BERITA

Kurangi Emisi Karbon, Kementerian ESDM Dorong Pembangunan PLTS

"Kementerian ESDM berupaya mengurangi (phase out) pembangkit listrik tenaga uap, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan menggantikannya ke elektrifikasi di sektor tansportasi, dan memanfaatkan gas "

Ranu Arasyki Arpungky

emisi karbon
Ilustrasi. Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS komunal yang dibangun di Provinsi NTT. (Foto: ANTARA/Dok Humas PT PLN Wilayah NTT)

KBR, Jakarta - Kementerian ESDM berencana mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) secara bertahap hingga 2060. Langkah itu dianggap perlu untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT.

Menteri Energi, Sumberdaya, dan Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pengembangan PLTS akan terdiri dari PLTS atap, PLTS terapung dan PLTA skala besar. 

Kementerian ESDM menargetkan pembangunan PLTS atap sebesar 3,6 Gw pada 2025, sedangkan PLTS terapung akan dikembangkan di atas danau dan waduk memiliki potensi pengembangan sebesar 26,6 Gw. Sementara, PLTS skala besar mencapai 4,68 Gw dapat dikembangkan pada 2030.

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi EBT cukup besar, yakni mencapai 3.686 Gw. Potensi ini terdiri dari energi surya, angin, air, panas bumi, bioenergi, dan energi thermal pemukaan laut. 

Hingga saat ini, katanya, hanya 0,3 persen dari total potensi yang dimanfaatkan. Upaya penggunaan EBT ini tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk menurunkan emisi karbon.

Saat ini, Kementerian ESDM berupaya mengurangi (phase out) pembangkit listrik tenaga uap, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan menggantikannya ke elektrifikasi di sektor tansportasi, dan memanfaatkan gas alam sebagai energi pendukung selama masa transisi.

    "Jadi kita masih memiliki 30-40 tahun. Kita bisa optimalkan sumber-sumber gas alam kita di dalam negeri untuk mendukung proses transisi ini berjalan dengan baik. Dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral 202 sampai 2060, strategi utama yang akan dilakukan ialah  mendorong pemanfaatan listrik, penggantian impor LPG dengan catatan pemerintah dapat menghasilkan bahan pengganti setara LPG bisa kita usahakan dengan menggunakan sumber-sumber, dalam negeri," ujarnya, dalam rapat kerja dengan DPR, di Senayan, Jakarta, Senin (15/11/2021).

    Baca Juga:

    Arifin mengatakan, pada 2020, total emisi karbon di Indonesia tercatat sebesar 586,8 juta ton CO2e. Pembangkit fosil merupakan penyumbang emisi terbesar, yakni sebesar 279,3 juta ton. 

    Sementara transportasi berada di urutan ke dua dengan 132,9 juta ton, disusul industri manufaktur sebesar 105,1 juta ton, pengolahan batubara dan emisi fugitive sebesar 31,4 juta ton, komersial dan lainnya sebesar 29,4 juta ton, dan kilang minyak mencapai 8,6 juta ton. Mendekati 2030, emisi karbon ditaksir mencapai 695 juta ton CO2e.

    "Kami berharap dengan implementasi strategi menuju net zero emission, kita bisa menekan emisi sektor energi menjadi tidak lebih 400 juta ton pada 2060. Sementara, apabila tidak dilakukan, maka emisi kita akan mencapai 2 miliar ton pada 2060," kata Arifin.

    Editor: Agus Luqman

    • pembangkit listrik tenaga surya
    • PLTS
    • Kementerian ESDM
    • EBT
    • emisi karbon
    • pajak karbon

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!