Komisi Dalam Negeri DPR menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada selesai pada awal tahun 2016, sehingga dapat digunakan sebagai tahapan Pilkada tahap kedua dan seterusnya. Ada beberapa poin yang harus direvisi misalnya terkait calon tunggal, konflik internal parpol, batas waktu penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi dan batasan selisih suara yang diajukan gugatan di MK.
Nah untuk selisih suara ini mendapat reaksi yang keras dari berbagai pemerhati pemilu. karena batas maksimal selisih suara untuk pengajuan sengketa hasil Pilkada ditetapkan sebesar 2 persen. Apakah ini adil?
Lalu apa tanggapan LSM Konstitusi & Demokrasi (Kode Inisiatif) Veri Junaidi?