NASIONAL

Rentetan Konflik Rumah Ibadah Tahun 2022

"Tren peningkatan konflik terkait rumah ibadah tidak hanya terjadi pada kelompok antaragama, melainkan juga intraagama. "

Muthia Kusuma Wardani

Rentetan Konflik Rumah Ibadah Tahun 2022
Ilustrasi: Toleransi beragama. (Foto: Flickr/Matthew Fearnley)

KBR, Jakarta - Konflik terkait rumah ibadah menjadi jenis pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) terbanyak sepanjang 2007 sampai 2022. Berdasarkan catatan LSM Hak Asasi Manusia (HAM), Setara Institute, sepanjang 15 tahun itu terjadi 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan rumah ibadah.

Peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute, Syera Anggraini Buntara menjelaskan pada tahun ini ada peningkatan kasus gangguan terhadap vihara, menjadi sebanyak empat kasus dibanding tahun sebelumnya satu kasus.

“Dalam 5 tahun terakhir ini angka agak cukup tinggi, karena ini tahun belum selesai ini, tapi kita melihat ada kecenderungan trennya juga naik, karena hingga September 2022 itu data seputar konflik untuk rumah ibadah ya, baik itu penolakan pendiriannya atau rumah ibadah sudah berdiri ditolak atau ibadahnya diganggu itu ada 30-an. Tahun lalu itu sekitar 40 kasus, tahun sebelumnya itu 20-an,” ucap Syera kepada KBR, Selasa, (29/11/2022).

Baca juga:

Masjid menjadi rumah ibadah yang paling banyak mengalami gangguan, yakni 15 kasus. Namun, sebagian besar masjid yang menjadi objek gangguan merupakan rumah ibadah Ahmadiyah, yang dianggap berbeda dengan kelompok Muslim arus utama.

Urutan Kedua

Pada urutan kedua, peristiwa gangguan terhadap rumah ibadah terjadi di gereja. Salah satunya terkait penolakan pendirian gereja di Cilegon, Banten.

Menurut Wali kota Cilegon, Helldy Agustian, pembangunan gereja itu belum memenuhi syarat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Ia turut menandatangani penolakan pembangunan gereja tersebut.

"Intinya bahwa masyarakat Kota Cilegon pada saat itu berkeinginan seperti itu (menolak pembangunan gereja, red). Karena sebelumnya kan sudah ada yang namanya dari ketua DPRD dan wakilnya juga. Karena itu kan, satu, kami memang selaku wali kota Kota Cilegon, perihal mengenai kondusivitas tentunya terus kemudian bahwa tugas kami selaku Pemerintah Kota Cilegon sesuai dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014, Pasal 12 menjaga ketertiban dan keamanan," ucap Helldy usai menghadap Menag Yaqut pada Rabu, (14/9/2022).

Baca juga:

Sampai saat ini, pendirian Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha Cilegon belum mendapat titik terang. Pihak jemaat mengklaim telah mengantongi syarat administratif yakni validasi seratusan jemaat dari total hampir empat ribu jiwa. Selain itu, ada dukungan dari 70 warga sekitar. Namun, masih terhambat di pihak kelurahan serta penolakan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di wilayah itu.

Intraagama

Tren peningkatan konflik terkait rumah ibadah tidak hanya terjadi pada kelompok antaragama, melainkan juga intraagama. Konflik intraagama terjadi pada sesama muslim di wilayah mayoritas Islam.

Semisal terkait proses pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Samalanga, Provinsi Aceh. Di sana, warga Muhammadiyah di Desa Sangso kecewa karena masjid yang proses pendiriannya berlarut-larut itu terus ditolak. 

Ketua LBH PP Muhammadiyah, Taufiq Nugroho menyebut alasan penolakan pendirian masjid tersebut tidak jelas. 

“Di sana (kantor bupati Bireuen, red) tadi masih memberikan penjelasan terkait persoalan, namun pertanyaan saya tidak dijawab. Saya menanyakan kalau memang ada penolakan, satu siapa yang menolak? Sebutkan namanya orangnya, organisasinya apa? Yang kedua ditolak karena alasan apa? tidak dijawab juga,” ucap Tauhiq dalam keterangan pers, Senin, (31/10/2022).

Selain di Aceh, keberadaan masjid Muhammadiyah juga mendapat penolakan di Jawa Timur. Camat Cluring, Banyuwangi Henri Suhartono mengklaim, penolakan itu sesuai keputusan Forum Pimpinan Kecamatan atau Forpimca. Alasannya terkait tata pendirian rumah ibadah.

Penolakan pendirian masjid juga terjadi di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur. Islam menjadi minoritas di wilayah itu. Pendirian musala di lingkungan polres di wilayah tersebut mendapat penolakan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) TTU dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Dialog

Peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute, Syera Anggraini Buntara menyebut konflik terkait rumah ibadah seharusnya diselesaikan dengan dialog.

"Jadi didialogkan teman-teman dari Katolik dan muslim, itu supaya mendialogkan bagaimana penyelesaiannya. Dan yang jelas memang jangan sampai hanya karena muslim di sana minoritas jadi lebih tidak didengar suaranya. Harus ada kesetaraan di sana. Jadi yang sering terjadi memang di berbagai daerah di Indonesia ketika dialog itu diadakan, memang formalnya ada dialog, tapi kelompok minoritasnya tertekan jadi dia tidak bisa bersuara," ucap Syera kepada KBR, Selasa, (29/11/2022).

Peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute, Syera Anggraini Buntara menambahkan, bila musala tersebut belum memenuhi persyaratan, maka kewajiban pemerintah daerah dan FKUB TTU untuk memfasilitasi agar dapat memenuhi persyaratan.

Menurutnya, hal itu sesuai aturan dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Editor: Sindu

  • rumah ibadah
  • Setara Institute
  • Kebebasan Beragama Berkeyakinan
  • Muhammadiyah
  • Gereja di Cilegon
  • ham
  • toleransi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!