BERITA

Penembakan Pekerja Trans Papua, Ini Pengakuan OPM

Penembakan Pekerja Trans Papua, Ini Pengakuan  OPM

KBR, Jakarta-  Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengklaim bertanggung jawab atas penembakan pekerja di Kabupaten Nduga Papua. Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan, sebelum aksi itu sudah ada pemantauan jauh hari terhadap proyek pembangunan Trans Papua yang menurutnya dikerjakan oleh TNI.

Penyerangan yang dilakukan TPNPB, kata Sebby, merupakan bentuk penolakan seluruh pembangunan yang ada di Papua serta tuntutan untuk merdeka. Dia mengatakan, jika ada masyarakat sipil yang mati terbunuh pada aksi di Nduga, maka seharusnya itu adalah tanggung jawab TNI yang   bertanggung jawab memegang proyek Trans Papua.

"Tapi Laporan TPNPB kan mengatakan bahwa itukan semua program itu revolusi tahapan, jadi menolak jalan Trans Papua dan termasuk pemekaran provinsi kabupaten baru tidak boleh ada. kalau ada kita akan lakukan perlawanan penyerangan, sebab kita tidak butuh pembangunan oleh Indonesia. Kami hanya minta Indonesia mengakui hak kemerdekaan Papua Barat. Kita bisa bangun sendiri dengan kekayaan kami," kata Sebby pada KBR, Rabu (05/12/18)


Sebby mengatakan anggota TPNPB-OPM yang terlibat dalam penembakan   di Nduga  sebanyak 50 orang. Kata dia,  TPNPB-OPM akan terus menuntut hak kemendekaan bangsa Papua dari Indonesia. Selama itu tidak dipenuhi, Sebby meyakinkan bahwa penyerangan akan terus terjadi.

Baca: Jokowi Perintahkan Tangkap Penembak di Nduga

Sementara itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah  mengedepankan proses hukum di kepolisian, dari pada menyerahkan penanganan konflik di Papua ke TNI.  Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan, kasus pembunuhan puluhan pekerja pembangunan jembatan Trans Papua yang diduga dilakukan oleh Kelompok   Bersenjata,  belum bisa disimpulkan sebagai tindakan makar.

"Kami sementara ini mendorong kepolisian berada di depan. Harus lebih dulu. Bukan TNI. Supaya ditinjau dari aspek hukumnya terlebih dulu. Mencari tahu segala macam," kata Beka di kantornya, Jakarta, Rabu (5/12/2018).


Sampai saat ini, Komnas HAM belum mendapat banyak informasi mengenai kasus tersebut.


Beka mendesak polri segera memproses hukum peristiwa tersebut secara terbuka dengan asas-asas HAM. Hal tersebut perlu untuk mencegah terjadinya pelanggaran selama proses hukum peristiwa tersebut.


Komisioner Komnas HAM, Beka menuturkan, belum bisa menyimpulkan peristiwa itu merupakan aksi separatisme, karena memerlukan penyelidikan terlebih dahulu.


"Kami belum bisa menyimpulkan sejauh itu. Oke ini perbuatan kriminal. Apakah ini makar atau separatisme atau tidak itu harus diselidiki. Kami belum mendapat informasi sejauh itu," kata dia.


Konflik di Kabupaten Nduga, Papua, itu bukan pertama kali. Dalam beberapa bulan terakhir, Komnas HAM mencatat, setidaknya ada tiga kasus serupa.


Beka meminta, aparat penegak hukum pun harus menyiapkan langkah-langkah antisipatif agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

"Aparat penegak hukum harus menyiapkan langkah-langkah antisipasi segala macam supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi," kata dia.

Sementara, Beka menyampaikan, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Papua, khususnya di Nduga.

Rekomendasi itu memuat pendekatan komperhensif. Bukan hanya dari aspek keamanan, tapi juga aspek sosial, budaya, dan hukum.


Editor: Rony Sitanggang

  • Polisi
  • Komnas HAM
  • Penembakan Nduga
  • Papua
  • TNI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!