
  • penghayat kepercayaan
  • diskriminasi
  • diskriminasi berbasis agama
  • diskrimasi digital

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!